top of page

BARITO DAN SOTO APUNG

  • Writer: Fitria Andayani
    Fitria Andayani
  • Jan 21, 2012
  • 3 min read

Pagi masih bau kencur. Cercah jingga belum muncul di ufuk timur. Saya dan sejumlah teman wartawan, dengan kantuk tertahan memulai petualangan kami pagi itu. Istirahat sejenak dari kesibukan meliput acara Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) VIII yang digagas Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (Depbudpar) RI di bumi Lambung Mangkurat itu.Ada satu misi yang mesti disudahi. Menyusuri sungai Barito, Kalimantan Selatan.

Kami berkendara dengan mobil sekitar satu setengah jam dari penginapan di Kota Banjarbaru. Tujuan kami ke dermaga pasar terapung di Muara Kuin, Banjarmasin. Bersyukur kami menemukan tempat peminjaman mobil murah. Sehingga tak perlu repot menyetop angkutan umum. Lagipula mana ada kendaraan umum yang melintas pukul 03.00 pagi. Burung saja belum bangun.

Kami sampai di dermaga pukul 04.00. Kami langsung menuju ke pinggir dermaga, tapi tak ada aktivitas di sana. Tak ada kapal yang lewat. Bahkan tadinya kami sangsi bakal ada Pasar Terapung hari ini. Kapal-kapal masih tertambat. Hanya ada satu orang laki-laki sedang asyik merokok di teras rumahnya yang menghadap ke sungai.

“Pasar terapungnya buka hari ini pak?” Tanya kami dengan polos. Dia lalu menjawab. “Pasti, setiap hari buka tapi setelah shalat Subuh,” ujarnya. Beres shalat, kami kembali ke dermaga. Sudah ada seorang penarik perahu motor di sana. Kami menyewa jasanya. Namun agak terperangah dengan harga sewa yang ditetapkannya. Dua ratus ribu untuk satu perahu. Padahal harga pasarannya hanya tujuh puluh ribu.

Mungkin karena saat itu sang penarik perahu tidak punya saingan. Hanya ada dia yang menarik kapal di Dermaga saat itu. Mungkin juga karena kami tidak menawar dengan bahasa Banjar. Sehingga dengan semena-mena dia mematok harga. Mungkin akan lain ceritanya bila kami membawa seorang teman yang bisa menawar dalam bahasan Banjar. Namun kami tidak punya pilihan. Akhirnya kami menumpang di kapalnya.

Deru kapal memburu. Kami mulai mengarungi Barito. Pasar terapung berjarak 10 menit dari dermaga. Untunglah saat itu bukan musim eceng gondok. Sehingga tidak ada gangguan saat mengarungi Barito. Biasanya saat musim hujan pada Desember dan Januari, eceng gondok menutupi sungai. Tak lain karena di hulu sungai banjir dan kawasan sungai di daerah Kuin kebagian limpahan eceng gondok. Kalau sudah begitu bakal sulit untuk mengarungi sungai. Bila tak hati-hati eceng gondok bisa tersangkut di baling-baling kapal dan membuat mesin kapal rusak.

Matahari sudah semakin tinggi. Kami kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke sisi lain sungai Barito. Kami ingin melihat suasana transaksi di pasar terapung yang khusus menjual ikan. Namun perut semakin lapar. Beruntung ada sebuah perahu motor yang mesinnya dimatikan. Di atas perahu tersebut tertulis ‘Warung Makan Goyang Terapung : sedia soto karih, rawon, sop masak habang’. Kami lalu singgah di kapal tersebut.

Untuk bisa menikmati semangkok soto Banjar, kami harus berpindah kapal. Sedangkan kapal tumpangan kami ‘diparkir’ dengan mengikatkan tambang pada sisi kapal warung yang ukurannya lebih besar dari kapal kami.

Pengalaman makan Soto Banjar di atas kapal sungguh menyenangkan. Sebenarnya rasa soto Banjar yang disediakan tidak istimewa, namun tempat makannya yang tidak biasa. Anda harus betul-betul menjaga mangkok soto anda bila tidak ingin isinya tumpah ke mana-mana. Sepanjang waktu kami digoyang ombak. Apalagi bila ada kapal motor yang lewat di samping kami. Ombak yang dihasilkan mesin kapal tersebut akan menampar kapal warung dengan cukup kuat. Baju saya sampai terkena noda kuah soto saat kapal terguncang.

Warung soto Banjar tersebut sudah ada sejak tahun 80-an. “Ini usaha turun temurun,” ujar si pemilik warung, Rahmadi. Sejak kecil, dia sering membantu sang ayah berjualan soto Banjar. “Dulu ramai sekali,” katanya mengenang. Ribuan jukung berkumpul setiap hari di Kuin untuk melakukan transaksi jual beli. Saking ramainya, kapal warung soto ayahnya tak bisa menepi karena pasar terapung menggunakan lahan lebih dari setengah badan sungai Barito. “Dulu ada sekitar 100 kapal penjual soto Banjar. Sekarang hanya tinggak 4 kapal,” katanya.

Menurutnya, kini pasar terapung tidak lagi diminati. Setelah pembangunan yang berorientasi ke darat menyapa Banjarmasin, semakin banyak pedagang yang beralih berjualan di pasar tradisional di darat. Dulu masyarakat Banjarmasin sangat bangga bila memiliki jukung. Namun sekarang mereka lebih bangga bila mampu membeli motor atau mobil.

Dulu mereka membangun rumah menghadap ke sungai. Sekarang rumah-rumah di Banjarmasin membelakangi sungai. Menyiratkan bahwa orientasi hidup mereka sudah berubah. Sungai bagi mereka sekarang hanya dianggap sebagai tempat pembuangan. Pemikiran salah yang juga terpatri di benak banyak orang Indonesia saat ini. Mereka seakan lupa kalau Indonesia adalah Negara air. Nenek moyang kita saja seorang pelaut.

Rahmadi sendiri tidak terpikir untuk beralih berjualan di darat. “Sewa warung di jalan lebih mahal,” katanya. Lagipula dia ingin terus melanjutkan tradisi keluarga berjualan di pasar terapung. “Kalau bukan orang Banjar, siapa lagi yang mau mempertahankan tradisi ini,” katanya.

Comments


Leave feedback
Recent Posts

© 2023 by DO IT YOURSELF. Proudly created with Wix.com

bottom of page