top of page

SINGAPURA : MENGGELANDANG DI NEGERI ROBOT


18 Maret 2012

09.00 PM

Perjalanan kami tidak bisa dibilang berakhir. Pesawat tiger airways yang membawa kami keluar dari Phuket tak langsung mengantarkan kami ke Indonesia. Kami parkir dulu di Singapura selama 12 jam. “Lalu akan ke mana kita?” tanya Efi. Well, i have no idea. Saya tidak pernah ke Singapura sebelumnya. Hanya Efi yang baru pulang liputan ke sana baru-baru ini.

Kami tak memesan hostel apapun di Singapura. Uang kami menipis. Dan kami sudah sangat letih. Ingin tidur. Tapi di mana? Tadinya kami akan bertemu dengan teman Efi yang berniat menawari kami sidejob sebagai penulis traveller. Tapi sayang dia tidak bisa kami hubungi ketika kami sampai di Singapura. Tadinya dia akan menemani kami berkeliling. Jadi tak ada pilihan lain. Mati bosan di bandara sampai pagi atau berkeliling sebentar di tengah kota. Lalu kami pilih opsi kedua. Lagipula 12 jam seharusnya tidaklah lama. Kami akan berkeliling hingga lupa waktu sampai kami tersadar fajar sudah menyingsing. Semudah itu.

11.00 PM

Tapi siapa bilang semudah itu. Kami terduduk diam sebentar di bandara bingung mau ke mana. Akhirnya kami punya ide untuk ke Mustafa Square di kawasan little india. Kami akan menghabiskan waktu di sana. Mumpung tempat perbelanjaan itu buka 24 jam. Setelah itu kami berpikir untuk menghabiskan waktu di rumah makan cepat saji 24 jam. Kami juga berniat untuk melihat patung singa di Marlion Park pada pagi hari. Berfoto dengan riang di depan patung itu. Menandakan kami sudah pernah menginjakkan kaki di negara kecil itu. Lalu kembali ke bandara untuk mengejar penerbangan pukul 09.00 AM. Rencana itu terdengar tidak buruk.

Jadi berbekal peta MRT dan ingatan Efi, kami meninggalkan bandara. Kami membeli tiket subway untuk menuju ke little india. Baiklah saya harus jujur kalau saya benar-benar gaptek soal mesin pembeli tiket. Saya harus berlatih berkali-kali hingga bisa. Selain itu harga tiketnya tidak bisa dibilang murah. Semua barang di Singapura hampir tidak bisa dibilang murah. Mungkin karena selisih nilai tukar yang sangat tinggi antara Rupiah dan Dolar Singapur. Dan tiba-tiba saya menderita culture shock setelah merasakan selisih nilai tukar yang rendah di tiga negara sebelumnya.

Hari itu malam minggu. Tak aneh bila subway masih terisi penuh manusia. Mungkin juga setiap hari seperti ini. Singapura memang sibuk. Tapi saya merasa menjadi manusia yang paling manusiawi di tengah sekumpulkan orang yang seakan memiliki pemutar mesin di punggungnya. Jarang terdengar gelak tawa di subway. Mereka hanya berbicara dengan cepat dan resmi satu sama lain. Senyum pun jarang membekas di wajah-wajah letih mereka. Semua orang sibuk dengan iphone dan ipad mereka. Mereka menyumpal telinganya dengan earphone. Mereka memberi jarak dengan orang di sampingnya meskipun mereka duduk atau berdiri bersesakan. Dingin.

19 Maret 2012

00.00 AM

Setelah sempat salah memilih jalur subway, kami akhirnya bisa melihat langit. Sudah sangat gelap dan bulan mengintip dari balik awan. Tapi Little India masih sangat ramai. “Ini salah satu kawasan di Singapura yang manusiawi. Selain China Town,” kata Efi. Sama seperti saya, Efi juga tidak menyukai bangunan-bangunan tinggi

sombong yang ada di kota besar. Makanya menemukan kawasan yang tidak bisa dibilang bersih dan teratur memberikan ketenangan tersendiri bagi kami.

Mustafa lebih mirip seperti mall orang Indonesia. Saya tidak perlu menggunakan bahasa inggris. Karena mayoritas orang yang berbelanja di tempat itu orang Indonesia. Atau setidaknya orang Malaysia yang berbahasa melayu. Kami berbelanja sebentar di Mustafa. Mereka menjejali keranjang-keranjang mereka dengan souvenir. Sementara kami yang uangnya hanya bersisa tak lebih dari 14 dolar Singapura hanya membeli beberapa kotak coklat untuk oleh-oleh. Sedangkan saya menambahkan sebuah t-shirt untuk papa.

Keluar dari tempat itu kami bertambah letih. Rasanya tak sanggup untuk berkeliling kota. Kami bahkan tak sanggup untuk mencari restoran terdekat yang buka selama 24 jam. Kami berniat kembali ke bandara tapi subway sudah tidak beroperasi lagi. Begitu pula dengan bus atau transpormasi massal lainnya yang cocok dengan kantong kami. Kami tidak tertarik naik taksi karena ongkosnya yang mahal. Akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di sebuah restoran india yang kami pikir akan buka 24 jam.

Pelayan India di restoran itu bisa berbahasa Indonesia. Lucu saja. Saya jadi merasa lebih dekat dari rumah. Efi memesan nasi goreng dan saya kare ayam yang porsinya tidak bisa dibilang sedikit. Yang lucu lagi di restoran itu, seorang pelayannya adalah orang Cina. Aneh saja melihat orang Cina menjadi kacung di restoran milik orang India. Aneh saja karena dengan segala stereotype yang distempel di jidat manusia dari kedua ras itu, mereka tidak bisa dibilang cocok.

01.30 AM

Kami diam di sana sampai pukul 03.00 AM. Tepatnya ketika seorang pelayan mengusir kami. Dia bilang restoran itu harus dibersihkan bla bla bla. Padahal seharusnya mereka buka 24 jam. Tapi ya bagaimana lagi. Kami kemudian berniat mencari MCD terdekat yang buka 24 jam atau pergi ke merlion park. Kami menaiki

sebuah taksi. Tadinya kami ingin turun di sebuah MCD yang ternyata hanya berjarak satu blok. Tapi Efi merasa tidak enak dengan supir taksi itu karena hanya sebentar menggunakan jasanya. Tapi saya sudah sangat khawatir dengan argo taksi yang bergerak sangat cepat. Kami lalu mengusulkan untuk mencari MCD yang berada di dekat merlion park. Tapi si supir taksi itu tidak bisa dibilang ramah. Dia mengoceh kalau tidak ada apa-apa di merlion park pada jam segini. Dan menyarankan kami untuk pergi ke tempat lain. Tapi kami mau ke sana memangnya kenapa? Sebal.

Seharusnya kami turun saja di MCD dekat little india tadi. Biar saja dia mengoceh kami membayarnya sedikit. 03.00 AM Kami akhirnya sampai di Merlion park. Yahh memang tidak ada apa-apa di sana. Gelap. Saya bahkan tidak bisa melihat patung Singa. Pada dini hari, patung itu berhenti beroperasi. Tidak ada lampu sorot yang dipasang di dekatnya. Tidak ada air yang keluar dari mulutnya. Jadi musnah sudah rencana kami berfoto di depannya.

Sebuah klub di kawasan itu mendendangkan musik terlalu gaduh. Sekelompok anak muda berpakaian pesta keluar sambil mabuk dan menggaduh di taman itu. Sedangkan kami terduduk lemas di pinggir Marina Bay. Indah memang. Sejumlah gedung berarsitektur menarik kerlap kerlip dibangun di sana. Tapi pemandangan Skypark yang kami lihat di sisi lain teluk tidak kalah dingin dengan bangunan tinggi lainnya di Singapura. Melihat mereka berlalu lalang. Mereka juga melihat kami dengan heran. Seperti gelandangan yang tidak punya tempat tinggal dengan masing-masing membawa tas besar dipunggungnya. Kami tidak peduli.

Gelandangan. Kata yang aneh bagi orang Indonesia yang bisa berkunjung ke Singapura. Kebanyakan orang Indonesia datang ke Singapura karena mereka kelebihan duit. Tujuan mereka itu mencicipi pelayanan di toko pakaian mahal dan restoran serta hotel bintang 5. Menyaksikan pentas artis-artis internasional yang tidak sempat singgah ke Indonesia. Atau menikmati sensasi rekreasi virtual. Tapi hal itu tidak berlaku bagi kami. Uang di kantong saya kini hanya tinggal tidak lebih dari 10 dolar Singapura.

Kami hampir tertidur. Sampai udara dingin dini hari membekukan kami. Akhirnya kami pindah ke tempat duduk di depan cafe yang sudah tutup. Hingga seorang pekerja datang dan menyemprotkan air di

sekitar tempat kami duduk. Berharap kami pergi dari sana. Kami kemudian berjalan lagi. Tak jauh dari sana kami melihat taman dengan sejumlah tempat duduk. Tanpa bicara kami sepakat untuk tidur di kursi itu. Menunggu sampai subway kembali beroperasi. Kami menjadikan tas sebagai bantal. Tapi berusaha tidur di tempat itu tidaklah mudah. Kami memang tidak takut bertemu penodong atau apa. Tingkat keamanan di Singapura cukup bagus. Kami hanya takut ditangkap oleh polisi karena dikira gelandangan sungguhan. Jadi kami terpaksa waspada dengan kemungkinan itu.

06.00 AM

Subway beroperasi pada pukul 06.00 AM. Yang sebenarnya pukul 05.00 AM. Waktu di Singapura memang lebih cepat satu jam dari Indonesia. Tapi penentuan waktu bukan berdasarkan geografis. Melainkan mengikuti jam perdagangan. Pemerintah Singapura membuat konsensus waktu lebih cepat satu jam dari seharusnya agar bisa mengais untung di bursa saham regional lebih lama. Mereka mengakali waktu. Mengakali Tuhan. Dan semua teknologi yang canggih membosankan dan bangunan-bangunan tinggi luar biasa yang mereka buat adalah sebuah bentuk kesombongan manusia yang nyata. Kemudian manusia-manusianya terpaksa menjadi budak ekonomi. Robot.

Mereka yang bergegas menaiki subway pada pukul 06.00 pagi agar bisa sampai ke tempat-tempat kerja mereka tepat waktu. Mereka yang mungkin tidak mengenal kata-kata ‘di luar rencana’ atau ‘tidak terduga’. Karena mereka terbiasa dengan kereta yang datang tepat waktu. Bus yang berhenti di setiap halte. Atau tong-tong sampah yang bertulisan ‘Do the right thing’. Semuanya sudah diatur. Semuanya harus mematuhinya. Dan mereka memang mematuhinya. Kami terganggu dengan hal itu. Namun mungkin hanya karena kami terlalu terbiasa dengan sistem yang tidak teratur di Indonesia. Dengan segala kompromi dan toleransi serta hal-hal yang tidak terduga yang menunjukkan bahwa kami adalah manusia. Manusia yang sering kali melakukan kesalahan, spontan, dan sangat dinamis. Bukan diprogram oleh pemerintah atau jam-jam di dinding rumah kami.

09.00 AM

Saya senang sekaligus sedih ketika sampai di bandara kembali. Tak berapa lama lagi pesawat kami akan melayang di angkasa menuju Jakarta. Artinya liburan kami akan berakhir. Segala hal yang kami alami selama 9 hari terakhir akan menjadi kisah saja. Saya rasanya tidak ingin kembali. Tidak ingin menjejakkan kaki kembali di Jakarta. Kota yang menyuguhkan semua masalah saya di satu meja. Yahh tapi saya tidak bisa lari terus. Jadi sambil menghapus air mata yang sempat jatuh. Sedikit loh. Saya terbang kembali ke Indonesia. Berharap tahun depan bisa kembali melakukan perjalanan yang sama, ke negara yang berbeda.

Selamat tinggal kebebasan.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page