top of page

BERLAYAR DI NATUNA (1)


Perjalanan paling keren yang pernah saya alami selama menjadi wartawan adalah berlayar ke Natuna. Perjalanan ini sangat mendadak. Seharusnya saya tidak ke sana. Awalnya di hari yang sama saya diminta untuk meliput acara sebuah bank di yogyakarta.

Semuanya sudah fix. Tiket pesawat sudah dipesan. Tapi beberapa hari sebelum perjalanan itu, saat sedang sibuk menggubah berita di pressroom BI, seorang humas BI bawa sebuah pengumuman. BI ingin sejumlah media meliput kegiatan mereka di Kepulauan Natuna. Wilayah perbatasan. Di sana BI berencana melakukan kegiatan tukar uang lusuh dan memantau peredaran rupiah di perbatasan. 5 hari. Wow…

Tanpa pikir panjang saya daftarkan diri. Saya lupa kalau saya sudah ditugaskan untuk liputan ke Yogya. Tapi kesempatan ini sayang sekali untuk dilewatkan. Bahkan meskipun kamu punya banyak uang, belum tentu perjalanan ke Natuna bakal jadi pilihan. Dan untuk saya seorang jurnalis yang cuma makan uang gaji, bakal sulit untuk melakukan perjalanan ke sana. Mahal ya… Lebih murah jalan-jalan ke Thailand atau Vietnam ketimbang ke daerah ini.

Jadi hari itu juga saya telpon kantor. Untungnya kantor sangat setuju agar saya ikut perjalanan itu. Ketimbang hanya duduk manis mendengarkan dongeng soal kredit dan mobile banking di Yogya. Tapi konsekuensinya, saya harus membatalkan sendiri perjalanan ke Yogya. Maka dengan rasa tidak enak, saya sampaikan rencana pembatalan tersebut ke humas bank tersebut.

Tadinya dia agak kesal karena tiket dan hotel untuk saya sudah di booking. Dan akhirnya saya ungkapkan sebuah kebohongan putih hahaha…. Bohong tetap saja bohong, tapi saya tidak punya jalan keluar lain. Saya bilang kalau saya terserang gejala tipus. Kalau saya harus diopname bla bla bla. Untungnya dia percaya fiuhh… Dan malah mendoakan agar saya cepat sembuh. Heuu… jadi merasa bersalah.

Tapi rasa itu tidak cukup mampu mengalahkan semangat saya untuk berpetualang ke Natuna. Jadi pergilah saya. Sambil berharap kebohongan saya itu tidak menjadi kenyataan.

Untuk sampai ke Natuna, kami harus singgah dan bermalam di Batam. Ini kedua kalinya saya ke Batam setelah bertahun-tahun lalu. Ketika saya masih kelas 6 SD. Ketika mama masih ada. Batam mengingatkan saya dengan hotel murah, kios bawang, mal rasis, dan boyband jaman 90-an.

Di Batam kami mendapatkan briefing terlebih dahulu. Briefing yang dilakukan lebih banyak soal perkenalan daerah dan etika selama berada di atas kapal. Maklum kapal yang akan kami tumpangi tidak sembarangan. Kami akan berlayar dengan kapal perang TNI AL, KRI Sibolga.

Karena menumpang kapal tentara, kami pun harus ikut tata tertib di atas kapal. Soal bangun pagi sebelum jam tujuh untuk ikut apel. Makan pagi, siang, dan malam menyesuaikan jam prajurit. Hanya boleh turun dari kapal dengan izin komandan kapal yang tampan, Letnan Erwin. Dan mematuhi jam malam. Mereka akan memberi tahu saatnya bangun dan saatnya tidur dengan pluit yang suaranya tinggi seperti pekikan lumba-lumba.

Saya tidak masalah dengan semua aturan itu, kecuali satu hal yang bikin saya bertanya-tanya. Di mana saya akan tidur nanti di kapal. Mengingat hanya saya perempuan di atas kapal itu. Yang saya khawatirkan saya harus berbagi barak dan kamar mandi dengan para laki-laki…. heu…

Tapi esoknya saya bisa bernafas lega, karena hal yang paling menyenangkan menjadi perempuan satu-satunya dalam perjalanan ini adalah saya tidak perlu berbagi kamar. Saya bisa tidur di ruang kesehatan. Di sana terdapat dua ranjang rumah sakit dan sebuah kamar mandi. Ruangannya cukup rapi. Dan yang paling penting lantainya ditutupi karpet. Saya tidak bisa hidup tanpa menggesekkan kaki ke karpet hehe.

Makanan yang mereka sediakan pun enak. Saya tidak menyangka para tentara itu bisa memasak seenak itu. Mungkin memang tidak mewah. Tapi saya bisa bilang itu makanan terbaik yang bisa kamu makan saat berada jauh dari daratan. Hanya saja ruang makan kapal itu dihuni banyak kecoak. Jadi sebaiknya pura-pura tidak kenal dengan kecoak, biar nafsu makan tetap terjaga.

Namun menjadi perempuan satu-satunya di kapal itu harus tahan untuk mendengarkan pertanyaan yang sama dan diulang-ulang. “Pusing ngak mbak?” atau “Kalau sakit segera bilang ya”. Saya agak muak. Duh perempuan tidak selemah itu, hingga setiap detik harus dipastikan keadaannya. Please Mr, Stop worrying me…

Buktinya toh sampai perjalanan berakhir saya tidak pernah sekalipun muntah. Pusing mungkin tapi masih bisa diatasi. Saya bisa tinggal tidur. Tapi kelamaan tidur di dalam kamar bisa bikin tambah pusing. Jadi sekali-kali yang terbaik mencari angin di anjungan. Anjungan juga tempat terbaik memandang ribuan bintang yang membanjir di langit Natuna

Saya menghabiskan perjalanan seharian di atas kapal dari Batam hingga ke Natuna dengan membaca buku. Kalau tidak saya bisa mati bosan. Mengingat bahkan sinyal handphone pun tak terlacak di tengah laut. Saya jadi tak habis pikir bagaimana rasanya menjadi seorang TNI AL. Mereka bisa berada di kapal hingga berbulan-bulan.

Dalam waktu itu mungkin hanya beberapa kali singgah di darat. Kadang hanya sebentar. Hanya untuk mencari perbekalan. Kadang bila tidak memungkinkan merapat, mereka bertransaksi membeli kebutuhan logistik dari pedagang atau nelayan berkapal yang menyambangi kapal perang.

Tidak ada sinyal handphone untuk setidaknya berbicara berlama-lama dengan keluarga atau pacar. Sementara kadang televisi yang ada di ruang rekreasi sekaligus ruang makan tidak bisa menangkap transmisi dari satelit televisi. Akan jauh lebih parah saat badai dan terpaksa melawan ombak yang kadang tingginya hingga 8 meter. Terlalu banyak yang dikorbankan. Tapi entah mengapa mereka mau memilih pekerjaan ini.

Makanya kehadiran kami di atas kapal, bagi mereka cukup memberikan hiburan. Mungkin mereka jadi repot melayani tamu, tapi setidaknya mereka bisa bertemu dan berkenalan dengan orang baru. Berbagi pengalaman mereka di atas kapal yang akan terdengar sangat istimewa bagi orang awam seperti saya dan tim BI lainnya.

Seperti letkol Bambang. Dia punya banyak cerita seru untuk dibagi. Dia adalah TNI AL sekaligus penerbang. Saat saya tanya apa untungnya memilih pekerjaan ini, dia menjawab. “Saya belajar banyak hal dari laut. Terutama ilmu ikhlas. Saat berada di laut saya merasa lebih dekat dengan Tuhan,” ujarnya.

(bersambung)

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page