top of page

ROEHANA KUDDUS, SEBUAH SEJARAH YANG TERLEWATKAN

Berhubung ini masih April, saya ingin posting tulisan yang pernah saya buat dua tahun lalu tentang seorang tokoh perempuan. Bukan Kartini tentunya. Saya sudah tidak merayakan ulang tahunnya sejak mengakhiri masa SMA saya. Ini tentang seorang bernama Roehana Kuddus. Dia

perempuan minang yang menginspirasi perempuan minang lainnya macam saya untuk berani bermimpi. Untuk bisa menjadi seorang jurnalis sepertinya. Tapi tak banyak yang mengenalnya. Padahal pengaruh kakak Sutan Syahrir ini sangat besar tidak hanya di tanah minang, namun juga Indonesia. Bahkan kisahnya terdengar hingga ke sejumlah negara di dunia. Dia adalah sebuah sejarah yang terlewatkan.

20 Desember 1884 seorang anak perempuan lahir di ranah Minang, tepatnya di Koto Gadang, dia diberi nama Siti Ruhana. Lahir pada zaman pendudukan Belanda dan masa di mana adat dan agama diartikan secara sempit, membentuk karakter dan cara pikir Roehana. “Dia adalah perempuan yang terlalu “maju” pada zamannya,” ujar penulis buku biografi Rohana Kuddus, Fitriyanti.

Sejak umur 8 tahun Ruhana sudah mempertanyakan banyak hal. Pertanyaan yang diulang-ulangnya adalah mengapa perempuan tak diperbolehkan bersekolah layaknya anak laki-laki. Dulu di Minangkabau memang hanya anak laki-laki yang dibolehkan bersekolah. Makanya tak ada anak perempuan yang mampu menulis dan membaca. Baginya pembatasan tersebut tidak masuk akal.

Meskipun tak bisa bersekolah, keinginan Roehana untuk bisa membaca dan menulis tidak bisa diredam. Oleh sang ayah yang bekerja sebagai Hooft Jaksa, Roehana diperkenalkan dengan koran dan majalah. “Ayah memberikan saya koran dari mana-mana dan kadang memesan buku-buku dari Singapura untuk saya baca,” tuturnya pada sesi wawancara yang dilakukan oleh wartawan Harian Api Pantjasila pada 22 Mei 1966.

Dari sanalah Ruhana menjadi lancar membaca dan menulis. Bagi sebagian orang kemampuannya tersebut terbilang aneh. “Lagaknya seperti anak lelaki saja,” begitulah komentar yang dilontarkan orang bila melihatnya sedang membaca di teras rumah. Namun hujatan tersebut tidak menghentikannya. Semakin dewasa kebiasaannya membaca semakin menjadi-jadi. “Kebiasan itu pulalah yang membuatnya memiliki pemikiran yang maju dibandingkan anak perempuan seusianya,” tutur Fitri.

Pada usia yang masih sangat muda, Roehana telah menjadi seorang ‘guru’ bagi teman-temannya. Dengan senang hati dia mengajarkan mereka membaca dan mengeja nama mereka sendiri. Dia kemudian juga membuka sekolah tak resmi di rumah gadangnya. Di sana Rohana membakar semangat murid-muridnya dengan berbagai cerita dari surat kabar dan buku hingga dongeng yang pernah didengarnya. Cerita yang paling sering dibaginya adalah tentang Bundo Kanduang, seorang ratu yang pernah memimpin Kerajaan Pagaruyuang. Dia sangat kagum dengan kebesaran, kehebatan, kepemimpinan, dan kebijaksanaan Bundo Kanduang. “Cerita tersebut mempengaruh jiwa Ruhana,” ujarnya.

11 Februari 1911, Roehana mendirikan sebuah sekolah keterampilan di Koto Gadang yang diberinya nama Kerajianan Amai Setia (KAS). Di sini para perempuan diajarkan kerajinan tangan, membaca, dan menulis huruf arab, melayu, dan latin. Roehana yang religius juga memberikan pendidikan rohani dan akhlak kepada anak muridnya. Roehana juga mengajarkan kepandaian mengurus rumah tangga seperti memasak dan mengasuh anak di samping pengetahuan umum lainnya. Di sela-sela pelajaran tersebut, Roehana menyampaikan pemikirannya seputar kaum perempuan. Namun lebih banyak dititik beratkan pada urusan ekonomi.

Sekolah KAS bukan hanya diterima masyarakat tapi juga pemerintahan Belanda. Bantuan dana kerap diberikan pemerintah Belanda kepada Roehana dalam menjalankan sekolahnya itu. Namun kegiatannya ini sering pula dianggap sebagai ancaman bagi sejumlah orang picik. Roehana sadar, setiap perubahan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan harus menghadapi berbagai halangan. Tak habis akal, demi melancarkan perjuangannya, Ruhana melakukan pendekatan lewat pergaulan. Sesekali ia ikut ke sawah menanam dan menuai padi bersama temannya. Dia juga ikut shalat jamaah di masjid dan mendengarkan ceramah dengan tekun.

Perjuangannya tak sampai di situ saja. 10 Juli 1912, Roehana mendirikan surat kabar khusus perempuan yaitu Sunting Melajoe. Dia dibantu oleh Soetan Maharadja yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe. Roehana memimpin surat kabar tersebut dari Bukittinggi dibantu dengan seorang redaktur pelaksana di Padang. Sunting Melajoe beredar di hampir seluruh Minang kabau. Ini adalah sebuah prestasi yang membanggakan. “Di Eropa saja dulu sangat jarang media khusus perempuan,” ujar Fitri.

Di Koran tersebut, Roehana tidak hanya membicarakan nasib perempuan di tanah melayu, tetapi juga di belahan negara lainnya di dunia. Dia juga bersentuhan dengan politik dan memberikan gagasan bahwa perempuan juga bisa terjun dalam organisasi pergerakan dan percaturan politik. Tulisan Roehana mendapatkan dacak kagum, namun juga menimbulkan rasa khawatir dari sebagian masyarakat Minang kebanyakan dan pemerintah Belanda.

Dalam seminggu, Roehana menulis dua karangan. “Saya tulis dengan pena karena belum ada mesin tik. Kalau pun ada, saya tidak bisa menggunakannya,” ujar Roehana. Sebelum dicetak karangan tersebut diperiksa sang suami, Abdoel Kuddus. “Dia membetulkan atau menambah yang kira-kira kurang terasa,” tuturnya.

Dunia kewartawanan bagi Roehana mampu membuka dunia yang luas dan bebas bagi seorang wanita. “Namun saya berpesan agar kebebasan yang luas ini hendaknya diimbangi dengan agama yang teguh,” katanya. Baginya kekayaan yang abadi adalah imu pengetahuan dan agama. Pada 17 Agustus 1974, dua tahun setelah kematiannya, Roehana dinobatkan sebagai ‘Wartawati Pertama’ oleh Pemda Sumatera Barat. Lalu saat peringatan Hari Pers Nasional ke 3, 9 Februari 1987, Roehana dianugerahi penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia.

Dalam menjalanan profesinya sebagai seorang jurnalis, Roehana tidak tampil tomboy layaknya junalis perempuan yang ada saat ini. Dia tetap dengan penampilan tradisionalnya. Berpakaian khas Koto Gadang dengan baju kurung, songket, selendang, serta kain yang dililitnya sebagai tangkuluak tanduak di atas kepalanya . Penampilan yang feminim tersebut sama sekali tidak membatasi geraknya. “Roehana tetap lincah bahkan pernah meliput berita kasus pencurian di Bukttinggi,” ujar Fitri.

Saat umurnya 71 tahun, Roehana masih terus menulis. Apa saja dicatatnya. “Dia paling suka menyimak dan mencatat pidato sang adik, Sutan Syahrir dan Soekarno yang didengarnya lewat radio,” tutur cucu satu-satunya Roehana, Eddy Juni. Dia juga mengkliping koran dan foto berita yang menceritakan perjuangan syahrir dan Soekarno dalam mencapai kemerdekaan.

Nyaris Pahlawan Nasional

Roehana meninggal pada usia 88 tahun. Tepatnya saat rakyat Indonesia memperingati hari kemerdekaan RI ke -27 pada17 Agustus 1972. Dia dimakamkan di TPU karet, Jakarta. Setelah kematiannya itu, semakin banyak orang yang sadar akan kontribusinya terhadap kaum perempuan di Indonesia. Dia telah melakukan tindakan nyata tanpa harus berkoar-koar di mimbar.

Perjuangan yang dilakukan Ruhana bukanlah untuk kemuliannya sendiri. Namun untuk kesejahteraan kaumnya. Dia tidak menuntut kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan. “Namun lebih dari itu untuk mengajarkan perempuan untuk mandiri,” ujar Eddy. Pada masa itu, perempuan Minang kerap ditinggalkan suaminya merantau. Mereka tidak bisa ikut serta karena harus menjaga harta pusako. Sementara harta pusako tersebut tidak bisa dengan mudah diperjual belikan bila sang perempuan membutuhkan uang. Oleh karena itulah mau tidak mau, perempuan harus bisa mandiri, tidak bergantung dengan suami.

“Saat ini perjuangan perempuan bukan lagi soal kesempatan namun soal kemauan,” ujar Fitri. Hanya bila ada kemauan, para perempuan bisa mengubah nasibnya. “TIdak dilecehkan dan diremehkan,” katanya. Layaknya seorang Roehana yang berjuang tanpa henti untuk menggubah nasib dirinya dan kaumnya.Hal inilah yang membuat sejumlah orang mengajuakan sosok Roehana Kuddus sebagai pahlawan nasional.

Namun usaha tersebut tidak berhasil. Pada 2008, Roehana hanya menerima bintang jasa dan bukan gelar pahlawan nasional dari pemerintah. Meskipun demikian, menurut Eddy, keluarga tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Kami yakin sejak memulai perjuangannnya, bukan sebuah gelar pahlawan yang diinginkannya,” tutur Eddy. Dia tahu betul kalau Roehana adalah pribadi rendah hati yang berjuang tanpa pamrih.

Bagi Eddy yang paling penting, nilai-nilai yang pernah diajarkan oleh sang nenek bisa dipahami dan tetap dipegang teguh oleh para perempuan Indonesia saat ini. “NIlai-nilai tersebut masih sangat relevan,” ujar Eddy. Dia tidak ingin mengultuskan sosok sang nenek dengan gelar apapun. “Roehana dihadirkan ke dunia oleh Allah. Allah yang sudah memilihnya. Dia menjadi orang hebat karena Allah. Maka seharunya, semuanya berpulang pada Allah,” tuturnya. Dia adalah pelita yang tidak akan pernah redup melintas zaman.

(*) Perempoean haroes menggerakan diri.

Patoetlah poela mengeloearkan peri.

Penarah kesat nak hilang doeri.

Penghentian goenjing sehari-hari.

*Petikan Syair yang ditulis Roehana di Soenting Melajoe pada 27 Juni 1912.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page