top of page

BERLIN: TEMBOK DAN GRAFITI

Kami berangkat pagi-pagi buta dari hostel untuk mengejar penerbangan pagi ke Berlin, Jerman. Setelah sebelumnya menghadapi drama berupa pintu loker tas yang tidak bisa dibuka karena kunci tak sengaja ikut dikunci di dalam lemari. Belum ada staf hostel yang datang pagi itu, untung ada tukang bersih-besih yang secara ajaib muncul 15 menit sebelum waktu kami seharusnya menyetop bus menuju bandara.

Kami sampai di Berlin siangnya dengan rasa lapar. Untungnya hostel yang kami tumpangi di kota ini bisa diandalkan. Harga kamar yang murah, dapur yang bersih, dan dekat pusat kota di mana banyak swalayan menjual bahan makanan diskon. Yang terpenting lantai kamar hostel kami dilapisi karpet (jangan tanya mengapa ini jadi penting hahaha!).

Memasuki Berlin hal utama yang menarik perhatian saya adalah banyaknya graffiti di bangunan-bangunan yang saya lewati. Pemerintah kota tidak terlalu mengambil pusing dengan kemunculan graffiti-grafiti tersebut, seakan kebiasaan menyemprot cat di dinding-dinding kota tanpa izin adalah sebuah budaya tersendiri.

Grafiti memang menjadi salah satu upaya diplomasi yang dilakukan oleh masyarakat Jerman untuk mengembalikan persatuan negaranya. Negara ini memang tidak hanya aktif dalam perang dunia namun juga punya cerita sedih sendiri soal pertikaian lokal hingga kota ini dibagi menjadi dua bagian dengan tembok berlin sebagai pemisahnya. Bagian yang satu menuntut demokrasi dengan pemerintahan yang lebih terbuka.Sementara bagian lainnya, cukup nyaman dengan kondisi otokrasi yang memungkinkan para penjilat menikmati gelimang harta untuk dirinya sendiri.

Tembok Berlinadalah dinding kota yang paling menjadi incaran para pelaku graffiti. Dari yang mengumandangkan pesan-pesan perdamaian dan kutukan terhadap perang hingga guratan pesan untuk keluarga yang terpisah di balik dinding. Kini tembok yang dulunya membentang sepanjang sungai Spree yang memisahkan kedua bagian Jerman, hanya tinggal tak lebih dari sepertiganya. Namun tembok itu masih tetap tekenal bagi para artisan dan sekarang disebut East Side Gallery.

Disebut galeri karena dindingnya penuh sesak dengan goresan lukisan buatan para seniman lokal atau dari negara lain. Tembok tersebut tidak lagi menjadi alat unjuk unjuk suara menghujat pemerintah namun lemari pajang karya graffiti bagi para seniman. Di salah satu sisinya saya menemukan graffiti presiden Soekarno. Entah siapa yang melukisnya.

Setelah banyak bangunan yang hancur karena perang saudara, pemerintah kota Berlin membangun kembali kota dengan jati diri baru. Banyak bangunan ramah lingkungan dibuat dengan arsitektur futuristik. Salah satunya adalah gedung parlemen Berlin. Kami perlu mengantri cukup lama untuk menunggu giliran mengikuti tur ke gedung tersebut.

Gedung itu dari luar layaknya bagunan mewah bergaya victoria lainnya, namun di dalamnya terdapat bangunan baru yang menjadi acuan para arsitektur dan pegiat bangunan ramah lingkungan. Gedung tersebut melingkar membentuk kubah yang terbuat dari bahan tertentu yang mampu menyimpan panas dan mengalirkan energi ke seluruh gedung. Dari puncak gedung kami bisa menikmati pemandangan kota Berlin pada malam hari yang sangat indah.

Bila di Berlin banyak bangunan modern, kota kecil Postdam yang berjarak sekitar 1 jam dari ibu kota masih menyimpan kemegahan arsitektur bangunan bergaya ‘kerajaan’. Kota ini dulunya menjadi pusat pemerintahan bagian Jerman yang mendukung kekuasan monarki. Di kota ini terdapat istana kerajaan yang sangat indah dan luas. Di kota ini juga terdapat sebuah universitas yang berada di lahan yang sama dengan istana tersebut. Universitas tersebut dulunya adalah sebuah akademi ternama yang hanya bisa dimasuki oleh para keturunan bangsawan.

Sebelum memutuskan untuk tinggal dan berkuliah di Newcastle saya pernah berniat untuk mengambil studi SME’s di universitas Postdam. Bersyukur saya tidak memilih untuk belajar di kota tersebut, saya bisa mati bosan. Bukan hanya kecil, kota itu juga sepi meskipun banyak turis yang datang pada siang hari.

Bangunan lain yang menarik di Berlin adalah monumen yahudi yang berada di tengah kota. Monumen tersebut dari luar tampak seperti balok yang disusun layaknya maze atau seperti ratusan peti mati yang disusun di atas sepetak tanah. Namun ketika masuk ke wilayah monumen itu kita bisa menyadari bahwa balok-balok itu berdiri di atas tanah yang konturnya tidak rata.Sehingga ada balok yang sangat tinggi karena dibangun di bagian tanah yang rendah dan ada balok yang rendah karena dibangun di sisi tanah yang tinggi.

Sementara museumnya berada di bawah tanah. Di bawah balok-balok tersebut. Museum ini bercerita tentang nasib para pemeluk agama yahudi yang dibunuh dan diburu oleh pasukan Nazi yang dipimpin oleh Hitler.Mereka diburu karena diaggap sebagai ancaman bagi perekonomian, politik, dan kehidupan sosial masyarakar Jerman.

Di masa itu, banyak orang-orang Yahudi yang sukses secara finansial karena mereka memegang sektor-sektor ekonomi penting seperti perbankan. Masyarakat Jerman atau Eropa yang kebanyakan beragama katolik menghindari bisnis peminjaman uang karena dianggap dosa. Maka mereka membiarkan para Yahudi untuk menggarap sektor bisnis tak terpuji itu. Sementara mereka lebih memilih untuk berbisnis lahan dan properti.

Orang Katolik saat itu juga tidak dibolehkan menjadi penghibur semacam artis atau komedian, sehingga mereka membiarkan orang Yahudi untuk

berkarir di profesi yang dianggap hina tersebut. Namun mereka tidak menduga bahwa bisnis perbankan justru menjadi besar di kemudian hari dan menguasai ekonomi negara tersebut sehingga para Yahudi bisa hidup dengan gelimang harta. Mereka juga tidak mengira bahwa profesi penghibur bakal memberi pengaruh besar pada kehidupan sosial masyarakat Jerman karena memungkinkan mereka untuk menyampaikan pesan dan paham-paham baru.

Akibatnya, Hitler yang sangat percaya dengan konsep dominasi ras yang tak berbeda dengan nasionalis buta, membuatnya melakukan operasi pemurnian ras dan memburu para Yahudi. Memaksa mereka untuk pindah agamanya atau dibunuh. Bukan hanya Yahuni para penganut agama lainpun juga dipaksa untuk melakukan hal yang sama, salah satunya penganut Sinti.

Cara pemusnahannya pun tak kalah seram, salah satu yang paling terkenal adalah Holocaust.Di mana para pendosa dikumpulkan di salah satu ruangan dan diasapi hingga kehabisan nafas dan mati. Perempuan dan anak-anak tidak luput dari upacara pemusnahan tersebut.

Saya jadi teringat dengan buku “The Boy in the Strip Pajamas” yang bercerita tentang bagaimana dua bocah laki-laki yang bersahabat menjadi korban holocaust dengan hati riang selayaknya anak-anak, tanpa sadar bahwa mereka sedang dibantai hingga mati.Cerita itu sangat bagus, namun saya tidak sanggup membaca buku tersebut untuk kedua kalinya karena membuat saya tidak berhenti menangis. Bagi saya apapun alasannya manusia tidak punya hak untuk mengambil nyawa orang lain. Meskipun pada kasus tertentu hal tersebut mungkin harus dilakukan.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page