TUKANG CURIGA
- Fitria Andayani
- May 26, 2012
- 2 min read
Dulu saat kecil, saya pernah baca sebuah cerpen di majalah bobo. Saya lupa judulnya. Tapi saya masih ingat sekali ceritanya. Ini soal seorang anak kecil yang suka sekali berbohong. Sekali dua kali kebohongannya dipercayai. Tapi kemudian, orang-orang mulai muak. Mereka mulai meyakini bahwa setiap ucapan yang keluar dari anak itu adalah kebohongan. Suatu saat ketika dia betul-betul mengatakan kebenaran dan membutuhkan bantuan, tidak ada yang bisa percaya. Tidak ada yang mau membantunya.
Di Jakarta cerita itu bergaung di mana-mana. Di setiap sudut kota. Hampir setiap hari, saya yang pengguna angkutan umum massal ini mendengar cerita-cerita sedih dalam beragam versi. Pernah dua orang laki-laki naik ke metromini. Tanpa malu mereka mengaku bahwa mereka adalah pengidap HIV-AIDS. Mereka bercerita bagaimana mereka mendapatkan penyakit itu. Katanya terlular lewat jarum suntik bekas pakai. Lalu mereka mulai ceramah soal penyakit itu. Bla bla bla. Sehabis itu menyodorkan tangan dan meminta sumbangan. Meyakinkan? Ya. Percaya? Tidak semudah itu.
Di lain hari seorang laki-laki naik ke atas bis kota. Dia pasang itu muka memelas. Dia bilang dia butuh uang. Sang adik sakit keras dan dia butuh biaya untuk operasi dan cuci darah. “Saya mohon bantuannya karena saya tidak mau kehilangan adik saya. Sekedar 1.000 rupiah mungkin tidak berharga bagi anda. Bagi saya itu berarti untuk menebus obat adik saya,” pintanya. Meyakinkan? Ya, Percaya? Tidak semudah itu.
Pernah pula saya temukan seorang ibu dengan seorang bayi. Dia letakkan itu anak di pinggir trotoar beralaskan selembar kain. Lalu dia duduk dipinggir trotoar dan melempar wajah sedih ke arah pengemudi motor yang melintas di jalanan macet daerah Kuningan, Jakarta. Saya tidak bisa mendengar apa yang dibicarakannya. Teredam oleh suara raungan jalanan. Dari gerakan mulutnya saya bisa paham. “Tolong, anak saya sakit,” katanya. Meyakinkan? Ya. Percaya? Tidak semudah itu.
Untuk semua adegan itu saya hanya tutup mata. Saya juga sumbat kuping saya. Tapi saya merasa bersalah. Bagaimana kalau mereka benar-benar butuh bantuan? Bagaimana kalau saya yang salah paham. Terlalu curiga. Dosa.
Tapi Jakarta ini benar-benar penuh pura. Saya tidak tahu mana yang harus saya percayai. Saya bisa saja kasih itu duit bangsa 1000 atau 2000. Tapi bagaimana kalau mereka bohong. Saya sadar, meskipun mereka tidak pakai cerita-cerita bohong itu, mereka tetap saya butuh uang. Saya yang diberi rezeki lebih semestinya bantu saja. Tapi saya terus melakukan hitung-hitungan rasional di pikiran saya.
“Dengan umur segini, kondisi fisik sebaik ini, pikiran yang sesehat itu, mereka masih bisa mengusahakan sebuah pekerjaan. Tapi mereka tidak melakukannya. Bila mereka benar-benar berbohong dan saya beri mereka uang, saya malah menjadi seperti orang bodoh. Meskipun mereka merasa lega bisa dapat uang. Mereka sekaligus merasa hebat karena sudah berhasil mengelabui saya.” Apa saya benar? Tidak sepenuhnya begitu.
Apa yang harus saya lakukan? Saya hanya bisa berpegang dengan persepsi matematis saya. Wanita dan orang tua, sama dengan Ketidakmampuan dan kerapuhan, sama dengan sejumlah rupiah. Sedangkan tukang pinta berkelamin laki-laki, muda, dan tampak kuat, sama dengan malas, sama dengan nol rupiah. Pengamen bersuara merdu, sama dengan membeli karya seni, sama dengan beberapa Rupiah.
Well saya manusia, saya makhluk yang mudah curiga. Saya warga kota besar, saya warga yang mudah curiga. Mereka tinggal di Jakarta, Saya tinggal di Jakarta, Kami tinggal di tempat yang penuh pura-pura, Kami mudah curiga.
Comments