top of page

TENTANG JAUH DARI RUMAH


Sembilan hari tak hanya membuat saya bisa melihat berbagai negara tapi juga bertemu dengan sejumlah backpacker dengan cerita-cerita mereka yang mengesankan. Mereka yang memilih untuk sementara waktu jauh dari rumah. Mendatangi tempat-tempat baru. Mencicipi pengalaman yang berbeda di setiap negara. Mereka yang berani mengambil resiko, mendobrak rutinitas, dan menjalankan hidup sesuai cara mereka. Bebas.

Saat di Vietnam kami bertemu Peter. Dia menyapa kami saat sarapan di Hostel Long. Dia sudah cukup lama tinggal di hostel itu. Makanya petugas hostel tahu pasti menu kesukaannya saat sarapan. Yaitu dua cangkir kopi susu dan roti baugette plus selai. “Kalian dari mana?” tanyanya sambil menyesap kopinya. “Indonesia,” jawab kami.

Dia memperkenalkan diri sebagai warga negara Australia. Dibandingkan kami yang hanya punya waktu 9 hari untuk mengunjungi empat negara. Dia punya waktu lebih dari cukup untuk mengunjungi Asia Tenggara. “Liburan saya 4 bulan,” katanya. Iri sekali. Namun 4 bulan akan segera berakhir dan dia akan kembali ke negaranya dan bekerja. Semakin iri karena dia bisa mendapatkan liburan sepanjang itu lalu kembali tanpa harus kehilangan pekerjaannya. Peter bilang, cuti selama itu biasa di Australia. Heuu.. Peter hampir setiap tahun mengambil cuti dan bepergian ke negara lain. Bisa dibilang dia bosan dengan kota tempat tinggalnya. “Bosan, terlalu teratur,” katanya.

Kali itu Peter bepergian bersama istri dan dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan yang sedang liburan sekolah. Namun mereka tidak selalu bersama-sama untuk mengililingi Asia tenggara, “Istri saya kini ada di Kamboja. Anak saya yang laki-laki sedang di Vietnam Utara,” katanya. Tetapi mereka akan segera berkumpul kembali. “Dua hari lagi kami akan berkumpul di Siam Reap, Kamboja,” katanya.

Di Seam Reap kami bertemu Martin Rutten. Pria asal Belanda yang sangat perfeksionis. Dia bertemu Efi lebih dulu di restoran happy guesthouse. Mereka berkenalan dan Martin memutuskan untuk ikut bersama kami melawat Angkor Wat. Lumayan dia ikut, karena sewa tuk tuk cukup mahal, 15 dolar AS. Jadi kalau dia ikut kami hanya perlu keluar 5 dolar per orang. Tidak sulit merasa dekat dengan Martin. Usia kami tidak jauh berbeda. Jadi tidak ada alasan bagi kami untuk merasa segan dengannya. Dia paling malu kalau ditanya berapa lama dia bepergian sebagai backpacker dan kapan dia ke Belanda.

“Untung kamu tanyanya sekarang saat saya sudah memutuskan untuk kembali ke Belanda dalam waktu dekat, Jadi saya tahu harus jawab apa,” katanya. Dia sudah 8,5 bulan keliling dunia. Heu Irii.

“Sebelum-sebelumnya kalau ada yang tanya saya bingung mau jawab apa, soalnya saya bepergian lama sekali dan saya tidak berencana untuk pulang,” katanya. “Lalu kenapa sekarang kamu memutuskan untuk pulang?” Dia hanya menjawab sederhana. “Hmm Mudah karena saya hampir kehabisan uang,” katanya. Saya juga bingung bagaimana dia bisa membiayai perjalanannya padahal dia belum bekerja dan baru lulus kuliah.

“Selama kuliah saya ambil beberapa kerja sampingan. Uangnya saya kumpulkan buat jalan-jalan,” katanya. Dia sudah mengelilingi setengah dunia sekarang dan dia tidak singgah ke Indonesia. “Bagaimana mungkin kamu sudah sampai di asia tenggara tapi kamu tidak singgah ke Indonesia,” kata saya. Dia hanya menjawab “Efi juga menceramahi saya sepanjang hari kemarin soal ini,” katanya.

Martin sangat baik tapi perfeksionis. Dia sangat peduli dengan hasil gambar di kameranya. Beda dengan saya yang memotret apapun yang menarik tanpa memikirkan estetika. Dia menyuruh saya berhenti berjalan sambil memotret agar hasil potret saya bagus. Tapi saya bilang, bagi saya foto hanya buat kenang-kenangan saya toh bukan fotografer profesional. Dia hanya tertawa.

Di lain waktu dia menawarkan diri untuk memotret saya dan efi. Dia mengambil foto kami beberapa kali sampai saya bosan bergaya. Saya suruh dia mengembalikan kamera saya. “Maaf harusnya saya ambil fotonya agak ke kanan biar komposisinya bagus,” katanya. Dohhh padahal saya tidak peduli. Asal foto kami tampak jelas, saya tidak peduli soal komposisi. “Plis deh Martin jangan terlalu perfeksionis,” kata saya kemudian. Dia juga beberapa kali menyuruh Efi untuk memotret dirinya. Kalau hasilnya tidak memuaskan, dia menyuruh Efi mengulanginya. Dasar.

Dia memajang foto-foto hasil jepretannya di laman facebooknya. Menunjukkan kalau dia sudah ke banyak tempat di dunia. Saya minta dia untuk menulis buku dari perjalanannya. Sayang anak itu selain perfeksionis juga tidak percaya diri. “Saya tidak terlalu bisa menulis,” katanya. Lalu ketika dia tanya apakah saya akan menulis perjalanan saya, Saya bilang pasti. Saya akan tulis di blog dan mungkin koran saya. Dia hanya menjawab, ‘cool’.

Saat saya kesasar di kuil Ta Phorm. Dia meminta Efi untuk kembali ke dalam dan mencari saya. Mereka berhasil menemukan saya yang menunggu tuk tuk di arah yang berlawanan. Saya sangat merasa bersalah karena mereka pasti kelelahan. Bahkan Efi berkali-kali mengeluhkan kakinya yang sakit. Saya mengucapkan maaf berkali-kali. Martin menunjukkan tampang yang tidak marah sama sekali. “Sudah tidak apa-apa kuil tadi memang membingungkan. Kami juga kesulitan menemukan jalan keluar tadi,” katanya menenangkan.

Tapi saya justru merasa bersalah. Kadang lebih baik dimarah-marahi dari pada diperlakukan tetap baik padahal sudah berlaku salah. Tapi begitu Martin si anak baik. Dia juga bahkan membuat saya santai kembali dengan mengajak saya mengobrol basa-basi. Seakan menegaskan kembali kalau dia tidak punya masalah soal itu. Akhirnya di sisa perjalan terakhir saya terus menempel dengan Efi dan Martin tanpa berani membuat jarak. Dari pada saya tersasar lagi heu.

Martin juga tidak masalah ketika harus kembali mengitari kuil untuk memanggil Efi yang terpaksa menunggu di luar kuil karena tidak boleh masuk gara-gara pakai celana pendek. Padahal saya sudah menawarkan biar saya saja yang memanggil Efi dan menyuruhkan diam di pintu keluar kuil. Mengingat dari pintu keluar itu akan lebih dekat ke kuil berikutnya. Tapi dia tidak mau dan menemani saya akhirnya.

Pada Martin saya cerita keinginan saya untuk mendapatkan beasiswa ke Belanda. Dia bilang, “Kamu yakin bisa dapat beasiswa itu?” Katanya. Lalu dia meralat kata-katanya karena dia pikir sudah menyinggung saya. “Maksudnya bukan menganggap rendah kemampuan kamu loh. Maksud aku mengurus beasiswa kan repot,” katanya. Lalu saya jawab, “Ah santai saja. Saya optimis kok. Saya yakin kalau kita benar-benar berusaha pasti kita bisa mendapatkan apa yang kita ingin,” ujar saya. “Iya sih,” katanya. Lalu dia bilang, “Saya doakan kamu bisa dapat beasiswa itu. Kalau kamu bisa ke Belanda artinya saya teman pertama kamu,” katanya. “Kabarkan saya kalau kamu lolos beasiswa itu. Nanti bakal saya samperin ke universitasnya,” katanya. “Aminn”

Ketika sedang menunggu bus yang akan mengangkut kami ke Thailand dini hari itu, saya dan Efi bertemu dengan Eri. Gadis Jepang itu agak mabuk saat berkenalan dengan kami. Dia bilang “Saya suka sekali sake. Saya minum hampir setiap hari,” katanya. Dia menunjuk kakinya yang bengkak. “Ini tandanya kalau saya sudah

kebanyakan minum,” katanya.

Eri tipikal orang Jepang yang begitu giat mengejar apa yang diinginkannya. Dia bilang dia ingin jadi backpacker selama 4 tahun. Kaget. Dan sekarang dia baru sebulan melakukan perjalanan. “Kamu yakin bisa melakukan perjalanan selama itu? Bagaimana kamu bisa membiayainya,” katanya. Bagi Eri uang bisa dicari.

Selama 3 tahun dia bekerja di tiga tempat dalam satu tahun, sebagai operator telepon, penjaga swalayan dan bartender. “Saya hanya punya waktu tidur 2 jam sehari,” katanya. “Saya bahkan tidak sempat menonton TV dan bersenang-senang,” katanya. Makanya dia agak bingung saat saya bicara soal musisi asal Jepang. Lucunya dia tidak begitu kenal. Saya malah lebih banyak tahu.

Tapi dia kenal The Beatles. Itu pun dari sebuah kaset lama yang entah bagaimana ada di kamarnya. “Saya paling suka lagu Imagine,” katanya. Bagi saya kebetulan sekali dia bisa menyinggung The Beatles, karena saya juga sangat menyukai grup band lawas itu. Kami mengobrol sebentar soal mereka sebelum akhirnya mengubah topik.

Nanti kalau dalam perjalanan uangnya habis, dia cukup percaya diri untuk mencari pekerjaan di bar menjadi seorang bartender. “Saya cukup jago meracik minuman. Kalau tidak ya tidur di emperan toko juga tidak masalah,” katanya. Yang penting dia bisa jauh dari rumah selama 4 tahun. Keluarga Eri tidak tahu kalau dia melakukan perjalanan selama ini. Keluarganya hanya tahu kalau dia pergi jalan-jalan, tapi tidak tahu berapa lama dia akan pergi. “Mereka pasti marah-marah kalau tahu. Tapi itu tidak masalah,” katanya.

Dia bilang nanti kalau dia kembali lagi ke Jepang dia akan mencoba menerbitkan buku yang menceritakan tentang perjalanannya ke berbagai negara. “Saya juga ingin membuat sebuah bar kecil,” katanya.

Sementara Pablo backpacker asal Prancis berpikir kalau sepeda dan skateboard adalah rumahnya. Dia melakukan perjalanan sepanjang Amerika dengan sepedanya. Dia bisa hemat ongkos. Tapi ketika berkunjung ke Asia Tenggara dia

tidak membawa sepedanya. Tapi sebuah skateboard. “Dengan ini mobilitas saya tidak akan terganggu,” katanya.

Keluarga Eveil Nomade lebih parah lagi. Mereka benar-benar hidup nomaden sebagai backpacker sambil membawa serta anak-anak mereka. Ketika banyak orang yang mempertanyakan betapa tidak tetapnya hidup yang mereka jalani, mereka hanya menjawab santai. “Dulu di zaman purba manusia hidup nomaden. Apa bedanya dengan sekarang,” katanya.

Martin dan lainnya, mengingatkan saya dengan Daniel, tokoh di film The Way. Ketika dia memutuskan untuk tidak melanjutnya kuliah kedokterannya dan memutuskan untuk menjadi backpacker ke seluruh dunia. Dia bilang, I live the life i choose. Not just the life I live in.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page