top of page

PARIS: WARISAN KESENJANGAN MARRIE ANTOINETTE

Dari Venice, kami terbang ke Paris, kota yang diidam-idamkan banyak orang. Kota yang juga ingin sekali saya kunjungi karena saat kecil saya adalah penikmat komik Marrie Antoinette yang sebenarnya adalah bikinan komikus Jepang. Saya juga pecinta novel-novel Dan Brown yang sering menjadikan kota ini sebagai latar belakang cerita. Dan, ini adalah kota kelahiran penulis favorit saya, Antoine de Saint-Exupery yang mengarang salah satu buku paling berpengaruh di hidup saya, the Little Prince.

Namun, saat itu saya lumayan was was juga untuk datang ke sana apalagi setelah kasus penembakan staf redaksi Charlie Hebdo yang telah membuat citra Islam tak begitu baik di Paris. Apalagi dengan jilbab yang saya gunakan, sangat mudah mengenali saya sebagai seorang Muslim.

Turun dari pesawat di Bandara Charles de Gauelle, kami langsung menaiki subway ke penginapan. Biasanya di sejumlah kota Eropa lain, saya tidak pernah menemukan pengemis yang masuk dan meminta-minta di dalam Subway. Namun di Paris berbeda. Bahkan salah satu pengemis yang asya temui menggunakan modus yang sama dengan para pengemis yang biasa saya temui di Jakarta. Memelas minta receh sambil menggendong seorang bayi. Padahal menurut saya, subway yang dimiliki Paris lebih mewah dan canggih dari subway di negara lain.

Tidak mudah mencari penginapan murah di Paris, maklum kota turis. Kami bersyukur bisa menemukan kamar dengan sewa cukup murah padahal berada di zona yang berdekatan dengan pusat kota lewat Air BnB. Penginapan tersebut berada di sebuah apartemen yang ditinggali oleh tiga orang mahasiswa laki-laki asal India. Kami menumpang di salah satu kamar mereka. Sementara yang punya kamar tidur di ruang tamu.

Kami langsung keluar rumah untuk mengunjungi sejumlah tujuan wisata mainstream yang ada di Paris, menyusuri jalan Champs Ellyse, Arc de Triompe, Obelisk Luxor, Lovre dan lainnya. Kota ini memang punya banyak landmark kota yang indah dan tatanan kota yang patut dipuji.

Obelisk dan piramida Lovre adalah yang paling saya cari, berhubung saya adalah penggemar novel Cane Chronicle dan kebudayaan mesir kuno. Saya juga merasa aneh betapa, kebudayaan mesir kuno bisa sangat mempengaruhi peradaban modern Prancis. Negara ini terkenal sekuler yang selalu berusaha memisahkan urusan agama dan kebudayaan. Negara yang terkenal paling rasis terhadap penganut agama tertentu. Bahkan saat berada di Paris saya sempat diusir hanya karena harus melakukan shalat di jalanan karena tidak menemukan masjid.

Namun lucunya, Paris adalah negara di Eropa dengan penganut agama Islam terbesar dan keberadaan pyramid dan obelisk di tengah kota Paris sebagai salah satu landmark kota menunjukkan bahwa di balik kesombongan sekulerisme itu ada keinginan yang besar dari para penduduk kota untuk mempercayai keberadaan Tuhan. Obelisk adalah cara orang-orang Mesir kuno untuk menjalin koneksi dengan Tuhan yang dipercaya berada di langit. Sementara Pyramid biasa digunakan untuk bangunan makam yang merepresentasikan hubungan yang kuat antara manusia dan Tuhan setelah kematian menjelang.

Saya menikmati berada di Museum Lovre juga karena museum tersebut menjadi latar belakang kisah petualangan Robert Langdon karangan Dan Brown yang paling saya suka. Juga termasuk salah satu museum yang paling ambisius di dunia dalam mengumpulkan koleksi selain British Museum.

Ini rumahnya lukisan Monalisa yang terkenal milik Leonardo Davinci. Lukisan yang menarik jutaan turis di seluruh dunia untuk datang melihat. Ruangan eksibisi lukisan ini selalu penuh turis yang bersesakan. Kelompok turis dari Cina yang paling harus selalu diwaspadai karena mereka sangat lincah dan tidak segan menyikut agar bisa berdiri paling depan agar bisa memotret lukisan tersebut atau berpose dengan latar belakang lukisan.

Tempat lainnya yang wajib dikunjungi ketika di Paris tentunya Eiffel. Menara tersebut sehebat yang diceritakan oleh orang-orang. Tinggi dengan detail arsitektur yang rumit dan menarik. Salah satu kawasan yang paling ramai di kota tersebut. Namun dibalik kemewahannya, Eiffel menyimpan banyak cerita sedih.

Di pinggir jalan menuju kawasan Eiffel, kita bisa lihat banyak sekali tukang judi jalanan dan ramai imigran yang berjualan souvenir dengan harga murah. Mereka tampak frustasi ketika menjual souvenir tersebut karena tak banyak turis yang tertarik membeli. Bahkan salah satu penjual yang mendekati kami menjual souvenirnya seharga 1 euro untuk 5 gantungan kunci dengan miniatur eiffel dengan satu miniature ukuran cukup besar. Padahal di Champ Elysse, satu gantungan kunci seharga 1 euro.

Banyak orang yang mewanti-wanti turis yang akan pergi ke Paris untuk selalu berhati-hati dengan imigran kulit hitam karena mereka kemungkinan besar adalah pencopet atau pelaku kejahatan lainnya. Label yang semena-mena dilekatkan pada mereka. Padahal tak sedikit penduduk asli Paris yang menjadi gelandangan, pengemis, dan berjudi di jalanan kota. Sementara para imigran tersebut berjualan seharian di bawah Eiffel untuk mendapatkan uang untuk makan.

Di kota ini saya bisa melihat dengan jelas, kesenjangan sosial dan ekonomi. Kita bisa menemukan gelandangan dan pengemis dengan mudah, begitu juga antrian pelanggan yang mengular di depan toko desainer ternama Luis Vuiton untuk membeli sejumlah tas keluaran terbaru. Kenyataannya dalam sejarah, Paris memang terkenal dengan skandal hitam keluaga kerajaan yang menetapkan pajak yang tinggi bagi rakyatnya hingga mereka miskin, sementara keluarga kerajaan bisa menikmati kemewahaan yang melimpah. Layaknya hidup yang dijalani Ratu Marrie Antoinette. Revolusi untuk mengubah tatanan pemerintahan macam itu telah terjadi, namun sisa-sisa kutukan tersebut tampaknya masih ada.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page