top of page

LAMPAU C09

Feature di bawah ini saya buat saat belum lama menjadi jurnalis sesungguhnya. Saat saya ditugaskan sebagai wartawan untuk halaman perkotaan di Bogor. Saat masih dikenal sebagai C09. Si calon reporter yang masih semangat mengejar KRL pagi-pagi sekali. Bolak balik Jakarta- Bogor untuk mencari berita hehehe.

4 Agustus 2009. Bad news is a good news. Begitu yang saya rasakan ketika mendengar penugasan kantor hari itu. Sebuah kecelakaan kereta terjadi di Bogor. Saya diminta untuk membuat feature yang diproyeksikan untuk halaman satu. Sebagai anak baru tertantang donk ya. Jadi dengan semangat saya mengumpulkan data untuk feature itu. Sayangnya feature tersebut tidak jadi diterbitkan. Malamnya Mbah Surip meninggalkan. Feature saya tergusur.

Sedih juga karena saya membuatnya sepenuh hati. Tapi ya mau apa. Kematian Mbah Surip dianggap lebih populer dari sebuah kecelakaan kereta. Yahh kecelakaan kereta sering terjadi di Indonesia. Kalau kematian Mbah Surip mah cuma sekali-kalinya. #sinis :p

Meskipun tidak diterbitkan, namun feature yang sudah terlanjur saya posting di website bank berita khusus Republika membuat saya setidaknya cukup terkenal di kantor hahaha. Seorang redaktur memberi apresiasi langsung dengan meng-sms saya. “Saya suka tulisan kamu. Tingkatkan terus ya,” begitu kira-kira isinya. Selanjutnya, sejumlah redaktur mulai meng-add saya di facebook atau mengajak saya mengobrol saat main ke kantor. Yahhh… tapi itu dulu. Masa lampau. Jenuh menghinggapi saya akhir-akhir ini. Tapi menemukan tulisan ini kembali di tumpukan file tulisan di netbook sedikit mengingatkan saya. Kalau saya pernah sangat mencintai pekerjaan ini.

—————— Inilah si feature itu ——————-

Saut Idris (43 tahun) syok, berita di televisi membuatnya kaget setengah mati. Sebuah Kereta Rel Listrik (KRL) Ekspres jurusan Bogor-Jakarta menabrak KRL Ekonomi jurusan yang sama, di daerah Pondok Rumput,Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.

Idris terkesiap, dia ingat anak tertuanya, Akbar Felani, bertugas sebagai asisten masinis untuk KRL Ekspres Jakarta-Bogor hari ini. Namun dia tidak mengizinkan pikiran-pikiran buruk menguasainya. Dengan tenang dia menghubungi sang istri, Marini (43). “Saya minta dia menghubungi Akbar,” ujarnya.

Sayangnya Marini tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. “Telponnya diangkat tapi tidak ada jawaban,” ungkap Marini. “Saya coba lagi, tapi yang terdengar hanya suara ribut-ribut orang,” katanya. “Saya coba lagi, tapi kali ini tidak diangkat.” Panik dan cemas dirasakan Marini. Dia memaksa Idris segera ke Bogor untuk memastikan keadaan Akbar. Idris menyanggupi. Mereka langsung beranjak dari rumahnya di Depok menuju Bogor.

Sementara itu, di Pondok Rumput, suasana sangat mencekam. “Mereka panik dan berhamburan lewat jendela,” ujar saksi mata Diki Yermawan (24). Secepat kejadian itu datang secepat itu pula, masyarakat di sekitar rel membantu para penumpang keluar dari kereta naas tersebut.

Satu per satu penumpang di evakuasi dari kedua kereta tersebut. Umumnya mereka mengalami patah tulang dan luka serius di tangan dan kaki. Namun Akbar tak seberuntung korban lainnya. Kakinya terjepit di antara sambungan rel yang ringsek. Berton-ton besi menghimpit kakinya.

“Tarik saja saya,” teriak Akbar pada para anggota regu penyelamat. Tapi mereka tidak menuruti permintaan itu. Akbar tidak bisa ditarik. Besi-besi yang menimpa kakinya harus dipindah satu per satu, agar tubuhnya tidak remuk. “Tarik saja,” mohon Akbar, tapi kali ini terdengar lirih. Wajahnya semakin pucat dan mulai lemas.

Dalam perjalanan antara Depok dan Bogor, Idris dan Marini tak henti berdoa. Berharap tak satupun luka berbekas di tubuh anak pertamanya itu. Mereka ingat betapa sang anak ingin sekali memperbaiki rumah mereka di Depok. “Dia sampai meminta teman arsiteknya untuk membuatkan denah rumah yang baru,” ujar Idris menahan tangis. “Bulan ini bahkan dia ingin meminjam uang dari kantor untuk renovasi rumah,” tuturnya lagi.

Perjalanan yang dilalui Idris dan Marini tak semulus dugaan. Kopling sepeda motornya rusak, hingga mereka harus singgah di bengkel untuk memperbaiki. “Istri saya semakin panik,” ujarnya. Namun Idris berusaha menenangkannya dan tetap berpikiran positif. “Akbar pasti tidak apa-apa,” tuntutnya lirih.

Namun takdir tak seiring dengan permintaan Idris. Besi-besi yang menghimpitnya sulit sekali dipindahkan. Akbar semakin sesak, kehabisan darah, dan dehidrasi. Lalu selang empat jam sejak tabrakan itu, Akbar meninggal.

Idris dan Marini tergopoh-gopoh mendekat ke lokasi tabrakan. Saking paniknya, saat parkir, kunci sepeda motornya terjatuh. “Saya tak bisa memikirkan yang lain, saya hanya ingin memastikan keadaan Akbar,” ungkapnya. Sayang, mereka harus menelan kekecewaan ketika sampai di tempat tabrakan. Evakuasi belum beres.

“Saya ingin lihat anak saya,” raung Marini. Namun polisi yang berjaga-jaga di sekitar lokasi tidak mengizinkannya. Mereka diminta menunggu sampai evakuasi selesai dilakukan di pondok milik warga setempat. “Untuk apa menunggu di sini, tidak ada gunanya!!” cecar Marini lagi pada polisi.

Tak ingin istrinya semakin panik, Idris segera mendekap sang istri dan mengajaknya duduk. “Istri saya syok, baru kemarin kami makan bersama, biasanya makan sendiri-sendiri saja,” ujar Idris. “Akbar bilang ‘ayo kita makan berjamaah, kapan lagi’”, cerita Idris sambil gemetaran.

“Baru-baru ini dia juga mengajak ibunya jalan-jalan ke mal,” kenangnya. Idris pun masih ingat betul ekspresi sang anak ketika pertama kali mendapatkan pekerjaan sebagai asisten masinis. “Dia senang sekali, dan saya sangat bangga,” tuturnya.

Pasangan suami istri itu terus menunggu di dalam pondok. Evakuasi belum juga beres, padahal hasrat untuk bisa berjumpa kembali dengan sang anak tak terbendung. Namun tepat ketika Adzan Ashar berkumandang, tubuh kaku Akbar ditandu keluar kereta. Ternyata hanya itu kepastian yang didapatkan Idris dan Marini. Anak yang sangat dibanggakannya sudah meninggal dunia. (c09)

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page