top of page

NYINYIRIN JURUSAN JURNALISTIK DI INDONESIA

Setelah kurang lebih enam tahun berprofesi sebagai wartawan, saya memutuskan untuk mengambil jeda untuk melanjutkan pendidikan. Saya beruntung bisa terpilih untuk mendapatkan beasiswa pascasarjana ke Inggris. Selama setahun saya menuntut ilmu di Newcastle University pada program media and journalism. Awalnya, ekspektasi saya adalah mendapatkan pengetahuan yang lebih luas soal jurnalistik dan tren media. Namun lucunya, yang saya rasakan malah seperti mengulang semua pelajaran yang pernah saya dapatkan saat menempuh pendidikan S1.

Saya belajar lagi cara penulisan berita, teori-teori analisis media, dan aturan main profesi jurnalis, padahal semua itu sudah khatam saya pelajari di S1. Ini tidak hanya terjadi di universitas saya, namun juga di universitas lain di Inggris yang juga menyediakan program yang sama. Lagipula, pada tahun perkuliahan saya, Newcastle University menempati posisi pertama dalam daftar tahunan Guardian tentang universitas yang menyediakan program media, komunikasi, dan jurnalistik terbaik di negara itu.

Saya lalu sampai pada kesimpulan bahwa program S1 Jurnalistik di Indonesia lebih ‘maju’ dari program S2 di Inggris. Namun ini juga berarti salah satu dari dua hal. Pertama bahwa jurusan jurnalistik di Indonesia terlalu ambisius dan terburu-buru dalam menyusun kurikulum. Atau hipotesis kedua, program jurnalistik pascasarjana di negara kerajaan itu jauh tertinggal dari Indonesia.

Pertanyaan itu dijawab oleh sebuah percakapan dengan supervisor saya di penghujung sesi bimbingan disertasi. Obrolan itu masih sejalan dengan tema disertasi saya yang menyoal kapabilitas jurnalis ekonomi dalam melakukan peliputan. Di mana riset tersebut menunjukkan adanya kecenderungan wartawan ekonomi di Indonesia yang tidak cukup paham dengan bidangnya. Bahwa mereka tidak jarang melakukan kesalahan dalam pemberitaan dan melanggar sejumlah etika jurnalistik dalam melaksanakan tugas.

Supervisor saya menjelaskan, berbeda dengan di Indonesia, universitas di Inggris dan Amerika jarang sekali menyediakan program S1 untuk jurnalistik. Umumnya, ilmu jurnalistik diajarkan untuk mahasiswa pascasarjana. Namun pengenalan terhadap keilmuan tersebut telah diberikan untuk mahasiswa S1 jurusan komunikasi umum. Sementara di Indonesia, tak sedikit universitas yang menawarkan jurnalistik sebagai jurusan mandiri, bukan hanya sebuah mata kuliah yang diajarkan di jurusan komunikasi.

Menurut sang supervisor, keputusan itu diambil karena pihak universitas menganggap bahwa jurnalistik adalah keilmuan praktis yang sedikit ‘ngejelimet’ bila harus diajarkan pada mahasiswa S1 yang notabene adalah sekelompok murid yang baru saja menamatkan pendidikan dasar. Sehingga menurutnya, mereka belum siap untuk mendapatkan program keilmuaan yang bukan hanya membahas teori tapi juga etika, logika, dan sejumlah kegiatan praktis yang beresiko tinggi.

Di Inggris, bahkan mereka yang belum berumur 25 tahun tidak dibiarkan meminjam mobil tanpa dikenakan pajak tambahan yang besar. Mereka yang berumur di bawah 18 tahun tidak boleh membeli rokok atau gunting. Intinya, ada rasa tidak percaya yang besar dari para akademisi bahwa para lulusan baru SMA tidak akan mampu mengemban tanggung jawab keilmuan jurnalistik yang besar. Mereka memilih memperkecil resiko untuk menciptakan lulusan jurnalistik yang tidak sepenuhnya paham dalam menjalankan tugas jurnalistik mereka dan terutama tidak mampu memegang teguh etika serta undang-undang yang begitu rigid mengatur profesi jurnalis di negara itu.

Penjelasan sang supervisor juga menjawab mengapa ketika berkuliah di saya tidak begitu paham dengan paparan para dosen tentang teori-teori analisis media dan sejumlah materi jurnalistik lainnya. Ini juga berarti dua hal. Pertama bahwa saya bukan mahasiswa yang pintar. Kedua bahwa dosen di jurusan tersebut sebenarnya juga tidak terlalu paham dengan materi yang diajarkan sehingga tidak mampu memberikan pemahaman bagi para mahasiswanya.

Untuk hipotesis pertama, saya bisa bilang sedikit salah karena saya lulus dengan nyaris semua mata kuliah mendapatkan nilai A. Soal dosen, saya tidak mau menuduh. Namun, saya hanya mendapatkan kesan bahwa para dosen hanya mengikuti tren keilmuan tanpa menimbang kepantasan dan kapasitas daya pikir mahasiswa. Serta, tanpa mengukur seberapa dalam keahlian para dosen untuk menyampaikan sebuah materi.

Kenyataannya, memang ada materi-materi yang seharusnya diajarkan di level S2 bukannya ditujukan untuk mahasiswa S1. Kenyataannya, saya merasa lebih memahami sejumlah materi ketika hal tersebut diulang pada perkuliahan S2 dan nilai saya lebih baik dari pada saat S1. Mungkin karena dosen-dosen di universitas Newcastle telah membuktikan diri memiliki kualitas pengetahuan yang baik tentang materi tersebut sehingga efektif mentransfer ilmunya. Dan mungkin, pengalaman sebagai jurnalis dan umur yang semakin tua membuat saya lebih mampu menilai dan memiliki logika berpikir yang jauh lebih berkembang dari pada sewaktu kuliah S1.

Hal lain yang berbeda saat menjalankan perkuliahan jurnalistik di Inggris adalah begitu besarnya perhatian universitas bagi keselamatan mahasiswanya. Hal yang tidak saya dapatkan saat bekuliah di Indonesia. Pihak jurusan menjadwalkan satu kelas khusus membahas resiko dalam penyelesaian sejumlah proyek dan tugas jurnalistik yang akan dihadapi para mahasiswa. Kami juga diberikan buku panduan tentang resiko dan tata cara pelaksanaan tugas jurnalistik, terutama dalam praktek peliputan berita.

Pihak kampus membagi kategori resiko menjadi tiga dalam peliputan berita. Resiko tinggi, bila peliputan berita tersebut berpotensi kematian, sakit, atau kegilaan. Misalnya, liputan di daerah bencana, terorisme, atau berurusan dengan penyandang penyakit jiwa dan kriminal. Sementara resiko menengah seperti liputan demonstrasi dan penyandang masalah sosial, seperti pengemis atau pengangguran. Resiko rendah berarti liputan yang telah terjadwal, waktu dan narasumbernya. Para dosen mengingatkan mahasiswa untuk tidak melakukan peliputan berita beresiko tinggi. Bila tidak mengindahkan aturan tersebut, tugas mereka akan mendapatkan nilai 0 meskipun tugas yang dihasilkan sangat bagus.

Mereka juga mengatur tata cara peliputan dalam buku panduan itu. Misalnya, untuk peliputan semacam vox pop yang menggunakan kamera televisi dan dilakukan di jalanan, pihak kampus mengharuskan mahasiswa untuk tidak melakukannnya sendirian. Setidaknya harus ada tiga orang yang melakukan peliputan, dengan tugas, satu orang memegang kamera, satu orang lagi melakukan wawancara, dan terakhir bertugas memantau situasi, misalnya apakah kabel kamera tidak menghalangi jalan sehingga beresiko membuat orang yang melintas ataupun anggota lainnya terjerembat.

Mereka juga diminta untuk menggunakan rompi khusus berwarna kuning atau orange yang bercahaya pada malam hari seperti yang biasa digunakan polisi atau pekerja bangunan, saat melakukan liputan di jalan. Selain itu, mahasiswa dianjurkan melakukan wawancara di tempat yang tidak tersembunyi dan terlacak. Bila harus mewawancarai pengemis atau pekerja seks, mereka tidak dibolehkan pergi seorang diri.

Mahasiswa diharuskan untuk mengisi risk assessment form sebelum melakukan peliputan. Dalam formulir tersebut, setiap mahasiswa wajib menjelaskan tujuan, waktu, tempat, dan narasumber peliputan. Mereka juga harus menyertakan kontak telepon darurat yang bisa dihubungi kampus bila terjadi apa-apa pada mahasiswa itu. Dosen saya secara khusus mengingatkan untuk selalu mengkomunikasikan rencana liputan dengan seorang teman, sehingga mereka bisa membantu mengawasi keselamatan mahasiswa.

Hal ini begitu berbeda dengan pengalaman yang saya dapatkan selama mengerjakan tugas peliputan berita di S1. Dosen tidak peduli dengan keselamatan mahasiswanya, asalkan mereka bisa membuat berita yang bagus meskipun dengan resiko tinggi, mereka akan mendapatkan nilai tinggi. Hal ini membuat mahasiswa tidak ragu untuk meliput seperti praktek prostitusi, demonstrasi anarkis, atau bicara dengan kriminal.

Memang hingga saat ini, meskipun tidak ada aturan tentang resiko, belum ada kasus berbahaya yang menimpa mahasiswa selama melakukan peliputan. Dan tentunya, banyak yang akan mengakui bahwa praktek liputan yang bebas itu membuat lulusan jurnalistik lebih siap berada di lapangan saat telah secara resmi menjadi jurnalis.

Namun bagi saya, hal ini tidak bisa selamanya diabaikan. Kenyataannya, dunia jurnalistik sangat beresiko sehingga keselamatan mahasiswa seharusnya menjadi hal terpenting yang dipikirkan pihak kampus. Saya berharap tulisan ini dapat memberikan bahan pertimbangan bagi jurusan Jurnalistik untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan pengajarannya. Begitu juga bagi universitas lainnya di Indonesia.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page