top of page

KARL MAY SI PEMBUAL


“Kulit merah menamakannya Vau-va-shala, Tangan Maut, tapi orang kulit putih memanggilnya dengan sebutan Old Shatterhand. Dia mengenal semua binatang di darat dan pengunungan, karena Winnetou, kepala suku Apache, adalah gurunya. Dia adalah seorang kepala suku yang terhormat, saya harus menunggu sampai dia sendiri yang menawarkan pipa perdamaian itu kepada saya.”

Demikian Karl May menggambarkan tokoh fenomenal rekaannya, Old Shatterhand. Karl Friedrich May lahir di Sachsen, sebuah negara bagian Jerman pada 25 Februari 1842. Sejak kecil, Karl May adalah pendongeng ulung. Imajinasinya mengawang tak terbatas. Tuturnya meyakinkan. Katanya menghanyutkan. Tak ada yang nyana bila sebuah cerita yang terucap dari bibirnya adalah bualan.

Ya, dia memang pembual kelas atas sekaligus penipu ulung. Namun dia adalah penulis yang cakap dan luhur. Seorang pacifist atau si pecinta damai yang budiman. Begitu banyak cerita petualangan buatannya memukau masyarakat dunia, tokoh-tokoh penting dunia. Mempengaruhi mereka dalam alam rekaan Karl May, yang bahkan dia pun tak pernah menginjakkan kaki di daratan Indian, mendaki piramida, ataupun merasakan ganasnya gurun Kara Ben Nemsi.

Seolah mampu menghipnotis, banyak orang percaya bahwa apa yang diceritakannya itu adalah sebuah kebenaran. Karl May tak peduli, dia malah semakin asyik dalam imajinasinya. Berlagak bahwa dialah sebenar-benarnya si tangan maut. Berlagak bahwa dialah si pengelana dunia itu. Karl May berhasil memikat dunia hingga saat ini. Meskipun raganya telah mati, tulisan-tulisannya tetap menggurita di benak masyarakat dunia, khususnya Indonesia.

Karl May dan Indonesia memang punya sejarah pribadi. Hal ini mewujud dalam bukunya Dan Damai di Bumi atau dalam bahasa Jerman berjudul “Und Friede auf Erden”. Buku yang terbit pada 1904 itu mengisahkan cerita petualangan fiktif yang dibuat berdasarkan laporan perjalanan Karl May. Saat dia melakukan kunjungan besarnya ke Timur selama 16 bulan, dari 26 Maret 1899 hingga 31 Juli 1900.

Cerita ini cukup istimewa, karena selama ini Karl May belum pernah membuat cerita yang menggunakan latar belakang tempat yang betul-betul pernah disinggahinya. Biasanya Karl May mengandalkan peta, buku-buku geografi, dan kliping koran untuk menghadirkan suasana dan keadaan suatu negara yang menjadi setting dalam ceritanya secara tepat.

Dalam buku harian perjalanannya, Karl May menulis, “4 November. Menuju Padang dengan kapal “Coen”. Ke Uleh-leh menyeberangi jalur Malaka melintasi Edi, Lo-Semaweh dan Segli. Nama-nama itu adalah pos militer, pantai-pantai dengan banyak demam yang mematikan, dibangun untuk melawan pemberontakan untuk kedaulatan Atjeh di pedalaman. …. Kami tinggal di hotel Rosenberg di Kota Radscha (= Kota Raja, Banda Aceh”. Entah apa alasan yang mendorong Karl May untuk mampir ke Sumatera waktu itu.

Cerita-cerita Karl May juga telah mempengaruhi begitu banyak tokoh-tokoh besar di Indonesia. Muhammad Hatta atau Sutan Syahrir misalnya. Mereka menjadi penggemar laki-laki itu sejak buku karangan Karl May diterjemahkan oleh Pemerintah Belanda dalam bahasa Indonesia pada 1950-an. Belum lagi sederet nama tokoh sastra, penyair kelas kakap, dan para pemikir terkenal Indonesia yang turut terhipotis oleh Karl May.

Ceritanya juga berhasil mempengaruhi saya. Saya mengenalnya saat SMP. Ketika saya masih sering membolos belajar, berpura-pura sakit, biar bisa menghabiskan waktu membaca di perpustakaan. Lebih sering saat pelajaran olah raga. Biasanya kami tidak berolah raga di lapangan sekolah, karena sempit. Akhirnya saya dan teman-teman melakukan praktek olah raga di lapangan bola besar besar atau lapangan basket di dekat SMP kami.

Paling asyik kalau olah raganya di lapangan basket. Di depan lapangan basket itu ada perpustakaan Bung Hatta. Perpustakaan usang yang hanya berisi debu dan buku-buku tua. Tapi menghabiskan waktu di sana sangat menyenangkan. Kamu tidak pernah tahu buku apa yang bisa temukan di sana. Buku-buku yang jarang ditemui di perpustakaan sekolah. Biasanya saya ke sana dengan sahabat saya sejak kecil, Arif dan seorang sahabat saya lainnya yang saat ini telah meninggal, Risa. Di sana saya menemukan buku-buku Karl May.

Lucunya, buku Karl May yang pertama kali saya baca bukanlah novelnya. Tapi biografinya. Saya juga mengenal Karl May dalam buku biografi orang terkenal lainnya, yang mengisahkan kalau mereka begitu terpengaruh dengan cerita buatan Karl May.

Sejak saat itu, saya mencintai sosoknya. Dari sana saya tahu kalau Karl May bisa membuat novel keren lintas geografis, meskipun dia tidak pernah datang ke tempat itu. Dia bisa menggambarkan dengan tepat. Saya jadi ingin sekali seperti dia. Sejak itu saya semakin senang menulis.

Hal yang menarik dari tulisan-tulisan Karl May bukan hanya soal detail yang luar biasa tentang tempat yang jadi setting ceritanya. Tapi juga kebiasaannya yang menempatkan dirinya sendiri sebagai tokoh dalam cerita. Saya suka tersenyum sendiri kalau membaca bukunya yang pemeran utamanya adalah ‘Aku’. Lucu saja karena saya tahu dia pembual kelas kakap. Bodoh sekali rasanya didongengi cerita kepahlawanan oleh seorang penipu yang narsis. Tapi saya suka dibodohi oleh tulisannya hahaha…

“Mimpi memang tidak mungkin dituntut untuk masuk akal, Leletak Sa’ide”

(Karl May – Dan Damai di Bumi)

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page