top of page

VIETNAM (2) : MENGAGUMI PERANCIS, MENIKMATI BONEKA AIR

11 Maret 2012

08.30 AM

“Good Morning,” ujar Mrs Long pagi itu. Dengan sedikit terkantuk saya duduk di meja makan untuk sarapan. “Pagi ini kami punya roti dan Pho spesial, kalian mau apa?” Sejurus kemudian saya sudah menyantap sepiring mie goreng dengan terlalu banyak kecap asin di dalamnya. Setidaknya saya kenyang.

10.00 AM

Kami hanya berniat untuk berkeliling kota hari ini. Lokasi pertama adalah pasar pagi tradisional di dekat hostel. Yah bisa dibilang pasar becek lah. Tidak jauh berbeda dengan pasar tradisional yang ada di Indonesia. Mereka menjual bahan makanan yang umumnya sama, ya rempah-rempahnya, ya sayur mayurnya, ya ikan dan ayamnya. Jadi terpikir, kalau nanti saya memutuskan untuk tinggal dalam jangka waktu lama di kota ini, saya bisa dengan mudah membuat masakan Indonesia bila saya tiba-tiba saya rindu. Di sana kami juga mampir di toko yang menjual berbagai macam teh dan toko lainnya lagi yang menjual wine khas Dalat, Vietnam.

Usai berkeliling di sana, kami menuju Ben Thanh market. Sebenarnya semalam kami sudah mengunjunginya, tapi hanya di bagian luar. Itu pun pada malam hari, sehingga kami tidak bisa melihat kondisi pasar itu sepenuhnya. Ben Thanh punya arsitektur yang menarik khas Eropa, terutama Prancis. Wajar saja, Saigon pernah diduduki Prancis di masa perang. Jadinya hingga kini banyak bangunan peninggalan Prancis indah yang tersebar di seluruh kota. Wajar pula bila orang Saigon punya kebiasaan menyantap roti baguette khas Prancis sebagai pengganti nasi atau mie.

Ben Thanh sebenarnya tidak jauh berbeda dengan JJ weekend market di Thailand. Pasar itu menjual berbagai macam sandang khas Vietnam. Lucunya saat masuk, saya merasa pasar itu tidak jauh berbeda dengan tanah abang. Banyak penjual yang memanggil-manggil kami untuk singgah ke lapak mereka dengan panggilan ‘kakak’. Lucu saja bagaimana mereka bisa tahu panggilan semacam itu. Mungkin mereka sudah terbiasa menemukan orang Indonesia berbelanja di pasar itu dan somehow mereka bisa tahu panggilan itu. Cara berbelanja di Ben Thanh juga tidak jauh berbeda dengan di JJ Market. Dengan sejumlah penjual yang tidak mampu berbahasa Inggris, kami berkomunikasi dengan menggunakan kalkulator. Saya jadi paham, lebih dari rangkaian huruf, angka-angka

berbahasa lebih baik.

Sayang, bagi saya pasar ini tidak terlalu nyaman. di Ben Thanh para penjualnya terlalu kasar dan memaksa. Beda dengan pedagang JJ market yang lebih ramah. Selain itu harganya lebih mahal. Akibatnya, karena budget yang terbatas, saya tidak beli banyak barang. Hanya sebuah tas yang terbuat dari kain khas Vietnam, dua buah boneka tangan untuk ponakan, dan sebuah topi tentara vietnam. Saya kemudian juga membeli sebuah t-shirt bertulisan ‘Vietnam’ untuk Papa. Saya sudah janji membelikan dia, satu t-shirt di setiap negara yang saya datangi. Biasanya kalau tugas keluar kota, saya juga belikan dia satu kaos dengan tulisan nama kota itu. Dia suka sekali kaos. Lebih sering akhirnya digunakan untuk kaos ganti saat bermain badminton. Kemudian dengan bangga bilang, “Anak saya yang nomor dua yang belikan” haha.

12.00 PM

Usai dari Ben Thanh, kami mengunjungi Independence palace. Ini adalah bangunan kemerdekaan Vietnam. Museum tersebut berdiri di atas lahan yang sangat luas di jalan Nam Ky Khoi Nghia. Untuk masuk ke dalamnya kami perlu membeli tiket seharga 30 ribu dong (Rp 15 ribu). Museum ini dulunya adalah

tempat di mana elite politik dan militer

Vietnam bekerja sama untuk merumuskan strategi perang kemerdekaan mereka melawan Amerika maupun Prancis. Sejumlah ruang bersejarah di dalam bangunan ini dialasi

karpet yang sangat mahal dan indah. Ataupun hiasan dinding yang memukau. Karena sepatu yang tidak nyaman, saya terpaksa membuka sepatu saat berkeliling museum.

Di sekitar lokasi museum, juga terdapat taman yang sangat luas, yang biasanya didatangi penduduk kota untuk berolah raga. Orang Vietnam memang suka olah raga, hampir di setiap taman kota ada sejumlah alat olah raga yang disediakan khusus untuk digunakan secara gratis. Kadang, taman kota lantas berubah menjadi lapangan bulu tangkis oleh para penduduk. Makanya tak aneh bila di Saigon banyak sekali toko yang menjual sepatu dan alat-alat olah raga. Tak aneh pula bila mereka kini punya prestasi olah raga yang bagus di Asia ataupun Asia Tenggara.

Saigon juga punya opera house di jalan Dong Khoi, Catedral Notre Dame di Han Thuyen, Central Post Office di Hai Ba Trung, dan People Committee Hall di jalan Le Thanh Ton. Arsitektur sejumlah bangunan tersebut bergaya Eropa. Sebenarnya kami

tidak sengaja menemukan bangunan-bangunan ini. Memang ada di dalam peta, namun kami tidak terlalu ingin melihatnya. Hanya karena saya sibuk mencari masjid untuk shalat zuhur dan ashar yang dijamak, kami akhirnya melihat bangunan tersebut. Semacam bonus.

04.00 PM

Mencari masjid di Saigon sebenarnya tidak sulit. Sejumlah masjid besar dibangun di sana, namun saya mencari yang paling dekat usai mengunjungi dari Independence Palace. Sebelum ke Vietnam saya sudah cari informasi tentang masjid-masjid di Saigon, tapi bukan perkara gampang menemukannya. Salah satu masjid tertua yang ingin saya datangi, berada di jalan Dong Du. Sayang nama jalan itu tidak tertera di peta yang diberikan Miss Long. Dan banyak orang vietnam yang saya temui tidak tahu di mana jalan itu berada. Kalaupun mereka tahu, mereka tidak tahu caranya untuk menyampaikannya karena tidak bisa berbahasa inggris.

Pada dasarnya orang Vietnam tidak terlalu ramah. Entah karena masih traumatik dengan perang, akhrnya sejumlah orang Vietnam menjadi begitu kasar dengan pendatang. Saya pernah diusir hanya karena menanyakan jalan atau menawar

terlalu rendah. Yahhh…. at least mereka bisa senyumlah kalau tidak setuju dengan saya, bukan mengusir dengan tangan.

Kami berputar-putar kota untuk mencari jalan tersebut. Hingga seorang security di hotel inercontinental yang tidak sengaja kami lewati, memberi tahu cara ke jalan itu. Lega juga, karena tadinya saya sudah sangat hopeless dan berpikir jangan-jangan jalan itu tidak ada. Saya juga sudah siap-siap untuk shalat di taman kalau saya tidak bisa menemukan sebuah masjid. Sementara bila memaksa diri untuk kembali ke hostel, sudah keburu maghrib.

05.00 PM

Sebelumnya siang tadi, kami sudah memesan tiket seharga 120

ribu dong (Rp 60 ribu) untuk menonton water puppet show di teater Golden Dragon di jalan Nguyen Thi Minh Khai. Katanya ini adalah tontonan wajib di Vietnam. Jadi ke sanalah kami.

Panggung teater itu kecil dengan sebuah kolam berisi air di tengah-tengahnya. Sebuah miniatur rumah khas Vietnam di pajang di atas kolam. Sementara di kedua ujung kolam terdapat pemusik tradisional. Tiga orang di sisi kiri dan tiga orang di sisi kanan. Mereka membuka pertunjukan dengan nyanyian dalam bahasa Vietnam. Seiring dengan itu, sebuah boneka muncul dari balik miniatur rumah tradisional yang sebagian tubuhnya berada di dalam air. Diikuti dengan sejumlah boneka lainnya. Si pemusik kemudian bertindak sebagai pengisi suara boneka. Mereka bercerita dalam bahasa Vietnam.

Lucunya meskipun kami tidak tahu apa yang mereka ceritakan, namun saya dan sejumlah pengunjung yang hampir semuanya adalah turis bisa dibuat tertawa. Bukan karena ceritanya lucu, tapi karena tingkah si boneka yang lucu. Mata kami juga tidak bisa lepas dari panggung karena kami dibuat penasaran, di mana dalang boneka itu berada. Bagaimana cara boneka itu digerakkan.

Mungkin hanya dua laki-laki bule yang duduk di sebelah saya yang tidak terlalu tertarik dan malah tertidur di sepanjang pertunjungan. Tapi jujur, saya juga akan bisa tidur, bila pertunjukan itu tidak selesai dalam 45 menit. Sedikit membosankan memang kalau kita tidak tahu apa yang mereka ceritakan. Apalagi bila, boneka yang ditampilkan itu-itu saja. Syukurnya di sepanjang 45 menit itu, mereka menampilkan berbagai bentuk boneka yang menarik yang digerakkan dengan lucu.

Di akhir acaranya, sejumlah pria berpakaian khas Vietnam keluar dari balik miniatur rumah. Sebagian tubuh mereka berada di dalam air. Mereka kemudian membukuk memberi hormat dan saya pun berdiri sambil bertepuk tangan puas. Well after all, the show made my day.

10.00 PM

Sampai di hostel saya sangat kelelahan. Namun saya memaksakan diri untuk mandi dan membereskan barang. Besok kami harus check in pagi-pagi sekali. Kami ikut rombongan tur ke cu chi tunnel dan malamnya kami akan menginap di apartemen milik pria Amerika. Dia kenalannya Efi di Couch Surfing. Lalu sementara, si Efi menikmati Dalat Wine yang dibelinya seharga 80 ribu dong (Rp 40 ribu) sebotol, saya sudah ada di alam mimpi.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page