top of page

TERLEWATKAN! MATAH ATI

Baru-baru ini pertunjukan Matah ati digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Sayangnya saya tidak sempat menonton. Padahal ingin sekali. Sebelumnya, pertunjukan ini cuma digelar di luar negeri. Tepatnya di Singapura. Sekarang saat ada kesempatan menyaksikannya di Jakarta, saya malah tidak bisa hadir. Dua tahun lalu saya hanya punya kesempatan buat menyaksikan penampilan pendek Matah Hati jadi tidak terlalu puas. Tidak terlalu menikmati karena ditonton sambil sekaligus liputan.

Sayang tidak bisa menonton sendratari ini, padahal pementasan Matah Ati tidak asal-asalan dan dipersiapkan dengan matang. Ide, konsep dan naskah karya tari Matah Ati ditulis oleh Bandoro Raden Ayu (Bray) Atilah Soeryadjaya yang merupakan cucu Mangkunegara VII yang lahir dan dibesarkan di dalam lingkungan istana Mangkunegaraan. Tentunya berdasarkan kisah nyata dari nenek leluhurnya sendiri. Atilah juga merangkap sebagai konseptor, sutradara, dan produser. Namanya sudah tidak asing lagi di lingkungan budayawan. Ia dikenal sebagai pecinta, pemeran, dan pelestari budaya Indonesia khususnya budaya Jawa.

Selama 2 tahun, Atilah menulis naskah Matah Ati dengan studi ekstensif melalui riset kepustakaan, napak tilas, dan wawancara langsung. Semua usaha tersebut dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang rinci dan fakta-fakta akurat tentang kisah RM Said dan Rubiyah. Judul “Matah Ati” diambil dari nama Rubiyah setelah dipersunting Raden Mas Said, yaitu Raden Ayu Kusuma Matah Ati atau Raden Ayu Kusuma Patah Ati. ‘Matah Ati’ atau ‘Patah Ati’ dalam bahasa Jawa berarti ‘meladeni hati’. “Ini adalah sebuah pertunjukan sendratari bernarasi kisah cinta yang luar biasa namun diungkapkan melalui seni tradisional,” ujar Atilah ketika saya wawancara dua tahun lalu.

Matah ati menampilkan keagungan dan perjuangan sebuah kerajaan melalui sudut pandang anggota kerajaan yang seringkali dilupakan yaitu para wanita. Selama ini banyak orang yang berpikir bahwa perempuan di Jawa tidak dihargai selayaknya laki-laki. “Namun itu salah,” ujar Atilah. Ternyata sudah sejak dulu ada pasukan wanita di Jawa. “Perempuan yang mampu mengangkat senjata dan mengimbangi kekuatan Belanda,” ujarnya. Dalan cerita ‘Matah Hati’, perempuan bukanlah dianggap sebagai pemuas nafsu para lelaki seperti yang dipercayai para kaum partriarki. “Wacana tersebut bukanlah warisan budaya tradisional Indonesia. Namun wacana yang dihembuskan para kompeni,” ujarnya.

Matah Ati juga mengajarkan masyarakat agar senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Bahwa satu hal yang selalu menguji persatuan bangsa adalah pengkhiatan dan sejarah pengkhianatan paling buruk selalu berasal dari tubuh sendiri. “Kenyataannya, pasukan Belanda yang dihadapi oleh Raden Mas Said adalah orang Indonesia pengecut yang bersembunyi dalam pakaian penjajah,” katanya. Pengkhianatan semacam ini pula yang dihadapi oleh Cut Nyak Dien atau Pangeran Diponegoro dalam perjuangannya mempertahankan kedaulata negara.

Riset tentang kisah ini bukan perkara mudah. Kenyataannya, literatur tentang Rubiyah sangat sedikit. “Kisahnya kebanyakan saya dapatkan dari seorang profesor sejarah asal Michigan, Amerika yang memperdalam sejarah kerajaan Solo,” tuturnya. Keterbatasan tersebut juga membuat Atilah mengolah data yang ada dengan memasukkan gagasan-gagasan tambahan. Demi mendukung adegan per adegan, sehingga kisah nyata ini menjadi sebuah tatanan cerita dan pentas seni yang utuh.

Atilah dan tim-nya bahkan menyempatkan diri untuk berkunjung ke makam Rubiyah untuk mendapatkan sejumlah fakta sejarah. “Bukan dengan maksud klenik namun untuk mendapatkan kedekatan dengan masa di mana Rubiyah pernah hidup dulu,” katanya. Alhasil, dalam pementasan tersebut, penonton bisa melihat sebuah formasi unik saat Rubiyah dan 40 pasukan wanitanya berkumpul. Formasinya membentuk setengah lingkaran. Ini sesuai dengan tata makam Rubiyah yang dikelilingi oleh makam prajurit-prajuritnya dalam bentuk setengah lingkaran.

Salah satu riset dilakukan dalam penggunakan kostum tari. “Kami menggunakan pakaian dan persiahan kuno milik kerajaan Mangkunegaran,” tutur Atilah. Terutama untuk kostum dua pemeran utama yaitu RM Said yang diperankan oleh Fajar Satriadi dan peran Rubiyah yang diamanahi pada Rambat Yulianingsih. Selain dari istana Mangkunegaraan, Atilah juga menggunakan batik-batik tua dan aksesoris koleksi almarhum disainer Iwan Tirta.

Sedangkan kostum penari lainnya kebanyakan menggunakan kain-kain baru yang penggunaannya disesuaikan dengan sejarah. “Jangan sampai kostum yang digunakan menyimpang dari cara berbusana masyarakat pada masa tersebut,” katanya. Meskipun demikian, terdapat pengembangan kostum yang dilakukan atas dasar keperluan pementasan. “Misalnya kain batik yang dijahit menjadi rok agar tidak repot saat berganti kostum,” ujarnya. Kecuali untuk karakter Rubiyah yang kostumnya tetap dijaga keaslian material dan cara pakainya. Karakter ini membutuhkan 5 kali ganti kostum dan riasan. “Kami latihan berkali-kali hingga bisa menemukan cara yang pas agar tidak memakan waktu lama saat berganti kostum,” jelasnya.

Riset mendalam juga dilakukan pada gerak tari yang ditampilkan. “Kami berusaha untuk tetap menjaga esensi gerak tarian Mangkunegaraan,” ujar koreografer Matah Ati, Eko Supendi. Gerak tari Mangkunegaran menurutnya membutuhkan ruang gerak yang lebih luas. “Tidak sama dengan gerak tari Surakarta yang lebih halus,” ujarnya.

Namun tarian tradisional ini dicampur dengan gerak tarian kontemporer seperti Kapoeira dan silat. Ada pula gerak khas yang berasal dari kekayaan ekspesi gerak para penari muda. Perkawinan seni tari tradisional dan gaya kontemporer dijejaki untuk menunjukkan penggabungan nilai-nilai masa lalu dan masa kini. Selain itu, kekuatan dan kemantapan kualitas suara para pemain dalam menembangkan puisi-puisi Jawa adalah bagian tak terpisahkan dalam pertunjukan ini. Dalam sendratari Jawa, suara dan tubuh telah menjadi sebuah kesatuan.

Ketika manggung di Singapura, pertunjukan ini melibatkan Jay Subiakto selaku penata artisitik. Dia bertanggung jawab dalam membentuk suasana, tata panggung, warna, dekorasi, riasan, pencahayaan, efek panggung sampai kostum. Jay menghadirkan sebuah konsep luar biasa dalam penataan panggung yaitu meramu sebuah pertunjukan dengan koreografi dan musik tradisi yang berdasarkan sejarah dengan sentuhan kontemporer. Hasilnya, sebuah kesenian yang berbasis tradisi bisa tampil menarik dengan menggabungkan teknolgi panggung dan cahaya masa kini tanpa merusak pakem tradisi itu sendiri.

Pada sendratari tersebut, Jay melakukan sejumlah terobosan,salah satunya dari jenis panggung yang digunakan. “Saya terapkan panggung yang kemiringannya mencapai 15 derajat,” tutur Jay. Panggung tersebut sempat membuat syok para penari dan koreografer sendratari itu. “Mereka sempat kesal, tapi saya minta mereka mencoba dulu,” kata laki-laki yang kini berusia 49 tahun itu.

Jay tahu betul kalau para penari akan kesusahan menari di atas panggung miring tersebut. Namun Jay merujuk pada pengelaman sebelumnya. “Panggung tersebut pernah saya gunakan pada sebuah fashion show, dan para model yang menggunakan sepatu high heal tak mengalami masalah,” tuturnya. Sementara para penari dalam sendratai tersebut semuanya tanpa alas kaki. “Sehingga seharusnya daya cengkram kaki akan lebih baik,” ujarnya.

Panggung tersebut digunakan Jay agar seluruh gerak dan formasi tarian indah yang dihadirkan dalam Matah Ati bisa disaksikan dengan leluasa oleh para penonton “Dari depan panggung hingga balkon gedung pertunjukan,” katanya. Selain panggung yang miring, Jay juga menerapkan sistem sling untuk pertunjukan tari yang melayang. Jay juga menghadirkan efek-efek khusus seperti efek panah saat adegan peperangan yang mencengangkan. Membuat pertunjukkan berdurasi 1 jam 30 menit dengan 20 adegan itu tak akan membosankan.

Konsep panggung, cerita, dan kostum yang tidak main-main ini memang sengaja dibuat biar bisa memikat masyarakat dalam negeri. “Selama ini orang-orang Indonesia senang melihat sebelah mata terhadap karya seni asal negeri sendiri,” tutur Jay. Padahal karya seni yang dihasilkan tidak kalah dengan milik seniman luar negeri.. “Mereka menganggap orang-orang luar negeri adalah guru dan kita muridnya,” tuturnya. Sementara karya negeri sendiri dikomentari dengan kejam walaupun kualitasnya tak jauh berbeda dengan milik seniman asing.

Ini juga sebabnya mengapa, Matah Ati ditampilkan pertama kali di Singapura. Matah Ati juga merupakan karya tari pertama yang dipentaskan di Theater Hall Esplanade Singapura. Kemudian dilanjutkan di negara-negara eropa. Kalau sudah dipentaskan di luar negeri, harapannya orang Indonesia bakal semakin tertarik nonton pertunjukan ini. Pada kasus saya, saya tidak datang bukan karena mandang remeh loh. Tapi memang tidak punya waktu huhuhu. Tahun depan kalau ada lagi, I’ll save the date. Promise!

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page