top of page

BERLAYAR DI NATUNA (3)


“Selamat pagi, tidurnya nyenyak semalam?” sapa Letkol Bambang pagi itu. “Lumayan,” ujar saya. “Kita akan sampai Jemaja sejam lagi,” katanya sambil menyesap kopi dari cangkirnya. Ketika itu langit begitu cerah.

Baiklah, Jemaja, itu akan jadi pulau pertama yang akan kami singgahi. Pulau tersebut sebenarnya masuk Kepulauan Anambas. Sebenarnya saya bahkan tidak sampai ke Natuna. Hanya hingga Anambas. Anambas dulu adalah bagian dari perairan Natuna. Namun sejak 2008, daerah tersebut memisahkan diri dari gugus Natuna. Kini Anambas menjadi kabupaten tersendiri.

Tidak seperti yang saya pikirkan, kami tidak merapat di Dermaga. Jemaja tidak punya pelabuhan yang cukup besar untuk disinggahi kapal sebesar KRI Sibolga. Jadi kami memarkir kapal sekitar 15 menit dari bibir pantai. Untuk sampai ke darat kami harus menumpang kapal nelayan. Turun dari KRI ke kapal kecil tersebut bukanlah hal yang mudah.

Kapal kecil sulit merapatkan badannya ke KRI karena terombang-ambing oleh ombak yang sibuk menampar kapal dengan kencang. Sehingga agar bisa sampai ke atas kapal itu, kami harus melompat. Memastikan tubuh mendarat di lantai kayu kapal bukannya tercebur ke laut. Agak seram, mengingat saya tidak bisa berenang. Yah… tapi setidaknya semua akhirnya berjalan lancar.

Jemaja itu pulau yang sepi. Semacam kota berdebu tandus ala film-film koboy. Tidak banyak rumah di sana. Bahkan tidak ada motor yang berseliweran. Tepatnya tidak ada yang bisa jalan karena sudah hari tidak ada pasokan bensin. PLN hanya mematok nyala listrik 12 jam sehari untuk satu kampung. Banyak toko yang tutup dan saat kami datang tidak ada transaksi di pasarnya.

Pulau yang menjadi ruang tamu Indonesia. Namun tak selayaknya ruang tamu yang biasanya ditata rapi, Jemaja seperti anak tiri. “Nasib hidup di perbatasan ya begini. Kurang diperhatikan,” ujar warga desa Jemaja, Umri Syafaat (51 tahun). Jemaja berbatasan dengan Malaysia Barat dan Laut CIna Selatan di bagian selatan. 13 jam perjalanan dengan kapal laut dari Batam, namun hanya tiga jam agar bisa sampai Malaysia.

Makanya dulu saking dekatnya, mereka lebih senang berbelanja ke Malaysia ketimbang Indonesia. Selain harganya yang lebih murah, jarak yang dekat, orang-orang Malaysia melayani mereka lebih baik. Transaksi biasanya tidak dilakukan di daratan Malaysia, namun di tengah laut. Kapal-kapal Malaysia akan secara ilegal masuk ke perairan natuna dan berdagang. Makanya penduduk Jemaja dulu sering menyimpang uang ringgit di bawah bantal mereka. Namun sejak TNI AL semakin sering menyisir perairan di perbatasan. Mereka tak lagi melakukannya. Salah-salah bisa ditangkap.

Kedatangan kami langsung disambut heboh oleh orang kampung. Sebenarnya mereka sudah tidak tahan curhat ke orang-orang Bank Indonesia soal keadaan perbankan di daerahnya. “Kami butuh bank untuk mengirimi uang pada keluarga kami yang ada di luar kota,” ujarnya. Gara-gara tak ada bank, Umri terpaksa meminta anaknya yang kuliah di Pekanbaru untuk mengakali uang sakunya setidaknya selama dua bulan. “Biasanya setelah itu saya akan temui dia. Sambil bawa uang tunai dari Jemaja naik kapal,” katanya. Para PNS pun harus bersusah-susah untuk memperoleh gajinya setiap bulan. “Bahkan kadang kami tak bisa ambil gaji selama berbulan-bulan,” kata Sekretaris Camat Jemaja, Supriyadi.

Hal ini juga yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jemaja. “Banyak yang membawa uang mereka bahkan sampai ratusan juta naik kapal untuk melakukan transaksi di pulau lain,” kata warga Jemaja lainnya, Adi (35 tahun). Hal ini tentu tak aman. Beberapa penduduk bahkan dirampok. Siapa yang bisa jamin keamanannya. Akhirnya selama di kapal harus waspada. “Tidurpun bahkan harus sambil meluk uangnya,” katanya.

Ketiadaan bank, juga membuat kegiatan perekonomian di daerah tersebut tidak begitu maju. “Padahal potensi daerah kami sangat besar,” katanya. Jemaja memang punya hasil laut yang melimpah. Lahan berhektare-hektare yang siap digarap. “Namun kami kesulitan modal. Tidak ada tempat meminjam uang,” katanya. Akhirnya seperti Umri, dari 10 hektare lahan pertanian yang dimilikinya, hanya 2 hektare saja yang bisa digarap.

Sebelumnya, masyarakat Jemaja bergantung dengan kantor pos untuk mengirimkan uang mereka. Namun sudah sekitar sebulan ini, kantor pos Jemaja berhenti melayani pengiriman uang. “Masyarakat sudah malas mempercayakan uangnya lewat pos,” katanya. Akibat salah satu petugas pos, membawa lari uang mereka. “Makanya uang yang kami kirimkan tak pernah diterima teman atau kerabat kami,” ujarnya.

Sebenarnya, untuk mendapatkan layanan bank, penduduk Jemaja bisa saja berlayar ke pulau terdekat Tarempa atau ke Tanjung Pinang. “Tapi berlayar bukan hal yang mudah,” ujar Supriyadi. Kalau cuaca bersahabat pelayaran ke daerah tersebut bisa ditempuh dengan tenang selama setidaknya 5 jam dengan pompong (perahu motor). “Yang bahaya kalau sedang pasang. Kami tidak bisa melaut. Cari mati,” ujar Umri.

Usai meliput kegiatan penukaran uang dan sosialisasi keaslian Rupiah oleh BI, saya terserang bosan. Jadi saya sewa satu-satunya ojek yang masih punya bensin dan melarikan diri ke pantai Padang Melang. Hanya 15 menit dari dermaga tapi jalananya tidak begitu bagus. Kami bahkan harus melewati sebuah jembatan kayu rusak agar bisa ke sampai sana. Pantainya sangat indah. Sepi dan berpasir putih. Sayang saya hanya sekitar 20 menit berada di sana. Kapal kami akan segera berangkat. Kami harus segera melanjutkan perjalanan ke pulau lain.

(Bersambung)

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page