top of page

UNTUK SIAPA SAYA MENULIS?

Pertanyaan itu bergaung lagi ditelinga saya setelah beberapa lama. “Untuk siapa saya menulis?”. Pertanyaan yang tidak pernah saya temukan jawabannya.

Sudah hampir 3 tahun saya jadi wartawan sesungguhnya. Sekitar 4 tahun kalau dihitung masa magang dan kerja sampingan. 8 tahun bila dihitung dengan masa-masa ketika saya berlagak jadi wartawan di kampus. Cukup lama, tapi saya tidak pernah bisa paham pekerjaan ini.

Satu hal ingin saya ketika memilih jurusan jurnalistik saat kuliah adalah bekerja untuk memberikan mamfaat bagi orang lain. Tuhan kabulkan doa itu. Saya lulus SPMB untuk jurusan tersebut. Saat itu saya yakin. ‘Baiklah ini takdirnya dan Tuhan sependapat dengan saya bahwa jurusan inilah yang akan mampu membuat saya berkontribusi lebih banyak bagi orang lain’. Saya optimis. Saya sangat yakin.

Tahun-tahun berlalu dan saya semakin tidak mengerti apa yang ingin saya capai. Pekerjaan ini tidak semulia yang terlihat. Tidak seindah doktrin-doktrin idealis yang digaungkan di ruang kuliah. Tidak semanis rangkaian kata yang saya tulis di kelas Pak Sahala. Semuanya tiba-tiba kabur. Semuanya abu-abu. Tidak menapak. Tidak solid.

Yang saya paham saat ini, pekerjaan ini sangat egois, elitis, pragmatis. Kami bekerja atas kepentingan rakyat, namun sebenarnya yang hanya kami lakukan adalah untuk memenuhi hasrat pribadi. Hanya kadang untuk memuaskan diri bahwa saya pernah wawancana pejabat ini, wawancara artis ini, pernah diundang makan oleh perusahaan besar ini. Pernah diajak ke luar negeri oleh kementerian ini. Pernah secara gagah berani meliput tragedi ini. Lalu semua kabur. Semuanya tentang ‘saya’ bukan ‘mereka’.

Kemudian ketika berhadapan dengan kekuasaan dan uang, kami jadi buruh. Seberapa sinisnya saya dengan sebuah kesalahan yang ada di depan mata, saya tidak bisa benar-benar mengubahnya. Mulut saya disumpal. Mereka memang tidak langsung melakukannya. Yang mereka lakukan adalah berkonspirasi dengan para kapitalis yang memiliki media saya. Menyuplai duit agar kami diam. Sehingga rumor akan tetap jadi dugaan. Lalu lama kelamaan menjadi basi dan paling parah menjadi biasa.

Lalu saya dijadikan pion untuk mengeksekusi hal itu lewat tulisan. Atau mengeksekusi deal-deal iklan yang lebih sering tidak memiliki garis api agar kami tetap bisa dibayar di akhir bulan. Menulis karena saya seorang karyawan yang dibayar. Menulis karena kantor meminta saya melakukannya. Menulis karena bila saya tidak memenuhi target tulisan saya bisa dipecat.

Lalu buat siapa saya menulis? Buat diri saya? Pemilik modal? Pengusaha-pengusaha kaya? Atau apa? Tapi tidak ada tulisan yang benar-benar saya tulis buat mereka yang ada di luar lingkaran itu. Untuk mereka saya sisakan berita-berita ketakutan, kekhawatiran, kesuraman. Berita-berita yang hanya akan menambah masalah di otak mereka yang sudah cukup terbebani dengan hal-hal pribadi. Sebaliknya saya suguhkan kepada pihak-pihak yang memiliki hak pakai atau hak pinjam pakai status pekerjaan saya dengan berita manis. Setidaknya berita yang kemudian berbuah manis bagi perusahaan yang menampung anak kucing seperti saya.

Lalu untuk siapa saya menulis? Bahkan seorang teman seorang wartawan ekonomi berkata. “Saya menulis buat pengusaha itu. Tidak ada yang mengerti apa yang saya tulis selain mereka. Bahkan ibu saya tidak pernah baca itu koran saya,” katanya.

Ada memang saat-saat di mana saya pikir saya benar-benar menjadi jurnalis yang mulia itu. Lucunya hal itu terjadi ketika saya tidak sedang ditempatkan di rubrik-rubrik kelas atas macam ‘halaman satu’, ‘nasional’, atau ‘ekonomi’. Desk-desk yang sebelumnya saya pikir hanya kelas dua. Desk-desk yang sebelumnya saya caci karena saya begitu frustasi agar tulisan saya ada di cover depan koran. Agar tulisan saya terkesan hebat karena saya wawancara itu orang-orang terkenal, saya liput itu kejadian-kejadian heboh. Bukan. Bukan di sana saya merasa benar-benar total.

Justru ketika saya harus liputan pagi-pagi mengejar kereta ekonomi ke arah Bogor setiap hari. Ketika harus berkenalan dengan para tukang sampah. Bersusah-susah meliput longsor atau kebakaran. Merinding ketika meliput kecelakaan. Menggubah cerita-cerita ringan soal hidup. Ketika itulah saya merasa menjadi orang yang bermamfaat. Lalu ketika ego saya memaksa saya untuk meliput berita-berita halaman satu. Saya tumpul. Tak ada yang bisa saya lakukan selain menadah ludah para pejabat.

Kemudian saya tidak lagi menulis untuk mereka. Saya bahkan menjadi egois dengan sangat percaya diri menganggap berita yang saya liput sangat penting dan juga bermamfaat bagi mereka. Namun ternyata tidak ada gunanya bagi pembaca saya. Saya menjadi terlalu sombong karena saya tahu kisah-kisah terselubung para pejabat. Tapi lupa kalau itu tidak ada gunanya karena toh saya tidak bisa berbuat apa-apa. Pelik. Heuuu…

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page