VIETNAM (1) : HELM BATOK DAN PHO
- Fitria Andayani
- Apr 9, 2012
- 5 min read
10 Maret 2012
Bandara Soekarno Hatta, Jakarta
04.35 PM
“Gw ngak nyangka kita jadi melakukan perjalanan ini,” kata Efi terlalu bersemangat di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. “Beberapa jam lagi kita tinggalkan Jakarta… SENANG,” kata saya dengan lebih memalukan lagi dengan mengacungkan tinju ke udara. Begitulah, kami kemudian melangkah masuk ke pesawat murah Air Asia yang membawa kami ke Ho Chi Min City, Vietnam.
Kami memang terlalu emosional dengan perjalanan ini. Yahhh wajar, perjalanan ini sudah kami rancang sejak Desember tahun lalu. Saat kami sama-sama sedang berjuang mengembalikan kesadaran kami, setelah begitu banyak hal tak diinginkan terjadi di hidup kami. Efi dengan masalah
pribadinya. Dan saya dengan beragam kejadian tak terduga dan menguras emosi yang menumpuk di satu bulan, Desember.
Lalu saat itulah saya melemparkan ide ini. Efi tidak perlu berpikir panjang untuk bilang iya. Kami sadar, kami butuh perjalanan ini.
Perjalanan ini semakin terasa emosional karena kami adalah dua sahabat yang punya satu kemiripan. Untuk sejumlah hal kami tidak bisa memegang ucapan kami. Kami punya banyak cita-cita. Punya banyak mimpi dan keinginan. Sayang kami lebih sering mematahkannya, dengan begitu banyak ‘pembenaran’ yang kami bangun. Sahabat saya yang lain bertanya beberapa hari sebelum perjalanan itu dilakukan. “Kenapa sih lu harus jauh-jauh ke negara orang dan buang-buang duit cuma karena patah hati?” tanyanya.
Namun saya sadar perjalanan ini terjadi bukan hanya semata-mata karena alasan melankolis macam itu. Lebih dari itu, ini semacam ‘perjalanan komitmen’, (Sahhh….). Komitmen pada diri sendiri. Makanya, meskipun rute perjalanan yang kami tetapkan termasuk cukup umum bagi para backpacker, namun perjalanan ini begitu berharga bagi kami. “Perjalanan ini harus jadi!” kata Efi.
Ho Chi Minh City, Vietnam
7:40 PM
Kami mendarat dengan selamat di satu dari dua kota terbesar di Vietnam, Ho Chi Minh City atau yang lebih sering dikenal dengan Saigon. Kota ini bukanlah satu-satunya tujuan kami. Ini kota sekaligus negara pertama yang harus kami datangi. Sebelum kami melanjutnya perjalanan ke Kamboja, Thailand, dan Singapura.

Kami tidak menemukan kesulitan di imigrasi Vietnam. Maklum kini antar negara ASEAN sudah bebas visa. Sehingga mereka hanya perlumemeriksa pasrpor kami dan beberapa menit kemudian kami sudah berada di taksi menuju hostel. Sebelum ke Vietnam, kami sudah booking sebuah hostel lewat internet, namanya Long Hostel. Dari rekomendasi yang kami baca di hostelworld.com, hostel ini pelayanannya cukup baik. Makanya kami tidak ragu untuk memesannya. Harganya juga murah cuma Rp 100 ribu semalam.

Kami sampai di sana sekitar 20 menit kemudian. Hostel itu berada di daerah backpacker yaitu Pam Ngu Lao Street. Kami turun dari taksi setelah terlebih adu mulu terlebih dulu dengan supir taksi. Dia meminta bayaran lebih dari harga yang tertera di meteran taksi. Dengan bahasa inggris seadaanya dicampur dengan bahasa jari, si supir meminta kami membayar ongkos taksi hingga 200 ribu dong sekitar 100 ribu dalam rupiah. Padahal meterannya hanya menunjukkan angka 138 ribu dong. Akhirnya karena terlalu capek dan tidak mau berdebat terlalu panjang, saya beri saja uang 150 ribu dong. Dia setuju meskipun terus mengutuk dalam bahasa Vietnam. (Sebaiknya pilih VINUSAN taksi di Saigon karena lebih bisa terpercaya).
Sesampai di Long Hostel kami langsung disuguhi teh pandan khas hostel dan buah wajib di Saigon, nanas. Pemilik hostelnya baik sekali dan sangat ramah, namanya Mrs Long. Bahasa inggris mereka juga lumayan, jadi kami bisa berkomunikasi dengan baik. Sehingga meskipun di negara orang, kami tetap merasa ada di rumah. Hostel Long selalu penuh, meskipun bukan di musim liburan. Hostel Long memang nyaman. Kamarnya bersih. Ukurannya kecil memang, tapi rapi. Ada TV kabel, air panas, dan tempat tidur yang nyaman untuk dua orang. Sayangnya kami dapat kamar di lantai empat dan Long Hostel tidak punya lift. Jadi yahhh… PR banget memang untuk sampai ke kamar dengan keadaan tubuh yang kecapean.
09:30 PM
Habis meregang tubuh sebentar di atas tempat tidur. Kami langsung keluar untuk cari makan malam. Lapar. Maklum kami hanya mampu beli tiket pesawat murah yang pastinya tidak menyediakan makan malam gratis. Sebelum keluar malam itu,Miss Long memberi kami sebuah peta Saigon. Petanya lumayan dan
menggambarkan dengan jelas jalanan kota. Miss Long juga membintangi tempat-tempat yang perlu kami datangi. Termasuk tempat membeli makanan halal atau setidaknya restoran yang tidak menjual menu babi. Restoran halal di Vietnam mahal. Jadilah karena budget terbatas, saya harus menurunkan kadar halal yang saya pahami. Seharusnya halal tidak hanya soal bahan makanannya saja, peralatan yang digunakan juga harus halal atau tidak pernah digunakan untuk memasak babi. Tapi yahh… bakal sulit untuk menemukan yang seperti itu. Jadi Bismillah saja.
Kami kemudian makan di restoran Pho sapi. Pho adalah bakmie khas Vietnam yang punya rasa macam-macam. Saya pilih Pho Beef Stew. Lumayan juga. Lalu praktis selama dua hari kami hanya makan Pho. Kami kehabisan ide untuk makan, apa lagi yang halal dan murah. Tapi akhirnya
bosan juga, jadinya kami mencari KFC terdekat heuu…. Sebenarnya Miss Long juga menyediakan sarapan, jadi lumayan untuk mengganjal perut. Selain itu, saya juga beli cemilan di minimarket. Di sana saya akan selalu pilih Oreo dan Timtam, berhubung itu produk diimpor dari Indonesia dan ada label halalnya hahaha. Banyak juga makanan ringan yang dijual di jalanan, tapi kami takut membelinya. Kami tidak tahu pasti bahan pembuat makanan itu. Dan kami tidak yakin, si penjual jajanan kaki lima akan bisa menjelaskannya dengan bahasa yang kami mengerti. Sayang banget, padahal tampilannya sangat menggoda.
10.00 PM
Usai makan Pho kami segera memulai petualangan kami di Saigon. kamihanya berputar-putar tidak jauh dari hostel. Beruntung hostel kami berada di tengah kota. Ke mana-mana deket dengan jalan kaki. Tata ruang Saigon cukup rapi. Umumnya rumah-rumah tinggal di Saigon ukurannya sama. Katanya ini ketentuan pemerintah. Setiap orang hanya berhak punya rumah dan tanah seluas 60 m2. Tidak boleh lebih dari itu. Sehingga ukuran rumah mewah di Saigon adalah rumah dengan jumlah lantai yang banyak. Bukan rumah dengan tanah yang luas. Pembangunannya menjadi vertikal bukan horizontal. Kebijakan ini tampaknya disesuaikan dengan ideologi negara yang dianut oleh Vietnam. Komunis, sama rata, sama rasa.


Hal lainnya yang langsung kami temui ketika menjejakkan kaki di Saigon adalah jalanan kota yang menyeramkan. Jalanan Saigon sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Banyak sekali motor yang berlalu lalang. Pengendara motor di kota ini juga sama tabiatnya dengan pengendara motor di Jakarta. Mereka berkendara dengan kecepatan tinggi dan sering tidak peduli dengan rambu-rambu dan lampu lalu lintas. Kami juga semakin kagok, karena arus kendaraan di Saigon berlawanan dengan Indonesia. Kami yang terbiasa menyeberang jalan Jakarta dengan terlebih dahulu melihat ke arah kiri baru ke kanan, tiba-tiba jadi bingung. Seharusnya kami melihat ke kanan terlebih dahulu baru ke kiri. Jadinya beberapa kali kami sempat hampir terserempet. Keadaan akan semakin parah bila menyeberang di perempatan atau pertigaan yang tidak ada lampu merahnya ataupun polisi lalu lintasnya. Polisi lalu lintas di Saigon memang sulit ditemukan.
Pengendara motor di Saigon juga tidak terlalu memperhatikan keamanannya, yang penting gaya. Ketimbang memilih helm berkualitas SNI dan melindungi seluruh kepala, orang-orang Saigon lebih suka pakai helm catok. Helm catoknya lucu-lucu, berwarna warni dan punya beragam bentuk. Helm yang paling digemari adalah yang bentuknya seperti topi. Meskipun tampak tidak aman, pemerintah Vietnam mengklaim kalau tingkat kecelakaan di Vietnam sangat rendah. Aneh.
Oh ya, ada yang bilang juga kalau memiliki motor di Vietnam adalah suatu keharusan, terutama bagi para laki-laki yang lajang. Motor semacam indentitas dan diferensiasi status bagi mereka. Motor adalah kemapanan. Sehingga laki-laki lajang yang memiliki motor meskipun hanya tipe keluaran lama akan lebih mudah mendapatkan perempuan idaman, ketimbang yang tidak punya. Di Vietnam, pemerintahnya juga membatasi penggunaan motor dengan kapasitas mesin di atas 120 cc. Jadi akansulit menemukan motor macam Ninja yang kapasitas mesinnya bisa sampai 250 cc. Umumnya yang melenggang di jalanan adalah motor bebek, matik, dan vespa.
11.30 PM
Kami kembali ke hostel setelah berputar-putar cukup lama. Usai berhasil menemukan Ben Than Night Market, kami kembali mencari jalan pulang ke hostel. Di sana kasur Mrs Long yang nyaman sudah menunggu. Selamat tidur.
Comments