top of page

ISTANBUL: TURIS YANG MERASA PULANG

Keluar dari wilayah Schengen, kami singgah dulu di Istanbul, Turki, sebelum pulang kembali ke Inggris. Kesan pertama yang saya dapatkan ketika pertama kali sampai di kota yang menjadi saksi kejayaan kerajaan Andalusia itu adalah, terlalu ramai.

Transportasi massa di Turki tidak kalah berantakan dari Yunani. Subway yang mereka miliki hanya menghubungkan sedikit daerah dan jam operasinya tak lama. Sementara sisanya harus ditempuh dengan taksi atau bus yang biaya perjalananya mahal. Penginapan kami di Turki juga tidak bisa dibanggakan. Kami tinggal di hostel yang tampaknya baru saja direnovasi. Hostel itu memiliki 5 lantai dan tidak ada lift, sementara kamar kami terdapat di lantai paling atas dan koper yang kami bawa semakin berat. Alhasil kami harus bekerja keras untuk mendaki bangunan itu lewat tangga.

Meskipun demikian, berada di Turki membuat kami merasa pulang ke rumah dengan berbagai makanan yang sudah pasti halal dan azan yang kumandang setiap waktu shalat tiba. Kami bisa makan di restoran cepat saji tanpa perlu takut ayam yang kami makan tidak dipotong secara islami atau

menikmati es krim khas Turki yang kenyal tanpa takut gelatin yang digunakan tidak halal atau menyantap berbagai masakan yang terbuat dari makhluk laut seperti mackerel dan kerang sepuasnya. Kami juga tidak perlu khawatir meninggalkan shalat karena di setiap sudut kota terdapat masjid dan mushola yang bisa digunakan untuk melaksanakan kewajiban itu.

Di Istanbul ada sebuah jalan di tengah kota yang dipenuhi restoran dan toko-toko pakaian ternama, yaitu Istiklak Street. Begitu banyak turis yang mendatangi jalan tersebut, terutama pada saat malam. Namun juga banyak pengemis di jalan. Kebanyakan pengemis adalah pengungsi dari daerah konflik di Timur Tengah, salah satunya Syria.

Istanbul dipisahkan menjadi dua wilayah, kota tua dan kota baru. Kedua daerah tersebut dihubungkan oleh sejumlah jembatan, salah satunya Galata Bridge. Di jembatan tersebut saya melihat ratusan orang mengkail ikan secara bersamaan di tengah kota dan ratusan pelikan terbang di atas kepala mereka seakan marah makanan mereka dirampas. Bagi saya pemandangan tersebut cukup aneh dan sedikit lucu.

Untuk menemani para pemancing di udara yang dingin, sejumlah pria menjajakan teh hangat. Teman saya pun tergoda mencicipi teh khas Turki itu dan dia sangat suka. Rasanya pekat dan berbau harum. Esoknya dia kembali ke jembatan itu hanya untuk mencari penjual teh.

Saya pun tak melewatkan kesempatan untuk mengunjungi Istana Turki, Hagia Shopia, dan Basilica Cistern. yang terdapat di kota tua. Sebelumnya saya shalat di masjid tua yang terlalu di komplek yang sama dengan bangunan-bangunan terkenal tersebut. Turis yang tidak beragama Islam pun penasaran untuk masuk ke masjid yang boleh dipergunakan untuk shalat itu. Mereka boleh masuk, hanya setelah para muslim selesai melaksanakan shalat berjamaah. Mereka tampak takjub dengan keindahan masjid itu. Ukiran-ukiran berlafaz Allah yang menghiasi dinding hingga langit-langit memberikan nuansa religious yang kental dan terasa magis.

Kami hanya menggagumi keindahan Hagia Shopia dari luar karena kami sudah tidak punya tenaga lagi untuk mengantri tiket yang panjangnya sudah sangat mengular. Tamannya pun sudah sangat indah. Lucunya, meskipun kompleks tersebut cukup islami, namun banyak anjing yang asyik tertidur di halaman bangunan. Padahal, anjing adalah hewan yang tergolong najis bagi umat Islam. Saya termasuk orang yang takut pada anjing, sehingga kondisi itu membuat saya sedikit tidak nyaman. Di halaman masjid saya juga menemukan kembali obelisk yang merupakan hadiah dari pemerintah Mesir untuk Turki.

Di Istanbul saya menyempatkan diri untuk lari pagi. Menaiki tangga yang berwarna warni yang mengarah ke jalan Istiklal. Pada pagi hari jalan tersebut sepi dan bisa dilalui mobil. Hanya beberapa toko yang buka. Termasuk deretan toko-toko souvenir yang kebanyakan menjual mainan kunci atau accesoris dengan ornamen berbentuk satu mata berwarna biru yang terbuat dari bahan gelas. Ornamen tersebut dipercaya seperti jimat, sehingga pemiliknya akan dilindungi oleh kekuatan gaib yang terdapat dalam benda itu. Benda yang sama juga mudah ditemukan di Athena.

Kami menghabiskan tiga hari di kota itu. Di hari terakhir kami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar karena kelelahan. Apalagi, pada esok hari kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke bandara. Kami harus memesan taksi untuk jam 3 pagi. Berhubung pengurus hostel kami benar-benar tidak membantu, kami mencari sendiri informasi pemesanan taksi.

Tidak mudah, karena bahasa dan tulisan yang berbeda. Untungnya saat bertanya ke sebuah agen perjalanan yang juga sering merentalkan mobil untuk membawa turis, sang agen dengan senang hati membantu kami. Kami bisa berkomunikasi dengan baik karena si bapak bisa berbahasa inggris dengan baik, dia pun membantu menelpon perusahaan taksi untuk memesan satu taksi untuk kami.

Dia bahkan mewanti-wanti perusahaan taksi tersebut untuk membawa kami dengan baik ke bandara karena kami adalah saudaranya. Menurutnya, kami mengingatkannya dengan sang anak gadis yang tampak seumuran kami. Dia pikir kami masih 18 tahun hahaha. Mendapatkan kebaikan random semacam itu selalu membuat hati saya terasa hangat.

Pada 7 April 2015, kami menaiki pesawat yang akan membawa kami kembali ke London. Petualangan kami pun berakhir.

Addition: Kami sampai di Newcastle esok harinya pada pukul 2 pagi hanya untuk mendapati kontrakan kami telah dimasuki maling dan uang teman saya sebanyak 700 pound sudah dibawa lari. Hal ini meninggalkan trauma yang cukup lama bagi saya. Hingga lupa bahwa sebulan terakhir kami menghabiskan waktu yang hebat di Eropa daratan. Ternyata benar kata orang, kisah yang berakhir bahagia itu tidak selalu ada di dunia nyata hahaha.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page