top of page

BERLAYAR DI NATUNA (4)


Pernah dengar kota bernama Venice kan? Sebuah kota di utara Italia. Kebanyakan jalan di kota itu berupa jembatan dan bangunan-bangunan yang berdiri di atas air. Ah persis seperti Tarempa. Meskipun tampak lebih tradisional.

Kami sampai di Tarempa sekitar pukul 21.00 WIB. Tak seperti di Jemaja, kapal kami bisa merapat di pelabuhan Tarempa dengan mudah. Malam di Tarempa sangat indah. Bulan merangkak naik dari balik bukit. Terlihat sangat besar dan terang. (Serius loh ini). Saya tak sabar menginjakkan kaki di darat saat itu. Jadi saya dan tiga teman lainnya meminta izin kepada komandan kapal untuk berjalan-jalan sebentar melihat-lihat tempat itu. Oh ya saya sudah bilang kan kalau komandan kapal kami, Kapten Erwin sangat tampan hahaha….

Baiklah… lalu kami turun dari kapal. Berjalan meninggalkan dermaga dan masuk ke pintu gerbang desa. Berada di sana seperti berada di sebuah kota jaman 80-an. Banyak bangunan tua atau bangunan yang terbuat dari kayu dan terlihat lusuh. Meskipun terkesan tua, tapi malam di Tarempa tidaklah lenggang. Puluhan warung kopi buka sampai pagi.

Di sana, laki-laki Tarempa suka keluar malam sambil minum kopi. Kebanyakan dari mereka adalah pelaut. mereka kerap menunggu dini hari untuk melaut. Dorongan angin darat yang bertiup pada malam hari membuat mereka bisa berlayar dengan mudah. Di sana juga banyak hotel-hotel melati yang tampaknya agak ‘negatif’ ya. Tidak usah dibahas.

Kami nongkrong sebentar di sebuah kedai kopi. Karena saya tidak suka kopi, saya akhirnya hanya memesan secangkir teh panas. Banyak prajurit juga melakukan hal yang sama. Mereka tampak senang sekali bisa kembali ke darat. Kami duduk sambil mengobrol di sana sampai kacang kami habis. Lalu kembali ke kapal untuk tidur. Sambil sebelumnya mencicipi ikan yang dibakar para prajurit di dermaga.

Sama seperti malamnya, Tarempa di pagi hari juga sangat indah. Sangat bersahaja. Dari atas kapal saya bisa melihat lebih jelas kondisi daerah itu. Banyak bot-bot yang mendatangi pulau itu untuk mengantar ratusan PNS dan murid-murid sekolah. Mereka datang dari pulau-pulau terdekat. Membuat tempat itu sangat ramai. Di Tarempa banyak sekali peranakan Cina. Mereka juga adalah pemillik hampir seluruh kedai kopi dan kelontong di tempat itu. Sementara orang-orang pribumi kebanyakan adalah PNS.

Sejak menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas, Tarempa semakin padat dengan bangunan. Hingga hanya menyisakan jalan beraspal dengan lebar tak kurang dari 3 meter. Akibatnya tak banyak penduduk yang memiliki mobil. Namun hampir seluruh penduduk Tarempa memiliki motor. Hebatnya di Tarempa tidak pernah ada motor yang hilang, meskipun terparkir sembarangan di jalanan. Di pulau yang kecil ini. Tidak ada jalan keluar bagi pencuri. Tidak ada tempat bersembunyi.

Sebelum melakukan kegiatan penukaran uang dan sosialisasi di markas darat TNI AL Tarempa, saya seperti biasanya mencari makanan khas daerah itu. Saya biasa melakukannya kalau ditugaskan ke luar kota. Maka akhirnya saya terdampar di sebuah kedai kopi yang juga menyediakan lontong dan mie tarempa. Mie tarempa tidak ubahnya seperti mie Aceh. Rasanya juga mirip, hanya yang ini lebih manis. Tapi saya suka hehe…. Lontongnya juga enak. Seporsinya saya hanya perlu keluar uang Rp 7.000.

Namun saya hanya sebentar di Tarempa. Lepas tengah hari saya, dua orang wartawan, dan tiga orang BI harus kembali ke Jakarta. Kami tidak menyelesaikan perjalanan. Padahal ada sekitar 3 pulau lagi yang harus disinggahi KRI Sibolga dan tim BI yang tersisa. Sedih juga sih, tapi saya juga sangat kangen daratan haha….

Letkol Bambang dan La Ode melepas kami di dermaga. Kami harus melanjutkan perjalanan ke pulau Matak dengan speed boat. Jaraknya hanya 20 menit perjalanan. Pulau tersebut tidak terlalu menarik. Tidak banyak penduduk. Kalaupun ada kebanyakan adalah pekerja di tambang perusahaan migas asing Conoco Philips. Di pulau itu kami akan naik pesawat yang terparkir di landasan pesawat milik perusahaan itu.

Tiket pesawatnya sangat mahal, padahal kami menggunakan kapal terbang jenis Fokker yang sudah tua dan lebih mirip bus using. Perlengkapan keselamatan tidak memadai dan AC-nya tidak terlalu dingin. Agak mengerikan menaikinya. Sementara bandaranya hanya terbuat dari pendopo kotor yang tempat registrasi ulangnya sangat manual. Masih butuh kertas dan bolpoin. Sementara timbangan bagasinya hanya sebuah timbangan beras.

Dari pendopo itu, kami diantar mengunakan mobil ke dalam areal landasan Conoco Philips. Di sana terdapat satu gedung pemeriksaan lagi. Berupa ruangan tunggu kecil dan kotor dengan sebuah pintu pendeteksi logam serta jalur bagasi berjalan yang jelek. Namun atas segala kekurangan itu, pesawat itu berhasil membawa kami sampai di Batam dengan selamat.

Sayangnya perjalanan belum berakhir, kami harus lanjut ke Jakarta. Jadi secara terburu-buru kami mencicipi makanan khas Batam yaitu sop ikan, yang sebenarnya makanan Cina. Lalu masuk ke sebuah pasar swalayan yang isinya hanya makanan-makanan impor dari Singapura dan Malaysia. Pantas saja UKM di Batam tidak pernah maju. Mereka kalah dengan berondongan produk asing itu. Lalu sekitar pukul 19.00 WIB kami meninggalkan Batam. Kemudian, Jakarta lagi heuuu….

“Laut membantu saya untuk belajar ikhlas dan merasa lebih dekat dengan Tuhan”

– Letkol Bambang –

(SELESAI)

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page