top of page

QUIET KUWAIT

Setelah terkunkung di dalam pesawat Kuwait Airways yang tidak nyaman selama delapan jam, saya akhirnya mendarat juga di Kuwait. Tepatnya di Kuwait City. Ini pertama kalinya saya naik pesawat terbang dengan waktu mengudara yang sangat lama. Tanpa televisi yang bisa ditonton dan pemutar musik yang bisa dinyalakan.

Jadinya saya pilih tidur saja, namun tidur pun tidak nyaman, karena pramugari sibuk mondar mandir menawarkan makanan pada jam 2 pagi. Yah yang penting saya bisa sampai Kuwait dengan selamat untuk meliput KTT Asia Cooperation Dialogue (ACD) pertama di dunia.

Di bandara kami langsung dijemput oleh perwakilan dari kerajaan Kuwait. Seorang laki-laki hitam yang lengkap dengan kostum resmi Arab. Jubah putih dan sorban yang juga putih. Dia tidak bicara banyak. Bahasa inggrisnya tidak terlalu bagus. Dia hanya menyuruh kami untuk mengikutinya dengan terburu-buru. Kami masuk mobil dan segera dibawa ke hotel Courtyard Marriot setelah sebelumnya sempat tersasar. Jadi di hotel itulah saya menghabiskan 5 malam di negara kaya itu.

Tak ada acara apapun hari itu. Jadi saya memutuskan untuk melihat kota sebentar. Hal yang pertama saya rasakan ketika sampai ke kota Kuwait adalah sepi. Berbeda dengan bandaranya yang ramai, Kuwait City sangat sepi. Tidak banyak orang yang berlalu lalang. Yahh… wajar saja sih. Hari itu Sabtu. Hari libur bagi orang-orang di Kuwait. Tidak seperti di Indonesia yang umumnya kantor libur pada Sabtu dan Minggu. Di Kuwait mereka libur pada hari Jumat dan Sabtu.

Lagipula hari itu panas. Setidaknya suhu

udara mencapai 40 derajat celcius pada siang hari. Bersyukur ketika saya datang, Kuwait dalam keadaan cuaca peralihan, dari musim panas ke musim dingin, Jadi siang tidak sepanas biasanya. Masih banyak angin. Sehingga masih nyaman untuk berkeliling kota. Biasanya pada musim panas, suhu di Kuwait bisa mencapai 60 derajat celcius. Sedangkan pada musim dingin, suhu udara bisa mencapai 2 derajat celcius atau di bawah itu.

Kuwait juga sepi karena kebanyakan orang Kuwait punya mobil. Dengan mudah kita bisa melihat mobil-mobil mewah terparkir begitu saja di depan gedung atau melenggang kencang di jalanan yang sepi. Di sana mereka berkendara dengan kecepatan tinggi. Sehingga harus hati-hati ketika menyeberang. Bisnis jual mobil di negara itu sangat seksi. Kebiasaan orang Kuwait, gonta ganti mobil. Setiap ada mobil baru, orang Kuwait akan langsung menggantinya.

Sementara harga servis dan suku cadang mobil di negara itu sangat mahal. Jadi ini juga yang membuat mereka berpikir dari pada memperbaiki mobil mending langsung ganti dengan mobil yang baru. Selain harga mobil di sana cukup murah dibandingkan negara lain karena tidak ada pajak. Harga bensin juga murah. Jadi tidak ada alasan tidak punya mobil di sana. Kecuali buruh migran yang masih mengandalkan bus ‘kaleng’ untuk bepergian ke mana-mana.

Transportasi umum di Kuwait City memang jelek sekali. Hanya berupa bus yang tidak jauh beda dengan kelas bus bekas yang diimpor dari Jepang untuk melayani penduduk Jakarta. Bus-nya bahkan lebih jelek dari Transjakarta. Lucu juga. Padahal dengan uang yang sangat banyak, pemerintah Kuwait bisa saja membuat transportasi massal yang canggih. Yah mungkin pertimbangannya itu tadi. Banyak penduduk asli Kuwait yang sudah punya mobil. Sementara kebanyakan buruh migran biasanya punya angkutan sendiri yang disediakan oleh kantornya.

Ini juga yang bikin Kuwait tidak menjadi salah satu tujuan wisata dan acara besar dunia. Karena syarat agar sebuah negara menjadi magnet turis adalah memiliki transportasi massal yang bagus. Oh iya, tidak ada sepeda motor yang berlalu lalang di Kuwait. Kalaupun ada, sepeda motor itu biasanya Cuma digunakan oleh pengantar makanan.

Selain jalanan yang sepi, hal yang menangkap perhatian saya saat pertama kali menginjakkan kaki di Kuwait adalah bangunannya yang hampir serupa. Umumnya bangunan di negara ini berwarna coklat muda, menyerupai warna pasir. Orang Kuwait merasa sia-sia mengecat bangunan dengan warna lain. Ini karena, Kuwait kerap dilanda badai pasir. Jadi ketimbang mengecat lalu warnanya jadi kusam gara-gara pasir. Jadi mending, mengecatnya dengan warna pasir. Tidak dua kali kerja. Sayangnya kebiasaan iitu justru membuat Kuwait tampak monoton. Membosankan.

Sementara tata kota Kuwait sebenarnya cukup bagus. Kawasan pemukiman, perkantoran, dan perdagangan dibedakan dengan jelas. Bahkan untuk kawasan pertokoan, Kuwait membagi-baginya sesuai jenis barang dagangannya. Jadi ada pusat pertokoan khusus alat elektronik, mainan, penjahit, suku cadang mobil, mobil, dll. Jadi tidak seperti di Jakarta. Di mana hampir di setiap jalanan ada saja rumah yang disegel karena menyalahi aturan tata ruang kota. Yah tapi tidak bisa dibandingkan juga karena Kuwait City luasnya paling hanya sepertiga luas Jakarta, mungkin lebih kecil. Jadi lebih mudah mengaturnya.

Orang Kuwait terkenal tidak ramah dan tidak bisa bertanggung jawab. Saya tidak bisa tidak setuju soal ini. Sebagai orang kaya mereka sudah biasa mendapatkan segalanya dengan uang. Sudah biasa dilayani. Mental majikan. Sehingga mereka buruk ketika harus bekerja di jasa pelayanan. Mereka miskin senyum. Makanya mereka butuh bantuan tenaga kerja migran dari Asia Tenggara yang lebih mampu tersenyum untuk ditempatkan di bagian frontliner.

Ini terasa sekali ketika saya masuk ke pressroom ACD. Mereka memang menyediakan pusat informasi namun mereka tidak memberikan informasi dengan baik. Bukan sekali dua kali mereka membuat kami bingung tentang jadwal acara yang mereka susun. Bahkan kami sempat ketinggalan salah satu acara karena tidak mendapatkan pemberitahuan.

Selain itu, mereka juga membuat kami menunggu lama hanya untuk mendapatkan ID. Mereka bilang kalau ID yang sudah disiapkan untuk wartawan Indonesia tidak ditemukan. Mereka berjanji mencarikannya untuk kami dan kami terpaksa menunggu berjam-jam. Hingga akhirnya seorang teman tidak sabar lalu

mencarinya sendiri, dan ditemukan.

Ketika kami menceritakan hal ini kepada orang KBRI, mereka hanya tersenyum. Mereka sudah biasa dengan kejadian itu. Bahkan untuk memuluskan sebuah perjanjian bisnis atau administras, mereka harus memuji-muji pengusaha Kuwait dahulu, agar mereka mau berinverstasi di Indonesia.

Hmmm tapi mungkin tidak semuanya begitu ya. Budayanya memang begitu, tapi tetap saja ada orang-orang yang menyalahi takdir haha. Saya menemukan satu orang Kuwait yang mudah tersenyum ketika saya sedang berjalan-jalan sendirian di sekitar dermaga. Seorang Kuwait mendekati saya dan bicara dalam bahasa tubuh. Dari tampang saya, sepertinya dia tahu kalau saya tidak bisa bahasa Arab.

Saya langsung menangkap maksudnya. Dia ingin membantu mengambil foto diri saya. Sepertinya dari tadi dia lihat kalau saya hanya mengambil foto pemandangan sementara saya tidak mengambil foto saya sendiri atau meminta seseorang untuk melakukannya untuk saya. Saya kemudian memberikan kamera saya padanya dan dia pun memotret saya. Dan ini jadi satu-satunya foto saya sendirian yang diambil di Kuwait hahaha.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page