top of page

LAMPAU : KISAH MAHASISWA KERE DAN JURUSAN NERAKA

  • Writer: Fitria Andayani
    Fitria Andayani
  • May 27, 2012
  • 9 min read

Sebut saya pembosan. Begitulah saya. Makanya setelah selesai SMA, yang hanya ada dipikiran saya adalah mencari kuliah yang benar-benar sesuai dengan minat saya. Kuliah yang tidak akan membuat saya bosan karena saya benar-benar menyukai menu pelajaran yang ditawarkan. Lalu di lembar pendaftaran SPMB hanya ada dua pilihan kuliah yang saya tuju. Matematika dan komunikasi. Di samping menulis, saya memang menggilai matematika. Tapi Tuhan sepertinya lebih setuju saya mendalami kekuatan kata.

Saya kemudian diterima di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Saya memilih Unpad tidak asal unjuk saja. Sebelum menentukan pilihan untuk belajar di sana saya terlebih dahulu melakukan sedikit pencarian fakta. Saya tidak mau menggadaikan jiwa saya selama sekitar 4 tahun berkuliah di tempat yang salah.

Lalu mengapa Unpad. Pertama karena hanya Unpad satu-satunya universitas negeri saat itu yang menyediakan jurnalistik sebagai sebuah jurusan. Bukan sekedar mata kuliah di jurusan ilmu sosial dan politik atau komunikasi. Sebagai jurusan, tentu ilmu jurnalistik akan dikupas lebih dalam dan lengkap. Namun ada faktor lain yang membuat saya semakin yakin untuk kuliah di fakultas tersebut.

Ini soal hitung-hitungan duit. Unpad saat itu, menawarkan uang kuliah yang cukup murah. Padahal UI, ITB, atau UGM mulai memasang tarif gila-gilaan. Di Unpad saya hanya perlu keluar uang Rp 850 ribu. Seharga itu saja saya masih sering kewalahan membayar. Apalagi kalau lebih dari itu. Kemudian di sana lah saya berada, menjadi mahasiswa Unpad.

Selamat datang di neraka

Di Fakultas Komunikasi, mahasiswa baru tidak langsung bisa masuk ke jurusan yang mereka sukai. Terdapat empat jurusan di fakultas ini, yaitu hubungan masyarakat, manajemen komunikasi, perpustakaan, dan jurnalistik. Namun jurusan tersebut baru bisa dipilih pada semester ketiga. Kecuali jurusan perpustakaan yang bisa dipilih sejak awal masuk fakultas tersebut.

Di awal kuliah, tiga jurusan lainnya dicampur jadi satu. Tentu, mahasiswa hasil SPMB dengan mereka yang jalur masuk khusus berbeda kelas. Sama dengan universitas lainnya, Unpad juga memasang banyak jalur masuk komersial untuk menjaring mahasiswa kaya lebih banyak. Katanya sih uang tersebut akan disubsidi silang bagi mahasiswa kere macam saya yang lulus lewat SPMB. Jadi saja tahun itu, jumlah mahasiswa fakultas ini paling banyak sepanjang sejarah. Sampai seribu orang mahasiswa.

Di semester awal, kami hanya diberikan kuliah dasar yang cakupannya sangat luas. Dari pelajaran bahasa Indonesia sampai agama. Hukum hingga politik. Kami praktis hanya menyinggung komunikasi hanya di bagian permukannya. Di bagian yang dangkal. Bosan. Saya bahkan sempat merasa salah jurusan. “Kalau begini lebih baik saya ambil jurusan matematika saja,” keluh saya. Niat mempelajari lebih jauh soal jurnalistik, saya malah harus dicekoki dengan teori-teori yang saat itu saya pikir tidak akan ada gunanya.

Semangat baru tumbuh ketika tiba saatnya menentukan pilihan jurusan. Saya sudah yakin dengan pilihan saya untuk memilih jurusan jurnalistik. Namun tidak dengan sebagian besar teman-teman saya. Banyak di antara mereka yang masih meragu. Sebelum saatnya menentukan jurusan yang akan diambil dalam Kartu Rencana Studi (KRS), ketiga jurusan tersebut mengumpulkan seluruh mahasiswa dan melakukan presentasi di depan mereka.

Setiap jurusan memiliki cara yang sama sekali berbeda dalam mempresentasikan diri. Jurusan Humas melakukan presentasi yang sangat ceria. Mungkin karena jaket jurusan mereka berwarna merah cerah. Gambaran seorang humas yang memang semestinya bisa melayani dengan tersenyum dan berpakaian sangat baik.

Sementara jurusan manajemen komunikasi, menunjukkan diri sebagai jurusan yang ramah. Tidak terlalu meriah seperti humas. Namun mereka menampilkan profil yang mengesankan kepintaran dan wibawa. Saya sempat hampir tergoda masuk ke jurusan itu, karena dia punya jaket dengan warna kesukaan saya saat itu, ungu.

Lalu tibalah presentasi jurusan jurnalistik. Jreng…. Jreng…. Jreng. Belum apa-apa para dosen yang melakukan presentasi hari itu memasang tampang sangar, sarkastis, sinis, muram, sebut saja semua hal buruk di dunia. Memang begitulah keadaannya saat itu. Plus….. mereka punya presentasi yang membuat depresi.

Para dosen menceritakan bagaimana sulitnya menjadi seorang jurnalis. Bagaimana mereka harus berjuang mendapatkan sebuah berita yang bagus, bahkan harus mempertaruhkan nyawanya. Berikut dengan sederet daftar fakta angka tentang jumlah jurnalis yang meregang nyawa saat meliput berita. Bagaimana profesi tersebut sangat dekat dengan penjara, hinaan, cacian, kemarahan, sebut semua hal buruk yang ada di dunia.

Mereka menunjukkan kalau jurnalistik adalah profesi yang penuh tekanan akibat garis mati yang terlalu pendek. Atau betapa merananya seseorang yang menjadi wartawan karena gaji yang terlalu rendah. Jadi ingat pertama kali saya mengutarakan niat saya untuk masuk ke jurusan jurnalistik ke ibu saya yang sudah almarhum. Beliau bilang. “Kamu yakin mau jadi jurnalis? Jurnalis tidak punya banyak uang. Memangnya kamu bisa beli komputer canggih dari gaji sebagai jurnalis?” katanya. Saat itu, komputer masih jadi barang langka, harganya mahal sekali di kota kecil asal saya, Bukittinggi. Namun untungnya beliau bukan orang yang menghalangi anaknya untuk mendapatkan apa yang mereka mau, asal mereka benar-benar yakin. Dan saya berhasil meyakinkannya.

Ah ya, balik ke presentasi jurusan, para dosen juga menjelaskan bagaimana profesi tersebut memperjuangkan sebentuk idealisme di tengah masyarakat yang hedonis. Jurusan yang saat itu, terkesan sinis, sombong, sarkastis, dan keras. Jurusan tersebut juga diartikan sebagai sebuah pembangkangan akan kemapanan. Tampak dari ciri khas mahasiswanya yang pakai jeans belel, sepatu kets usang, kaos bladus, bau, kusut, sebut semua hal buruk yang ada di dunia.

Presentasi itu tak ayal menyurutkan niat ratusan mahasiswa. Seorang teman yang sebelumnya bersemangat untuk masuk jurusan jurnalistik merasa terintimidasi setelah menyaksikan presentasi tersebut. “Sepertinya Humas lebih cocok buat saya,” katanya. Dengan kata lain dia ingin bilang. “Saya tidak akan menyia-nyiakan hidup saya untuk jurusan bodoh itu,” begitu kira-kira.

Yang bertahan kemudian hanyalah 110 mahasiswa dari seribu lebih mahasiswa yang ada saat itu. Jumlah paling minimal yang bisa dijaring. Sementara Humas dan Mankom punya mahasiswa empat sampai lima kali lipatnya. Tujuan jurusan tercapai. Memangnya untuk apa bikin presentasi semengerikan itu, tentu hanya untuk menakut-nakuti. Sehingga jumlah mahasiswa bisa ditekan serendah mungkin dan perkuliahan bisa berjalan dengan lebih efektif. Lebih sedikit lebih baik, itu mottonya.

Lalu yang seratus sepuluh orang mahasiswa itu terpetakan dengan baik dan sesuai perkiraan, mereka setipe. Terutama dalam cara berpakaian mereka. Hanya dua orang mahasiswa jurnalistik yang saya kenal dulu yang berpakaian sangat ‘Humas’, tapi memutuskan bergabung di jurusan jurnalistik. Dan mereka tidak mengubah gaya berpakaiannya selama 4,5 tahun penuh, meskipun di sekelilingnya adalah mahasiswa bau.

Seorang bernama April yang selalu berpakaian serba pink, padahal warna jaket kebesaran kami adalah biru. Seorang lagi ada Yuniar, yang terobsesi dengan bentuk badan ideal dan sangat update dalam berbusana. Namun yang pasti saat itu, mereka benar-benar menyukai jurnalistik. Seperti sejumlah mahasiswa lain di dalamnya termasuk saya.

Sejumlah lainnya tertarik karena mereka tidak perlu membeli sepatu berhak tinggi atau celana bahan sangat licin yang jadi ciri khas Humas. Mereka tidak perlu bersolek bahkan mandi hanya untuk datang kuliah ke kampus. Sebagian lainnya, memantapkan hati untuk masuk ke jurusan jurnalistik karena mereka tidak akan merasa aneh karena bisa bicara dengan bahasa – bahasa rumit dan bahasan teori-teori ngejelimet yang membuat mereka merasa tersisih dari kaum populer. Atau bicara soal ketuhanan tanpa dimaki menjadi seorang atheis.

Namun yang menarik adalah sejumlah teman saya yang memutuskan untuk masuk jurusan jurnalistik karena tak kuasa menahan pesona ketua himpunan mahasiswa jurnalistik saat itu. Yah…. saya akui ketua himpunan itu sangat tampan dan berkarisma. Oh ya, jangan lupa kalau dia pintar bermain musik. Makanya banyak perempuan di jurusan jurnalistik yang klepek-klepek. Bicara soal perempuan, di angkatan saya memang banyak sekali. Porsinya 60 : 40 dari laki-laki. Bahkan seorang dosen agak kaget melihat komposisi penghuni jurusan saat itu, “Sebelumnya jurusan ini dipenuhi banyak laki-laki,” katanya. Berterima kasihlah pada sang ketua himpunan.

Sibuk… Sibuk…

Perkuliahan dimulai seperti yang dibayangkan. Kuliah di jurusan ini memang agak bikin ketar ketir. Selain tugas membaca dan review buku yang selalu ada setiap minggu. Kami juga kerap dibebani tugas praktek yang kerap membuat kami tidak sempat tidur. Mata kuliah yang sering menjadi momok tapi sekaligus paling berguna di jurusan jurnalistik adalah kuliahnya Pak Sahat Sahala Tua Saragih (STS). Kami bahkan bikin fans club-nya setelah lulus kuliah, hanya untuk berterima kasih karena dia sudah mengajarkan kami banyak hal.

Bahkan menurut saya, kuliah yang diberikannya adalah yang paling mendekati kenyataan dengan dunia kerja. Ini karena dia praktisi. Mantan wartawan di Sinar harapan dan Media Indonesia. STS memberikan sejumlah kuliah penulisan. Mulai dari penulisan feature hingga pembuatan berita mendalam. Setiap minggu, dia memberikan tugas mengkaji buku yang berkaitan dengan kuliahnya dan menyuruh kami untuk liputan ke lapangan.

Dulu adalah sebuah kebanggaan ketika hasil liputan yang kita buat dibacakan dan dibahas oleh STS di depan kelas. Beberapa kali karya saya dibahas dan dicoreti dengan tinta merah. Tapi kadang diapresiasi baik. STS sejak tahun kami memang tidak lagi mengecek tugas mahasiswa satu per satu. Berhubung dia semakin tua dan memiliki lebih banyak tanggung jawab. Dia tidak hanya mengajar di kelas reguler tapi juga ektensi. Oh ya dan D3.

Terbayangkan berapa banyak murid yang harus dia hadapi. Meskipun telah dibantu oleh satu asisten, tetap saja dia tidak sempat. Biasanya setiap akhir semester, STS membawa pulang tumpukan kertas tugas yang menggunung dari mejanya dan membawanya dengan angkot carteran ke rumah. Kertas-kertas itu dijual ke tukang loak.

STS bagi saya tidak hanya membantu saya mengerti cara menulis yang baik. Dari kuliahnya saya juga diyakinkan kalau ini memang jurusan yang benar-benar saya inginkan. Jurnalistik kemudian saya pahami tidak sekedar penyaluran hobi, tapi pilihan hidup. Ilmu ini yang akan saya pakai untuk ‘hidup’. Saya selalu percaya membuat uang dari kegiatan yang benar-benar saya sukai adalah sebuah anugerah. Lantas semuanya tidak hanya soal uang, tapi ‘passion’.

Sebenarnya bukan hanya STS, ada sejumlah dosen tua lainnya yang mampu membuat saya menyukai jurusan ini. Pak Aceng yang mengajarkan soal penulisan berita pendek dan fotografi. Pak Dede Mulkan yang akrab dipanggil Pak Dekan, yang mengajarkan soal jurnalisme televisi. Selain itu, Ibu Pandan yang mengajarkan jurnalisme radio.

Mata kuliah manajemen televisi, adalah mata kuliah yang paling menarik selain kuliah-kuliah STS. Pak Dekan juga seorang praktisi televisi. Meskipun daftar pengalamannya di televisi tidak terlalu luar biasa, tapi setidaknya dia punya cara mengajar yang tidak membosankan. Di mata kuliahnya, saya belajar tentang bekerja sama dalam tim. Kami disuruh untuk membuat feature televisi, membuat video klip, atau sebuah program berita lengkap. Ini sangat menyenangkan dan menantang. Saya cukup bangga pernah dapat penilaian yang cukup baik sebagai pembawa acara televisi.

Jurnalisme radio juga sangat mendebarkan. Kami pernah diwajibkan membuat satu paket program berita radio, air magazine. Di sana saya belajar menjadi pewarta radio. Dengan motto, bila tape recorder tiba-tiba rusak, mati lah kau. Pengalaman ini cukup membantu saya, ketika harus magang di salah satu kantor berita radio.

Memang banyak mata kuliah menyenangkan di jurusan jurnalistik. Tapi tidak sedikit yang membosankan. Banyak kuliah teori yang kadang tidak relevan dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Atau teori komunikasi yang seharusnya diperlukan saat menjadi jurnalis namun disajikan terlalu dangkal. Sementara sang dosen tidak berhasil memadukannya dengan baik dengan dunia jurnalistik yang sangat dinamis dan berkembang sangat pesat.

Bahkan kadang saya geram dengan dosen-dosen muda yang tidak mampu menyajikan kuliahnya dengan baik. Berhubung mereka memang bukan praktisi. Kebanyakan mereka tidak terlalu mengenal dunia jurnalistik karena habis kuliah mereka kuliah lagi. Atau bekerja di dunia yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jurnalistik.

Makanya gambaran soal jurnalistik pun minim. Mereka hanya berpatokan dengan sejumlah diktat-diktat kuliah lama dan buku-buku kadaluarsa yang dianggap alkitab untuk mengajari kami. Akan lebih baik bila jurusan ini dihuni lebih banyak dosen yang punya pengalaman yang cukup di dunia jurnalistik.

Tapi dari pada mengumpat, lebih baik saya habiskan waktu saya di perpustakaan untuk mendalami kuliah tersebut. Mengandalkan dosen untuk memberikan ilmu yang lebih pada anda hanya akan sia-sia. Cukup bagi saya mereka sebagai pemberi tugas dan pengawal kurikulum. Saya pelajari dengan cara saya.

Mahasiswa Kere

Satu hal di jurusan jurnalistik yang membuat saya betah. Kami sangat dekat satu angkatan. Mungkin memang masih ada kelompok-kelompok pertemanan kecil di dalamnya. Tapi entah bagaimana, kelompok tersebut bisa melebur dengan mudah saat kami sedang berlabel mahasiswa jurnalistik. Mungkin ini gara-gara orientasi jurnalistik (OJ).

Ah sebut saja ospek. Di pertengahan semester, OJ diadakan bagi mahasiswa jurnalistik yang baru bergabung. Di OJ kami ‘dibantai’. Panitia OJ biasanya berusaha untuk menampilkan bagian sangar dari sebuah ruang redaksi media. Kami dicaci maki, dihina, dimarahi, atas pekerjaan liputan kami yang dianggap tidak akan pernah sempurna.

Selalu ada celah untuk disalahkan. Padahal saat sekarang sudah benar-benar bergabung di media, suasana suram macam itu tidak saya temui. Setidaknya pengalaman itu membuat kami senasib sepenanggungan. Hanya untuk mendapatkan sebuah jaket biru, kami harus mati-matian menahan amarah. Kakak angkatan adalah dewa. Makanya selepas OJ, itu jaket biru tidak pernah di lepas sampai seminggu sesudahnya.

Rasa kekeluargaan itu pula yang bisa membuat saya bertahan di jurusan tersebut. Sudah saya bilang kalau saya mahasiswa kere kan. Hidup saya bergantung pada beasiswa saat itu. Atau honor menulis lepas saya di sebuah koran lokal. Atau bayaran atas sejumlah karya tulisa saya yang menang perlombaan.

Namun saat semua uang gratisan itu tak kunjung turun dan orang tua tak punya apapun untuk digadai. Saya terpaksa memasang topeng dengan derai air mata di depan dekan untuk meminta penundaan pembayaran. Tapi bahkan derai air mata pun tak mampu meluluhkan hati dekan, saya akhirnya terpaksa meminjam uang dengan teman satu jurusan. Saya sebenarnya tidak benar-benar meminjam, mereka yang menawarkan saya untuk meminjam uang mereka.

Bahkan seorang teman meminjamkan satu set komputer lengkap dengan printer agar saya tidak perlu lagi membuat tugas di tempat rental komputer. Komputer itu mungkin sudah tua, namun itu adalah barang termahal yang pernah saya miliki saat itu. Bahkan kosan saya yang sangat murah di Jatinangor tampak lebih mewah setelah keberadaan computer tersebut. Betapa saat itu saya menginginkan sebuah komputer.

Selain bisa menekan pengeluaran saya. Saya juga bisa punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas. Saya kemudian bisa membuat tugas kapan saja, tidak perlu bergantung dengan jam tutup dan buka tempat rental. Komputer itu menemani saya sampai skripsi saya beres. Bahkan sampai sekarang. Terima kasih untuk wartawan Detik.com yang paling berdedikasi, Ramdania El Hida. Peluk.

Lalu saat masa-masa kuliah tersebut tuntas, yang tinggal hanya rindu. Kami seangkatan masih sering bertemu, meskipun tidak lengkap. Kebanyakan dari kami sekarang bertemu di lapangan. Sama-sama menjadi pewarta. Tapi tidak sedikit yang memilih karir lain, seperti pegawai bank atau marketing. Mereka adalah orang-orang yang kemudian benar-benar sadar kalau dunia jurnalistik tidak akan membuatmu orang kaya. Tapi sekali lagi, buat saya ini bukan soal uang. Ini soal passion.

Comments


Leave feedback
Recent Posts

© 2023 by DO IT YOURSELF. Proudly created with Wix.com

bottom of page