top of page

AMSTERDAM: SELAMAT DATANG DI KOTA GANJA DAN PROSTITUSI

Minggu terakhir perkuliahan sebelum Spring Break tiba, satu per satu dosen mengakhiri kelasnya dengan menyuruh para murid untuk benar-benar menikmati masa liburan sebulan penuh karena di waktu summer ketika semua mahasiswa S1 menikmati Summer Break, mahasiswa pascasarjana tidak mungkin bisa ikut libur karena harus sibuk mengerjakan disertasi. Saran itu saya ikuti. Maka usai perkuliahan terakhir saya dan seorang teman langsung bergegas ke bandara dan menaiki pesawat menuju ke eropa daratan.Target kami 9 negara dalam 26 hari.Perberhentian pertama, Amsterdam, Belanda.

Kami mendarat di kota kompeni tersebut sekitar pukul 9 malam. Untungnya di bandara bertemu orang Indonesia lain yang baik sekali mengantarkan kami hingga ke hostel yang akan menjadi tempat menginap kami selama dua hari. Petugas hostel menyambut kami ramah seraya berkata dengan bahasa inggris patah-patah: “Welcome to the city of weeds and prostitutes”.

Amsterdam jelas bukan kota favorit saya. Di setiap sudut kota gampang ditemui orang yang mengisap ganja. Bahkan di hostel yang kami tumpangi disediakan ruangan khusus bagi para perokok tanaman memabukkan itu.Kami tidur di kamar hostel dengan delapan tempat tidur karenanya setiap malam ketika saya sedang lelap tidur ada saja penghuni kamar yang masuk usai menghisap ganja

dan bau badannya membuat saya terbangun.Akibatnya, hingga kini hidung saya sudah terbiasa mengenali bau ganja.

Memang banyak orang yang datang dari penjuru dunia ke kota ini hanya untuk menikmati ganja dengan damai tanpa perlu takut diburu. Tidak hanya menjadi rokok, di kota ini ganja dipakai untuk membuat panganan lainnya seperti kue dan lollipop. Bagi pecinta kopi, jangan sampai salah masuk coffee shop.Di Amsterdam yang namanya ‘coffee shop’ bukan tempat minum kopi tapi tempat para penikmat ganja berkumpul.Lebih gampang menemui ‘coffee shop’ ketimbang warung yang menjual mie instan.

Pemerintah kota ini memang menghalalkan

konsumsi ganja sejak 1976, tapi tidak melegalkan penjualannya. Ganja tetap barang illegal namun pemerintah tidak menghukum siapapun yang mengkonsumsinya secara personal.Kata lainnya, pemerintah memilih untuk tutup mata terhadap peredarannya.

Namun pemerintah mengharamkan penggunaan ganja pada batas tertentu dan penggunaan zat adiktif lain yang termasuk dalam kategori obat keras, seperti kokain. Lucunya, di pusat kota gampang ditemui peringatan kepada turis untuk tidak menerima tawaran membeli ganja dan kokain dengan diiming-imingi fakta menakutkan bahwa 1 dari 10 turis yang datang ke Amsterdam meninggal karena kecanduan. Ini benar-benar membingungkan.Tidak benar-benar melarang tapi

tidak benar-benar membolehkan.

Hal lain yang seakan-akan dilegalkan di kota ini adalah prostitusi. Di kota ini terdapat daerah khusus bernama red district di mana perempuan berbaju minim akan dipajang di jendela toko. Sementara toko yang menjual sex toys bertebaran setiap lima meter. Saya melewati daerah itu tanpa sengaja karena tersasar.Kami seharusnya mengikuti peta untuk mengunjungi museum multatuli namun malah sampai ke daerah tersebut.Agak risih rasanya melihat perempuan dijual layaknya souvenir.

Meskipun demikian, pengalaman saya di Amsterdam tidak selalu buruk. Saya beri nilai maksimal untuk pengelolaan museum dan kanal di kota tersebut. Amsterdam punya banyak museum,

mulai dari museum sejarah hingga museum tematik, seperti museum sex toys, museum ganja, museum bir dan lain-lain.

Rijskmuseum, salah satu museum yang menampilkan sejarah Negara Belanda termasuk sejarah negara-negara yang pernah menjadi jajahannya, salah satunya Indonesia. Banyak artefak budaya dan literatur Indonesia yang tersimpan rapi di museum ini.

Perlu tidaknya Belanda mengirim pulang benda-benda bersejarah tersebut ke negeri asalnya masih jadi perdebatan sengit hingga sekarang. Dengan track record Indonesia yang sering kehilangan benda bersejarah yang tiba-tiba dijajakan di pasar gelap dan pengelolaan museum yang buruk

ditakutkan dapat merusak kondisi barang-barang itu. Sementara sebagai pemilik resmi sudah sepantasnya bila specimen museum tersebut dikirim kembali ke Indonesia.

Museum lain yang saya kunjungi adalah Van Gogh museum.Awalnya saya agak skeptis bisa menikmati museum ini.Saya tidak terlalu kenal pelukis tersebut.Saya juga bukan pecinta lukisan.Saya kenal beberapa lukisan terkenal Van Gogh justru dari kartun yang suka saya tonton, Chalk Zone.Terutama pada bagian di mana Van Gogh memotong telingannya sendiri. Namun ketika masuk ke museum tersebut, tanpa sadar saya hanyut dalam kisah hidup sang pelukis.

Museum itu memiliki empat lantai yang masing-

masingnya mengungkap fase kehidupan Van Gogh dari kecil, perjuangannya belajar melukis, kisah penyakit mentalnya, hingga kematian. Fase tersebut diceritakan melalui rangkaian lukisan dan tulisan dan barang-barang peninggalan pribadi, terutama surat-surat pribadinya untuk sang kakak, Theo.

Souvenir shop museum menjual banyak reproduksi lukisan Van Gogh dan mengaplikasikannya ke berbagai macam benda, seperti pakaian, mug, hingga post card.Kemampuan pengelola museum untuk menata barang-barang museum tersebut hingga membuat pengungjung merasa didogengi membuat toko souvenir menjadi buruan.Setiap orang ingin memiliki memorabilia tentang Van Gogh.

Hal lainnya yang patut diapresiasi dari Belanda adalah kemampuan mereka untuk bisa hidup di tengah ancaman tenggelam.Pada dasarnya mereka hidup di bawah air.Di daratan yanga lebih rendah dari permukaan lautan.Mereka membangun bendungan yang sangat tinggi untuk memagari negaranya dari air laut.

Kanal-kanal dibuat biar air bisa mengaliri kota pada level sewajarnya. Sejumlah kanal itu membelah kota Amsterdam dan menyambungnya dengan jembatan-jembatan kecil. Bila dilihat dari atas kapal yang mengitari kanal, dari bawah jembatan-jembatan tersebut tampak simetris dan jadi pemandangan menarik tersendiri. Salah satu rute kanal yang memiliki serangkai jembatan di sepanjangnya memberi kesan Venice yang kental.

Amsterdam berbagi nasib yang sama dengan Jakarta. Sejak dulu Jakarta sudah memiliki masalah banjir karena wilayahnya yang juga lebih rendah dari laut. Saya jadi punya asumsi mengapa ketika menjajah negara kita, Belanda memilih Jakarta sebagai ibu kota negara, yaitu biar mereka tetap bisa merasa di rumah.

Bangunan di Belanda umumnya memiliki tipe yang sama. Beratap tinggi dan berdempetan. Umumnya bangunan yang berdempetan itu memiliki lebar sekitar dua atau tiga kolom. Satu kolom rata-rata panjangnya sekitar 1,5 hingga 3 meter. Namun, ada satu bangunan di Amsterdam yang terdiri dari satu kolom. Sehingga, saat melihatnya dari atas kapal yang mengitari kanal, bangunan tersebut tampak begitu sempit.

Karena tinggi dan bentuk bangunan yang hampir mirip, sejumlah orang kaya di kota berusaha menampilkan berbagai ornamen mewah di bangunan yang mereka miliki sebagai pembeda. Rumah mewah biasanya ditandai dengan pahatan dan ukiran batu berbentuk dewa dewi atau memiliki aksen emas di dindingnya. Namun banyak juga penduduk Belanda yang tinggal di perahu-perahu di atas kanal. Untuk itu mereka tetap harus memiliki izin tempat tinggal.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page