top of page

#Fiksi #Ranai #1


Cita-citaku menjadi seorang pelaut. Bukan cita-cita istimewa karena hampir semua anak-anak di pulau ini ingin jadi pelaut. Kecuali Rian yang ingin jadi ilmuan. Dia tergila-gila dengan fisika. Aneh. Oya aku Ranai. umurku 10 tahun, kelas 5 SD. Aku tinggal di pulau Siantan. Tepatnya di kecamatan Tarempa. Untuk sampai ke sini butuh sekitar 25 jam berlayar dari Jakarta. Namun 8 jam saja dari Malaysia.

Tapi aku pastikan pulau ini masih Indonesia. Setidaknya itu kata guruku, Ibu Wayah, saat pelajaran Geografi dan Bahasa Indonesia. Meskipun, semua penduduk di pulau ini terlihat seperti orang Malaysia, karena bicara dalam bahasa Melayu. Sementara kami hampir lupa, tanggal 17 Agustus itu hari apa. Selain, hari itu tanggal merah. Yang artinya Aku bisa libur sekolah dan menghabiskan waktu memancing dengan tenang di kolam Babah Tai Li.

Bahkan, sebelum masuk sekolah aku berpikir, kami tinggal di Cina. Karena sebagian besar penjual kopi di pulau ini berkulit sangat putih dan bermata sipit. Hampir semua pemilik penginapan bicara dengan bahasa Cina. Dan setiap pemilik kapal dan pedagang kelontong memiliki nama dengan dua suka kata pendek, seperti Cih Li, Wei la, atau Li Cing. Meskipun ada juga sih yang punya nama seperti Handoyo, Suharmoko, atau Wijaya.

Hanya ketika Ayah memutuskanku harus sekolah saat berumur 6 tahun, aku paham di negara apa kami tinggal. Indonesia. Karena aku memakai seragam putih merah yang warnanya sama dengan bendera Indonesia. Menyanyikan lagu Indonesia Raya dan membaca Pancasila setiap Senin. Lalu belajar sejarah tentang para pahlawan yang berjuang di pulau-pulau yang tidak aku kenal, kebanyakan di pulau Jawa. Katanya itu juga bagian dari Indonesia.

Sampai suatu hari Ibu Wayah menyorongkan peta ke hadapanku. Dan aku bisa tahu kalau Cut Nyak Dien berjuang di Sumatera. Jenderal Sudirman memimpin perang di Jawa, atau Aidit yang memimpin gerakan G30 S PKI di Madiun. Eh itu pemberontakan atau apa? Ah sudahlah aku tidak suka pelajaran sejarah. Memangnya siapa yang suka? Hanya Satya paling-paling, yang berpikir pelajaran itu menyenangkan. Dia terobsesi menjadi superhero. Payah.

Yang aku paham dari pelajaran itu, hanyalah, tidak ada pahlawan dari Tarempa. Dan berdasarkan pengamatanku, Tarempa hanya berupa titik di peta Indonesia. Pantas saja terlupakan. Dulu kata ayah, ketika aku bayi, yang berarti 10 tahun lalu, yang berarti aku belum bisa bicara, pulau ini masih sangat sepi. Hanya jadi pulau persinggahan perompak atau pedagang ikan illegal. Mereka bertransaksi dalam uang Malaysia, Ringgit, atau dolar Singapura.

Tapi kemudian TNI angkatan laut semakin rajin patroli di daerah kami. Membuat kabur para penjahat-penjahat itu dan kami hanya dibolehkan membeli barang dengan rupiah. Pulau kami lalu dijadikan ibukota kabupaten baru, namanya Anambas. Setelah selama ini hanya menjadi bagian dari kepulauan Natuna. Lalu tiga bank berdiri di Tarempa. Salah satunya dikepalai ayahku.

Ya… ayahku pejabat bank. Keren kan? Kata ‘pejabat’ terdengar asyik juga. Kebanyakan orang melayu ingin jadi pejabat atau jadi Haji. Kesamaan kedua kata itu hanya satu, dihormati. Makanya selain ingin menjadi pelaut, banyak juga yang bercita-cita jadi PNS. Kepanjangannya pegawai negeri sipil. Yang aku pahami, pekerjaan mereka hanya mengetik di kertas atau mendatangani dan mengecap surat. Membosankan.

Sementara menjadi Haji lebih menarik sih. Hanya perlu ke luar negeri. Pulang-pulang pakai peci dan berbaju koko. Lalu ceramah deh di masjid. Atau melenggang di jalan. Sambil membalas sapaan semua orang, “Pak Haji”, lalu melambai. Gampang…gampang. Aku ingin coba suatu hari nanti.

Sementara ibuku adalah seorang guru. Untungnya bukan guruku. Dia mengajar matematika di SMPN I Tarempa. Dia pintar sekali loh. Ibu bisa menghitung tanpa menggores jawabannya di kertas. Dia juga tidak pernah punya kalkulator. Dia bisa menghitung dengan tepat berapa banyak bawang yang seharusnya dimasukkan ke dalam sambal. Atau berapa jumlah kelapa yang harus dipakai untuk membuat gulai. Perhitungan yang tepat sama dengan masakan yang enak. Ibuku keren. Sayangnya aku tidak diturunkan keahlian itu. Satu-satunya hal yang diturunkannya hanyalah alisku yang tebal. Sedangkan sisanya, katanya, lebih mirip ayahku.

Kakakku Raihan lebih beruntung. Dia 3 tahun lebih tua dariku. Dia juga jenius matematika. Dia bisa menghitung dengan tepat seberapa panjang seharusnya tali layang-layang diulur biar bisa terbang di udara. Atau seberapa jauh seharusnya aku melempar batu agar bisa mengambang di atas air dalam tiga pantulan sebelum benar-benar tenggelam. Tapi dia suka lupa berapa banyak dia harus memakan kue, agar tidak memakan bagianku.

Sedangkan adik laki-lakiku, Rui, masih berumur 5 tahun dan dia tidak punya bakat istimewa. Yang dia bisa lakukan hanya menirukan tingkah laku dan ucapanku. Gara-gara itu, aku suka dapat masalah. Seperti ketika aku meminggirkan semua sayuran dalam piringku dan hanya menyisakan nasi dan ayam goreng. Dengan bodohnya, Rui juga menolak memakan sayur. Akibatnya ibu marah besar. Menuding aku menyontohkan tingkah laku yang tidak baik pada adikku. Jadi dari pada kehilangan harga diri, aku memakan sayur itu, sambil menahan keinginan untuk muntah. Sial.

Pernah juga dia memergokiku sedang mengencingi tanaman di kebun bunga ibu. Jangan tanya kenapa aku melakukannya. Aku hanya tidak tahan. Sementara satu-satunya kamar mandi di rumah kami sedang dipakai Raihan untuk memandikan kucingnya yang gendut, si Pangeran Gundul. Kepalanya memang sedikit gundul. Raihan bilang, tadinya gundul itu tempat mahkotanya berada. Memangnya siapa yang percaya kalau ada kucing yang memimpin kerajaan. Tukang khayal.

Oh iya, lalu dengan mudahnya, Rui menirukanku. Dia mengambil posisi dan mulai mengencingi rak Koran kami. Beruntung ibu melihat kelakuannya. Dan tidak perlu waktu lama bagi ibuku untuk mengetahui dari mana Rui menyontohnya. Dan akupun dihukum. Aku harus membersihkan kencing Rui yang baunya keterlaluan karena sedikit makan sayuran. Seperti bau kencingku juga.

Tapi bukan masalah kencingnya. Aku sedih karena harus membuang sebagian besar Koran dan majalah yang disimpan ayah di rak itu. Koran seperti barang berharga di pulau kami. Meskipun kami bisa menonton siaran-siaran Jakarta di televisi kami. Namun kemewahan itu tidak mudah aku dapatkan. Ibu hanya membolehkan aku, Raihan, dan Rui menonton televisi pada hari Minggu. Itupun hanya 3 jam. Itu pun hanya film kartun bodoh dan cerdas cermat. Makanya Koran dan majalah adalah pelarianku.

Meskipun sebagian besar isinya tidak aku mengerti, tapi aku sangat suka melihat gambar dan kertasnya yang berwarna. Aku juga suka membaca dongeng di seksi khusus untuk anak-anak setiap edisi minggu. Masalahnya, aku tidak membacanya setiap minggu. Bila beruntung, Koran itu bisa sampai ke pulau kami pada malam hari. Namun ketika laut sedang pasang, kami baru bisa menemukan Koran hari minggu pada Selasa di agen Koran satu-satunya di Tarempa milik Wak Husein. Hahh….

—-

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page