top of page

KAMBOJA (1) : KASINO DI TANAH MISKIN

13 Maret 2012

07.00 AM

Kami meninggalkan Vietnam pagi-pagi sekali untuk melanjutnya perjalanan kami ke Kamboja, tepatnya ke Siam Reap. Untuk sampai ke sana kami menaiki bus Mekong Express selama 12 jam dengan harga tiket 22 dollar AS. Mekong express patut direkomendasikan. Pelayanannya sangat baik. Tiket bus sudah termasuk snack. Sayang, snack yang mereka berikan terbuat dari daging babi. Jadi tetap saja tidak bisa saya makan. Petugas bus juga membantu penumpang untuk melalui kantor imigrasi di perbatasan Vietnam dan Kamboja.

10.00 AM

Kantor imigrasi Vietnam hari itu cukup padat. Marrylin, warga negara Perancis yang sudah cukup lama tinggal di Kamboja dan satu bus dengan kami bilang, kalau ini di luar kebiasaan. Biasanya tidak perlu mengantri lama untuk menyelesaikan urusan di imigrasi. Hanya hari itu ada rombongan para veteran Vietnam yang berniat melakukan wisata religi ke Kamboja. Mereka tidak terlalu tertib, akibatnya proses imigrasi jadi lama. Usai melaporkan paspor di kantor imigrasi Vietnam, kami kembali ke bus.

Bus hanya perlu membawa kami sepanjang 100 meter hingga kami berada di kantor imigrasi Kamboja. Di sana memang lebih tertib. Hingga kelompok veteran tadi sampai pula di kantor tersebut dan menyerobot antrean kami. Antrean saya diserobot dua kali saat itu, bukan hanya oleh para veteran, tapi juga oleh seorang perempuan Kamboja yang sepertinya punya kenalan di imigrasi. Saya memprotes aksi wanita itu, tapi petugas imigrasi pura-pura sibuk dan tidak mengindahkan omelan saya. Entah karena dia tidak mengerti bahasa inggris ataukah memang tidak peduli. Heuu…

Kami kembali ke bus dan sejurus kemudian kami sudah masuk ke wilayah Kamboja. Hal pertama yang saya lihat saat bus sudah meninggalkan perbatasan adalah berhektare-hektare lahan terlantar. Namun ajaibnya, di tengah tanah gersang itu berdiri puluhan kasino megah. “Welcome to Cambodia,” ujar Marrylin kemudian. Marrylin sudah menduga reaksi saya, ketika melihat kondisi tersebut. “Begitulah, mereka membangun banyak kasino mewah di perbatasan karena di perbatasan mereka tidak perlu bayar pajak,” katanya. Hukum menjadi tidak berwujud dan abu-abu di wilayah itu. Makanya penjudi dari Vietnam dan Kamboja berkumpul di sana. Menghambur-hamburkan uang mereka, sementara keadaan di sekelilingnya miskin.

Hingga kini Kamboja belum bisa bangkit dari keterpurukannya. Maklum saja karena negara itu belum lama benar-benar merdeka. Setelah dijajah oleh bangsa-bangsa kapitalis, rakyat Kamboja pun didera konflik politik yang berujung pada pembunuhan massal di Killing Field. Lalu ketika semuanya berakhir, mereka belum benar-benar

mampu bangkit. Kemiskinan masih merajarela. Masalah pendidikan dan kesehatan menjadi isu nyata. Makanya hingga sekarang, masih banyak LSM luar negeri yang membuka perwakilannya di negara tersebut untuk membantu Kamboja keluar dari masalahnya. Ini pulalah yang dilakukan oleh Marrylin dan LSM-nya.

Marrylin sudah sekitar 2 tahun tinggal di Kamboja. Dia dan LSM-nya membantu anak-anak muda Kamboja untuk mengenal teknologi. “LSM kami fokus di bidang IT dan bahasa. Kami pikir pengetahuan ini sangat penting bagi mereka untuk maju,” katanya. Menurut Marrylin, Kamboja punya banyak generasi muda yang pintar. “Orang-orang muda Kamboja mudah belajar,” katanya. Makanya tidak sulit menemukan orang Kamboja yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. B

ahkan yang bisa berbahasa Mandarin, Jepang, bahkan Korea dengan sangat lancar. “Mereka sadar dengan keadaan mereka. Dan mereka sadar, untuk mengubah hal itu, mereka perlu memperbaiki kualitas diri mereka,” katanya.

Sayangnya, tidak banyak lembaga pendidikan di Kamboja yang mampu mendukung kebutuhan itu. Sehingga banyak negara yang membuka sekolah di Kamboja untuk membantu. Makanya jangan heran bila, di Phnom Phen sangat gampang menemukan sekolah internasional. Sayangnya sekolah-sekolah tersebut juga tidak terlalu mampu menjawab tantangan itu. Kurikulum yang diberikan tidak terlalu cocok dengan kondisi Kamboja dan harganya pun mahal.

Hingga saat ini pun, menurut Marrylin, kondisi politik di Kamboja tidak begitu baik. Aksi perebutan kekuasaan masih saja terjadi. Tak heran bila masalah pendidikan dan kesehatan terkesampingkan oleh pemerintah Kamboja. “Tahun depan mereka akan mengadakan pemilihan umum lagi,” kata Marrylin. Tapi menurutnya, event itu tidak akan mengubah apapun. Rakyat Kamboja sudah sangat muak dengan politik. “Orang-orang tua berpikir politik hanya akan berujung masalah. Mereka masih trauma. Sementara orang-orang muda tidak peduli sama sekali. Politik tidak mengubah apapun,” katanya. Keadaan semacam itu tidak jauh berbeda sebenarnya dengan Indonesia. Jumlah partisipan Pemilu berkurang tahun demi tahun.

Kami lalu bertanya pada Marrylin mengapa dia mau tinggal di negara yang penuh masalah itu. “Saya terbangun suatu pagi dan mempertanyakan untuk apa saya hidup dan bekerja?” katanya. Pertanyaan itu berulang terus menerus sepanjang karirnya sebagai karyawan di perusahaan penerbangan besar. “Saya sadar, hidup tidak selalu soal uang. Pekerjaan ini mungkin tidak menghasilkan uang banyak. Tapi saya bisa melihat langsung manfaat dari apa yang saya kerjakan,” katanya.

Menurutnya, melihat anak didiknya tumbuh dengan bekal yang cukup untuk mengubah nasibnya, adalah sesuatu yang sangat membahagiakan. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia rasakan saat bergumul dengan kertas dan data di balik meja. Butuh keberanian memang, lanjutnya. Melepas zona nyaman bukan hal yang mudah. “Tapi saya yakin. Dan memang saya menemukan kebahagiaan di sini. Saya punya banyak teman Kamboja yang sangat baik. Saya mencintai hidup saya yang sekarang,” katanya.

02.00 PM

Begitulah. Kami mengobrol dengan Marrylin di bus setengah perjalanan menuju Pnom Phen. Sampai kami memutuskan untuk kembali duduk tenang dan tidur untuk menghilangkan mabuk kendaraan. Marrylin lalu turun di Phonm Phen, sedangkan kami melanjutkan perjalanan dengan bus Mekong Express lainnya ke Siam Reap. Perjalanan kami selanjutnya membosankan. Tak ada yang menarik sepanjang jalan menuju Siam Reap. Yang tampak hanya sejumlah papan kampanye pemilu. Sisa perjalanan selanjutnya, saya habiskan dengan membaca buku dan bermain sudoku.

09.00 PM

Kami akhirnya sampai di Siam Reap. Sebuah tuk-tuk (becak motor) sudah menunggu kami. Si pengemudi bernama Mr Duan dan pintar berbahasa Inggris. Tuk-tuk ini adalah fasilitas dari hostel yang kami booking lewat Hostel World, Happy Guest House. Harga hostel ini bahkan lebih murah dari di Vietnam. Hanya 3 dolar AS (Rp 30 ribu) semalam. Oh iya, di Kamboja turis tidak perlu menukarkan dolar-nya. Karena Kamboja menggunakan double currency, yaitu dolar AS dan Riel. Bahkan tiga currency di perbatasan yaitu dolar AS, Riel, dan Dong. Jadi saya masih bisa menggunakan sisa dong saya saat bus berhenti di restoran dekat perbatasan siang tadi.

Saya pun tidak perlu repot ke money changer untuk menukar dolar yang saya bawa sejak dari Indonesia. Namun kita bisa mendapatkan kembalian dalam riel meskipun membayar dengan dolar atau dong. Hitung-hitungannya gampang kok, jadi tidak perlu bingung. Meskipun demikian, Marrylin mengingatkan agar menggunakan seluruh Riel yang saya punya sebelum meninggalkan Kamboja. Karena di luar Kamboja, Riel tidak ada harganya. Nilai tukarnya sangat rendah, sehingga jarang yang money changer yang mau menerima.

Anyway, pelayanan Happy Guesthouse cukup baik baik dan kami dapat kamar yang bersih. Selain itu, keponakan pemilik hostel yang bernama Nga dan berwajah cukup tampan, menawarkan jasanya untuknya mengurus segala keperluan kami untuk berangkat ke Thailand. Dia akan mencarikan dan membooking tiket bus ke negara itu untuk kami. Kami juga bisa menyewa tuk tuk dan sepeda dari hostel untuk berkeliling Angkor Wat. Dia juga membekali kami dengan peta Siam Reap.

Namun di hostel ini, kami tidak mendapatkan sejumlah fasilitas. Kali ini tidak ada sarapan, tidak ada TV kabel, tidak ada AC, dan tidak ada air panas. Tapi tidak masalah, yang penting saya bisa tidur dengan nyaman. Lagipula, rencananya kami hanya menginap satu malam di hostel tersebut. Seusai mengunjungi tempat wisata wajib Kamboja, Angkor Wat, kami berniat menyeberang ke perbatasan menuju Thailand di sore hari. Namun rencana masih bisa berubah. Kami masih labil. Yang jelas besok pagi-pagi sekali, Mr Duan akan mengantarkan kami berkeliling Angkor Wat besok jam 05.00 pagi.

Jadi sementara, Efi sibuk dengan kisah asmaranya dengan seorang PNS Inggris di restoran Happy Guesthouse. Saya sudah jauh terlelap di kamar 403.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page