top of page

RUMAH MUNGIL ALEXA

  • Writer: Fitria Andayani
    Fitria Andayani
  • Jan 23, 2012
  • 4 min read

Bukan hal yang mudah untuk membuat tulisan untuk rubrik Griya. Sungguh sulit mencari rumah yang cukup inspiratif untuk di review. Iseng-iseng baca blog seorang teman, redaktur saya dapat ide. Saya diminta untuk membuat ulasan soal sebuah rumah yang terdapat di daerah Tebet, Jakarta. Jadi ke sana lah saya.

Dari luar tak ada yang berbeda dari rumah Alexandra Bastedo dan Decky Rizkiadi. Rumah kecil dengan genteng usang dan tembok putih itu tampak tidak menarik. Namun pendapat itu segera sirna begitu saya memasuki rumah perempuan yang berprofesi sebagai Brand Consultant dan suaminya yang seorang fotografer itu. Atmosfer hangat dan nyaman sangat terasa di dalamnya.

Aneh memang, karena hampir tidak ada barang menarik dan mahal di rumah tersebut. Tidak ada lukisan yang begitu atraktif hingga rumah tersebut terkesan mewah. Hanya ada barang-barang sewajarnya yang ditata dengan gaya yang khas. Hanya banyak barang loak yang diaplikasikan dengan sangat kreatif di setiap ruangan. “Ini rumah kami, kecil namun sangat homy,” kata Alexa.

Rumah tersebut hanya seluas 130 meter persegi. Terdapat tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu, ruang keluarga, dan satu dapur di dalamnya. Sebenarnya rumah yang ditinggali Alexa bersama suami, dua anak laki-lakinya, serta tiga orang pembantu sekaligus anak asuhnya itu adalah rumah mertuanya. “Selama bertahun-tahun rumah ini tidak ditinggali,” ujarnya.

Begitu Alexa dan Decky menikah dan pindah dari Amerika ke Jakarta, rumah tersebut pun mereka renovasi. “Sebenarnya tidak ada renovasi yang begitu besar terhadap rumah ini,” katanya. Genteng dan tembok rumah yang sudah berdiri puluhan tahun itu tidak diganti. Mereka hanya melakukan sedikit perubahan pada lantai rumah. “Lantai kayu ini kami buat khusus dari kayu sisa,” katanya.

Tak seperti lantai kayu yang biasanya digunakan di sejumlah rumah, lantai kayu tersebut disambung dari blok-blok kayu yang bentuk dan ukurannya berbeda-beda. Namun disatukan hingga berbentuk satu papan utuh lalu di coating hingga papan tersebut halus dan licin. Papan-papan tersebut lalu disusun hingga menutupi lantai ruang tamu, ruang tengah, kamar utama, serta kamar anak-anaknya. “Lantai ini dibuat oleh ayah saya, dulu dia punya usaha pemotongan kayu. Sekarang sudah tidak lagi,” kata Alexa.

Ruang tamu Alexa tidak digunakan sebagai tempat menerima tamu. Ruangan tersebut biasanya digunakan oleh anak-anak mereka dan teman-temannya untuk bermain. Biasanya Alexa sengaja menggelar koran di lantai ruang tamu dan membiarkan anak-anaknya bermain dengan cat. Sementara alih-alih memasang gorden di jendela ruang tamu, Alexa memasang tali untuk menggantung hasil pekerjaan tangan anak-anaknya.

Di rumahnya, Alexa juga tidak menyediakan satu ruangan sebagai gudang. Sebagai konsekuensinya, barang-barang bekas dan tidak terpakai akan disumbangkan atau dijual di pasar loak. “Begitu juga dengan baju, buku, dan mainan,” katanya. Menurut Alexa mereka punya prinsip dari pada tidak terpakai lebih baik dimamfaatkan oleh orang lain. Bila ada barang baru harus ada dua barang lama yang keluar dari rumah.

“Kalau kami beli satu baju baru, maka harus ada dua baju yang disumbangkan,” katanya. Begitu pula dengan mainan sang anak. “Bila mereka ingin mainan baru mereka harus memilih dua mainan lama mereka untuk disumbangkan,” ujarnya. Setiap 4 bulan sekali masing-masing penghuni rumah punya kewajiban untuk mengumpulkan barang-barang lamanya. “Barang-barang tersebut nanti akan disumbangkan ke panti asuhan atau yayasan,” katanya. Selain sebagai konsekuensi dari rumah yang tidak begitu besar, keadaan ini juga dijadikan Alex sebagai pembelajaran kepada sang anak. “Mereka bisa tahu apa arti berbagi dengan sesama,” ujarnya.

Hal yang unik lagi dari rumah Alexa adalah pajangan, hiasan, dan pernak pernik dalam rumah tersebut. Rumah Alexa bagai etalase hadiah dari teman-temannya dan kerajinan tangan buatan pribadi. “Barang-barang yang aku cinta akan aku hargai dengan dipajang,” katanya. Setiap tiga bulan sekali Alexa akan menata ulang letak barang-barang tersebut agar tidak bosan.

Pajangan-pajangan unik itu misalnya dua buah boneka jahitan sendiri hadiah seorang teman yang di bagian tubuhnya diukir nama masing-masing anak laki-laki Alexa. Atau hiasan dinding dari kolase kertas dan sebuah hiasan kain bekas yang sangat unik yang juga hadiah dari sahabatnya. Alexa juga memajang bantal kursi yang sarungnya adalah hasil sulaman dari sang nenek yang baru saja meninggal dunia.

Selain berasal dari pemberian orang-orang terkasihnya, Alexa juga memajang hasil kreasinya sendiri. Miisalnya hiasan dinding yang terbuat dari guntingan majalah bekas, kartu pos yang dikirim teman-temannya, dan bekas tatakan gelas. Ada pula gantungan-gantungan unik yang terbuat dari tutup wine yang dikumpulkannya saat kuliah dulu atau kalung yang terbuat dari manik-manik. Tak hanya itu, Alexa memamfaatkan berbagai botol unik bekas minyak atau bahan lainnya sebagai vas bunga. Tanaman yang ditempatkan dalam vas tersebut semuanya murah dan bisa hidup sendiri tanpa banyak campur tangan dari manusia.

Banyak pula pajangan yang ditemukan Alexa di pasar loak. Alexa memang senang mengunjuni pasar loak seperti Pasar Senen atau Pasar Baru. Kebiasaan ini mungkin dibawanya dari Amerika. Orang Amerika biasanya mengunjungi flea market yang diartikan sebagai pasar loak setiap akhir pekan atau libur musim panas di negara itu. “Saya suka sekali barang-barang unik yang bisa ditemukan di tempat tersebut,” ujarnya.

Selain pajangan, barang yang paling sering dikumpulkannya dari pasar tersebut adalah kain. Hampir semua kain yang digunakan Alexa untuk gorden, penutup rak, sprei, sarung bantal duduk, dan alas duduk adalah kain yang ditemukannya di pasar loak. “Coraknya unik,” ujarnya. Meskipun semua kain tersebut tidak bercorak sama atau senada, namun hal itu tidak jadi masalah baginya. “Justru ketidakmiripan itu yang membuat suasana di rumah saya lebih berkarakter,” ujar Alexa.

Kesenangannya mengumpulkan barang-barang bekas ataupun memamfaatkan barang sisa untuk menghasilkan kreasi tertentu bukan karena si pemilik rumah terlalu pelit untuk membeli barang baru. “Hanya, saya tidak mau hidup besar pasak daripada tiang,” katanya. Dia tidak mau memaksakan diri untuk membeli barang baru sementara barang lama masih bisa digunakan. “Kalau hanya ingin terlihat keren dan soal gengsi saja, saya tidak mau,” ujarnya. Lagi pula menurutnya, dengan memiliki dua anak laki-laki yang masih kecil dan sangat aktif, barang-barang mahal tidak cocok berada di dalam rumah mereka. “Kalau rusak akan susah menggantinya,” katanya.

Saya begitu suka anatomi dan filosofi yang diterapkan Alexa di rumahnya. Apalagi saya juga orang yang suka memanfaatkan barang-barang bekas. Gaya rumah Alexa juga sangat cocok bagi mereka yang memilih tinggal di Jakarta. Di tengah ruang kota yang semakin sempit, perlu sedikit kreatifitas agar bisa hidup dengan layak dan seefisien mungkin di ibukota.

Alexa juga sangat ramah, pulang dari meliput rumahnya, dia memberi saya bekal kue-kue basah yang sangat banyak. Akhirnya saya bawa ke kantor dan di makan dengan kalap oleh redaktur-redaktur lantai 4 yang kelaparan. Lalu setelah artikel tersebut terbit, Alexa mampir ke kantor untuk mendapatkan beberapa eksemplar koran yang memuat artikel itu. Plussss…. sejumlah tar enak untuk semua orang di bagian redaksi dan sebuah kertas ucapan terima kasih cantik yang dia buat dari kertas bekas. Tks Alexa :)

Comments


Leave feedback
Recent Posts

© 2023 by DO IT YOURSELF. Proudly created with Wix.com

bottom of page