top of page

VIETNAM (3) : KISAH PARA GERILYAWAN DAN RASA SEPI ITU

12 Maret 2012

07.30 AM

Kami sudah duduk tenang di lobi hotel pagi itu. Mrs Long menyediakan sebuah roti baguette dengan selai nanas dan pisang di atas meja. Tentu saja plus teh pandan khas Hostel Long. Sementara seperti pagi-pagi sebelumnya, Mr Peter yang selalu sarapan bersama kami, memesan dua gelas kopi vietnam plus susu. Tak lama jemputan kami datang. Kami menuju Cu Chi Tunnel.

08.00 AM

Desa Cu Chi letaknya sekitar dua jam perjalanan dari Saigon. Lokasinya berdekatan dengan perbatasan antara Vietnam dan Kamboja. Dalam perjalanan kami kerap melihat sejumlah motor membawa dua derigen minyak besar yang diikat di kedua sisi motor. Saat saya tanya, apa yang mereka lakukan, pemandu wisata kami menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang Vietnam yang membeli bensin dalam jumlah besar untuk dijualnya kembali di perbatasan. Harga minyak di Vietnam dua kali lebih murah dari pada di Kamboja, sehingga banyak orang Kamboja yang memilih untuk membeli minyak di Vietnam. Tentunya orang Vietnam akan menjual lebih tinggi dari harga aslinya. Tapi tidak akan masalah, berapa pun harganya pasti akan jauh lebih murah dari bensin di Kamboja. Katanya lagi, praktek semacam ini tidak dilarang dan legal. Meskipun bensin di Kamboja lebih mahal, namun harga mobil di Kamboja lebih murah ketimbang di Vietnam. Sehingga banyak pula orang Vietnam yang membeli mobil di Kamboja.

Sebelum sampai ke lokasi terowongan, kami berhenti di sebuah bengkel pembuatan kerajinan tangan dari kulit telur dan keramik. Di sana hampir semua pekerjanya cacat. Mereka adalah korban perang Vietnam. Ada yang cacat sejak lahir akibat radiasi nuklir atau cacat karena terkena ranjau. Macam-macam penyebabnya. Namun agar mereka tetap bisa bertahan hidup dan memiliki kepercayaan diri, pemerintah Vietnam membangun bengkel tersebut bagi mereka. Mereka bisa menghasilkan uang meskipun mereka cacat. Hebatnya lagi, mereka betul-betul bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Hasilnya sungguh indah.

11.00 AM

Desa Cu Chi dikenal sebagai lokasi maut bagi tentara Amerika ketika perang Vietnam berlangsung 40 tahun lalu. Agar bisa mengalahkan Amerika, orang Vietnam membangun terowongan di bawah tanah. Jalan masuk ke terowongan sulit dilacak. Orang

Vietnam menyembunyikannya dengan baik. Mereka menutup jejak dengan daun-daun untuk mengelabui tentara Amerika. Mereka menandai setiap jalan masuk dengan tanda pada pepohonan di dekat lubang. Terowongan tersebut sangat kecil dibuat mengikuti ukuran tubuh orang asia yang kecil. Mereka yang masuk ke dalamnya hanya bisa berjongkok atau merunduk. Terowongan Cu Chi sangat panjang, bahkan katanya bisa sampai ke Saigon. Terowongan itu macam lubang semut dan terdiri dari 3 level. Masing-masing level memiliki kedalaman berbeda, 5, 10, 15 meter. Orang Vietnam bisa dengan mudah membuat lubang itu karena tanah di desa Cu Chi sangat padat. Sehingga tanah tidak mudah runtuh.

Terowongan ini juga dibuat macam labirin sehingga akan membingungkan tentara Amerika bila mereka menemukan dan masuk ke dalamnya. Masuk dari lubang yang satu, bisa saja membuat mereka keluar di tempat yang benar-benar berbeda. Lagipula masuk ke dalamnya butuh keberanian besar. Bila ragu-ragu, saat berada di dalamnya kita bisa tersesat, apalagi terowongan itu gelap.

Hanya saat perang berakhir dan Cu Chi Tunnel dibuka untuk wisatawan, sejumlah terowongan dilengkapi penerangan. Sehingga saya cukup berani mencoba masuk ke dalamnya. Saya, Efi, dan beberapa orang turis asal Eropa masuk ke dalam terowongan bersama seorang tentara Vietnam. Begitu prosedurnya, turis tidak diizinkan masuk ke dalam terowongan tanpa panduan seorang tentara. Tentara yang menemani kami merangkak terlalu cepat sehingga Efi dan sejumlah turis yang berada di belakang saya hampir kehilangan arah.

Saya berkali-kali meminta dia untuk memperlambat geraknya, tapi si tentara tidak mengindahkan. Mungkin hanya karena dia tidak mengerti bahasa inggris. Untungnya terowongan yang kami lewati panjangnya kurang dari 10 meter, sehingga kami bisa segera kembali bertemu matahari. Tidak terbayang, bagaimana

orang-orang vietnam bertahan bertahun-tahun di dalam terowongan itu untuk melawan Amerika.

Di dalam terowongan tersebut terdapat sejumlah ruangan yang dibuat cukup luas dan lebar sehingga seseorang bisa berdiri bebas dan tidur di dalamnya. Ada ruangan tempat tidur, ruangan rapat, dan sejumlah tempat pengungsian. Orang Vietnam memikirkan segalanya. Agar tetap bisa hidup di dalam tanah, mereka membuat lubang-lubang ventilasi, yang menghubungan dunia luar dan terowongan, sehingga mereka tetap bisa bernafas.

Dari permukaan tanah, ventilasi tersebut terlihat seperti lubang kecil di atas gundukan tanah. Sejumlah ventilasi ini kemudian menjadi sasaran bagi tentara Amerika yang mencoba untuk menghancurkan terowongan. Kadang mereka memasukkan bom ke dalam ventilasi itu. Namun itu tidak masalah, bila bom menghancurkan terowongan di level satu, mereka bisa masuk ke level lebih dalam. Kadang, tentara Amerika memasukkan air ke dalam lubang, berharap orang-orang Vietnam di dalam terowongan tenggelam. Tapi ini hanya membuat tentara Amerika tampak semakin bodoh. Orang Vietnam telah memikirkan hal ini. Mereka menghubungkan terowongan dengan sungai, sehingga air yang dimasukkan akan langsung mengalir ke luar terowongan melalui sungai.

Agar lubang ventilasi tidak mudah diketahui, mereka melakukan sejumlah hal untuk mengelabui anjing yang biasa digunakan tentara Amerika untuk mencari jejak. Kadang mereka menaburkan bubuk merica atau rempah-rempah lainnya di sekitar lubang. Atau meletakkan pakaian tentara Amerika yang berhasil mereka tangkap tidak jauh dari lubang. Sehingga si anjing tidak bisa melacak keberadaan lubang. Yang bisa dia cium hanya bau badan tentara Amerika atau lada. Orang Vietnam sungguh pandai. Tidak aneh bila mereka bisa mengalahkan kesombongan Amerika masa itu. Hebatnya ide pembuatan terowongan ini berasal dari petani, bukan seorang komando militer atau pimpinan politik masa itu. Mereka melakukan atas dasar insting bertahan hidup. Atas dasar keinginan memperjuangkan hak mereka untuk bernegara.

Di desa Cu Chi, wisawatan harus hati-hati berjalan. Di sekitar desa, pemerintah Vietnam bahkan menanam pohon-pohon karet, untuk menandai daerah yang rawan ranjau. Meskipun perang sudah berlalu selama puluhan tahun, namun masih banyak ranjau yang terpasang di desa itu, bahkan di seluruh Vietnam. Makanya, pemerintah Vietnam sangat menghargai orang-orang yang mau tinggal di desa Cu Chi. Mereka akan diberikan tanah yang luas untuk bertani dan rumah. Kompensasi yang dianggap cukup pantas atas resiko yang mungkin mereka hadapi di sana. Menurut pemandu kami, hingga kini masih banyak warga Vietnam yang meninggal karena menginjak ranjau. Pemerintah Vietnam lanjutnya, mengalokasikan dana antara 5 – 15 juta dolar untuk membersihkan ranjau di Vietnam.

Bahkan Amerika baru-baru ini memberikan bantuan hingga 50 juta dolar untuk membantu upaya itu. Namun menurutnya, Vietnam butuh 20 tahun untuk benar-benar bersih dari ranjau. Seram.

02.00 PM

Kembali ke Saigon, kami langsung berkunjung ke War Remnant Museum. Hari itu banyak sekali pengunjung yang datang. Hingga petugas museum tidak sadar kalau kami berkeliling museum tanpa membeli tiket masuk hahaha. Sebenarnya harga tiketnya cuma 15 ribu dong. Di museum itu, dipajang berbagai foto dan potongan surat kabar ketika perang Vietnam berlangsung. Semua foto yang ditampilkan di Museum itu menunjukkan betapa banyak orang yang memprotes invasi Amerika. Penolakan tidak hanya terjadi di dalam Vietnam, namun di seluruh dunia.

Di sebuah foto saya bahkan melihat, tiga orang mahasiswa Amerika rela membakar diri mereka hanya agar pemerintah Amerika menghentikan agresinya. Di sisi lain, foto-foto yang dihadirkan menunjukkan betapa perang Vietnam telah membuat bayi-bayi yang dilahirkan saat perang dan sesudahnya mengalami kecatatan. Foto-foto lainnya menggambarkan kesadisan tentara

Amerika. Mereka bahkan membunuh dua orang anak-anak laki-laki kakak beradik yang melintas saat tentara Amerika berpatroli, tanpa ampun. Melihat semua bukti itu membuat saya merinding dan hampir menangis. Bahkan saya semakin tidak mengerti apa alasan Amerika menginvasi Vietnam. Negara kecil di Asia Tenggara, hanya karena mereka beraliran komunis? Memangnya apa salahnya bila sekelompok orang memiliki cara pandang dan nilai yang berbeda dalam menjalani hidup dan bernegara. Bahkan kemudian, Amerika tampak lebih komunis ketimbang negara komunis.

03.00 PM

Dari Cu Chi tunnel pula saya tahu, bahwa perempuan punya peranan penting dalam perang Vietnam. Bukan hanya bertugas membuat dan mengantarkan logistik untuk para gerilyawan, tapi mereka juga ikut mengangkat senjata. Perempuan akan lebih tidak dicurigai ketimbang laki-laki. Apalagi bila mereka berlalu lalang di depan hidung tentara Amerika dengan pakaian petani. Berpakaian hitam-hitam, dengan scraft, dan topi caping. Pakaian semacam ini masih sering digunakan oleh orang Vietnam. Masih banyak perempuan di Vietnam yang menggunakan topi caping ke mana-mana.

Tak aneh bila pemerintah Vietnam membuat woman museum sebagai penghargaan bagi para perempuan Vietnam. Tidak hanya bagi mereka yang ikut berjuang, tapi juga pada ibu-ibu yang merelakan anak laki-lakinya berperang. Sayang tidak seperti museum lainnya, woman museum sangat sepi dan displaynya kadang menyeramkan. Bahkan untuk masuk ke dalamnya kami tidak perlu membayar dan hari itu hanya ada saya dan Efi yang berkunjung.

05.00 PM

Kami sampai di apartemen pria asal Amerika yang bekerja di konsulat Amerika di Vietnam. Namanya Jhon. Dia adalah kenalan Efi di situs Couch Surfing. Baik sekali dia mau memberi kami tumpangan malam itu, mengingat kami harus menghemat uang kami untuk akomodasi. Apartemennya cukup besar dan sangat nyaman. Dia punya dua kamar yang bisa digunakan. Namun saya dan Efi memilih tidur di kamar yang sama. Hanya agar merasa aman. Meskipun kami sadar kalau Jhon orang baik. Dia bilang, “Kalian perlu curiga kok, bahkan dengan laki-laki yang terlihat baik,” katanya.

Begitu pun dia, Jhon tidak serta merta percaya pada kami. Dia menggeletakkan sejumlah uang di beberapa tempat. Hanya untuk melihat apakah kami pantas dipercaya atau tidak. Bila jumlah uang di beberapa tempat itu berkurang, Jhon punya alasan yang tepat untuk menendang kami keluar apartemennya. Dia juga melakukan tes yang sama bagi para backpacker yang diundang ke apartemennya. Lagipula, kegiatan ini belum lama dilakoninya, sehingga dia sangat berhati-hati. Jhon baru bercerai dan sang istri pindah dari apartemen itu, membawa semua barangnya bahkan seekor anjing yang sangat disayanginya. Dia kesepian, dan mengundang backpacker untuk menginap di apartemennya yang besar setidaknya membuat dia tidak merasa terlalu sunyi.

Sayang, kami tidak terlalu lama mengobrol dengan Jhon. Setelah menyambut kedatangan kami, dia diminta kembali ke kantor untuk bekerja. Malam sebelum dia pulang, kami keluar untuk makan malam. Saat kami kembali, dia sudah tidur. Dia memang bilang, tidak enak badan saat pertama bertemu kami dan berniat tidur ketika kantornya menelpon.

13 Maret 2012

06.30 AM

Esok pagi-pagi sekali, kami harus mengejar bus untuk berangkat ke Kamboja. Kami mencoba membangunkannya, tapi sia-sia. Kami tidak bisa menunggu terlalu lama hingga dia terbangun. Akhirnya kami meninggalkan apartemen dengan sebuah pesan yang kami tinggalkan di atas meja makan. Sedih juga rasanya pergi seperti itu. Somehow saya mengerti sekali rasa sepi yang dilanda Jhon. Semoga Jhon bisa segera mengusir kesunyiannya. Begitu pula saya.

And… goodbye Vietnam.

See ya soon….

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page