top of page

THAILAND (2) : CANE, KOTA TUA, DAN PIJATAN

17 Maret 2012

08.00 AM

Chris baru selesai yoga, ketika saya bangun. Matahari sudah tinggi. Maka resmilah kami tidak pergi ke pantai hari itu. Kami terlalu capek. Tidurnya nyenyak?” tanya Chris. “Lumayan,” jawab saya.

Meskipun tidak pergi ke pantai, tapi kami tetap menikmati Phuket. Efi juga berdamai dengan keinginannya yang besar untuk bermain di pantai. “Yahh… ke pantainya pas di Indonesia saja,” katanya. Bila kami masih punya waktu seharian di Phuket, kami pasti sudah mengunjunginya. Tapi kami harus berangkat ke Singapura sore nanti. Kami akan

mengakhiri perjalanan kami di negara itu.

Chris mengajak kami ke pasar tradisional untuk sarapan. Hanya kami bertiga. Theresia sudah meninggalkan apartemen untuk melanjutkan petualangannya ke sisi lain Thailand. Sebenarnya semalam kami sudah mengunjungi pasar ini. Tapi keadaannya jauh berbeda saat pagi hari. Lebih ramai.

Chris mengajak kami makan di warung roti cane milik orang Thailand. Saya pikir mereka orang Malaysia yang tinggal di Phuket karena mereka semua tukang masaknya memakai jilbab. “Saya biasa sarapan di sini. Rotinya enak,” katanya. Saya memesan roti cane dengan telur dan kari ayam, plus thai tea. Efi juga. Tapi sebagai vegetarian, Chris hanya menyantap roti dengan kuah kari. Selanjutnya usai makan,

Chris pergi meninggalkan kami. Dia perlu menjemput backpacker lainnya yang baru saja tiba di Phuket. Chris memang tidak pernah berhenti menerima tamu di apartemennya yang kecil.

Kami masih tinggal sebentar di warung cane sambil mengobrol dengan seorang pemiliknya. Namanya One. Begitu dia memperkenalkan diri. Dia lucu dan ramah. Orang Thailand memang begitu. Dibanding penduduk Vietnam atau Kamboja, mereka lebih senang bercanda. Makanya Chris suka menghabiskan waktu di pasar sambil mengobrol dengan mereka. “Suasana ini yang tidak akan bisa ditemui di kota besar,” ujarnya. Chris benar. Meskipun kita bisa menemukan ribuan orang dalam jarak dekat di kota besar. Tapi tetap saja kita akan mudah merasa sepi. Meskipun mereka banyak, tapi mereka berjarak.

09.30 AM

Kami kemudian hanya jalan mengelilingi kota. Tidak sulit melakukannya dengan berjalan kaki karena kota ini sangat kecil. Oh ya, satu hal yang mengerikan dari Phuket Town adalah kabel listriknya yang menjalar dengan sangat tidak beraturan. Lebih tidak teratur ketimbang di Indonesia. Yang lebih mengerikan lagi adalah kabel itu mengeluarkan desisan listrik yang mengerikan. Anehnya kata Chris, jarang sekali terjadi mati listrik di Phuket akibat konslet atau lainnya.

Kami sampai di Thalang Road yang dikenal dengan Phuket Old Town. Semalam kami juga sudah ke sini. Tapi keadaannya sangat berbeda ketika hampir semua toko di pinggir jalan kembali berbisnis di pagi hari. Di kawasan ini banyak toko yang menjual barang-barang berbau muslim. Yang menarik lagi, sejumlah toko

menjual batik dan kebaya khas Indonesia.

Kawasan ini juga penuh dengan bangunan-bangunan tua. Sangat menyenangkan. Saya pernah bilang kan, kalau saya suka sekali deretan bangunan tua. Bangunan-bangunan tua sungguh mengagumkan. Bisa bertahan berpuluh-puluh tahun. Memang ada sejumlah hal yang tidak lagi tampak baik di sisi-sisinya. Tapi bangunan-bangunan itu tetap berdiri tegak. Meskipun pemilik dan arsiteknya sudah lama mati. Hal lain yang saya sukai dari bangunan-bangunan tua adalah jejak kehidupan yang pernah ada di dalamnya ataupun yang tampak di dinding-dinding luar bangunan. Jadi terasa ‘pulang’. Damai.

12.00 PM

Kami capek berjalan dan memutuskan untuk mencoba Thai Massage. Tapi sulit mencari tempat pijat dengan harga murah. Kebanyakan harganya 300-400 bath selama 1 jam. Jadi kami keliling lagi mencari tempat pijat murah. Setelah lama berjalan. Kami akhirnya menemukan tempat thai massage yang cuma 200 bath selama 1 jam. Semua tukang pijat yang ada di sana buta. Dan mereka kebanyakan tidak mampu bahasa inggris. Sehingga agak sulit berkomunikasi.

Untung beberapa orang Thailand yang sedang dipijat agak mengerti bahasa inggris, sehingga dia membantu kami untuk menerjemahkan keinginan kami kepada para tukang pijat itu. Namun setidaknya mereka mengerti kata-kata penting semacam ‘one hour’ atau ‘two hour’. ‘Man’ atau ‘Woman’. Efi akhirnya dipijat oleh seorang tukang pijat yang wajahnya hampir hancur. Sepertinya dia kehilangan penglihatannya saat kebakaran. Sedangkan saya dipijat oleh seorang perempuan yang tampaknya sudah biasa dengan kegelapan sejak kecil.

Mereka menggunakan jam dengan pengingat suara agar mereka tahu, berapa lama mereka memijat. Sebuah bel dengan suara juga ditempatkan di pintu.

Sehingga mereka bisa tahu ketika ada seorang yang datang. Mereka mengganti sprai setiap hal selesai memijat. Mereka mengingat setiap kasur, meja, dan rak yang ada di ruangan pijat. Sering juga terjadi kesalahan. Misalnya ketika tukang pijatnya efi, lupa tempat tidur efi dan malam memijat saya. Sepanjang memijat mereka bercanda dan tertawa. Mereka tidak terlihat sedih atau memaki cacat yang mereka miliki. Dan mereka bekerja sepenuh hati. Pijatan mereka enak.

02.00 PM

Setelah mendapatkan pijatan selama 1,5 jam. Kami kembali ke apartemen Chris. Kami mandi dan kemudian mengemasi barang-barang kami yang tidak seberapa. Tak lama kami sudah berada di jalanan yang basah karena hujan menuju Bandara Phuket. Ini hujan pertama sekaligus terakhir yang kami rasakan di sepanjang liburan kami. Seakan kami diminta untuk tinggal lebih lama. Berlibur lebih lama. Mengelilingi banyak negara lebih lama. Hahh andai saya punya waktu lebih panjang. Sedih

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page