top of page

BERTAHAN DI PASAR MALAM


Lapangan itu sepi. Beberapa tenda yang dibangun di atasnya belum dibuka. Sejumlah wahana permainan usang berdiri diam dengan cat terkelupas di sana sini. Sampah – sampah sisa semalam belum juga dibersihkan. Masih empat jam lagi sebelum senja. Para pedagang dan operator wahana memilih tidur agar bisa terjaga hingga tengah malam nanti. Sambil berharap hujan tak datang berkunjung sehingga merusak peruntungan di pasar malam kali ini.

Yah butuh peruntungan untuk bisa bertahan di bisnis pasar malam. Bisnis ini sudah tidak menggiurkan lagi seperti puluhan tahun lalu.”Sudah mati suri,” ujar Anasrullah (40 tahun). Laki-laki yang mengelola pasar malam Aneka Ria itu, menatap nanar seonggok karosel tua di hadapannya sambil menghela nafas. “Tidak seperti 12 tahun lalu,” katanya lagi. Dulu tak ada dalam kamusnya kata ‘sepi’. Setiap malam selalu ramai. Orang-orang menunggu-nunggu kapan pasar malam berikutnya digelar di daerah mereka. “Dulu kami bak artis masuk kampung. Senang sekali rasanya,” katanya.

Sejarah pasar malam di Indonesia memang cukup panjang. Dibawa sejak ratusan tahun lalu oleh para pedagang Cina yang datang ke Indonesia sambil menjajakan keramik atau rempah-rempah. Pasar malam pertama tercatat di Chang’an salah satu kota terbesar di zaman Dinasti Sui di Tiongkok kuno. Di zaman tersebut, penyelenggaraan pasar diatur secara ketat oleh kekaisaran. Hingga pada 965 di zaman Dinasti Song, kekaisaran menghapuskan larangan berdagang setelah tengah malam.

Di Kaifeng muncul pasar malam yang diadakan sampai pagi hari. Pasar malam seperti ini dikenal dengan istilah pasar hantu karena hanya ada di malam hari macam hantu. Kebiasaan ini kemudian membudaya dan menyebar ke kota-kota lainnya di seluruh Tiongkok. Pasar malam kemudian sampai ke Indonesia dan lazim ada di daerah beriklim tropis lainnya. Menjadi hiburan satu-satunya dan diserbu ratusan pengunjung setiap malamnya.

Namun masa-masa itu tak ada lagi, pasar malam memang masih dikunjungi namun tidak seramai dahulu. Kini masyarakat punya banyak pilihan hiburan. “Mereka bisa membawa anak-anak mereka untuk bermain di mall atau dufan. Atau membelikan anaknya playstation,” lirihnya. Tak ayal bila jumlah pengunjung semakin menurun. Akhirnya, para pengelola pasar malam terisisih. Berebut lapak di daerah pinggiran. Berharap masih ada yang tertarik menaiki kereta mainan karatan yang ketinggalan jaman atau bianglala yang berderit seram saat dinaiki.

Tidak hanya urusan pengunjung yang semakin sedikit, tanah juga jadi persoalan. Pengelola pasar malam lainnya Jack Kurniawan (34 tahun) pun mengeluhkan sulitnya menemukan lokasi untuk menggelar pasar malam. “Jakarta sekarang semakin sempit,” katanya. Lagipula tidak semua tanah kosong bisa digunakan sebagai tempat pasar malam. “Banyak hal yang harus diperhitungkan saat memilih lokasi. Apakah di tempat itu cukup bagus prospek pengunjungnya atau tidak,” katanya.

Kalaupun ada lokasi yang pas, mereka harus berebut dengan sekitar 20 grup pasar malam yang umumnya berasal dari Minang atau Tanah Batak. Meskipun hasil dari pasar malam tidak terlalu menggiurkan, namun pebisnis pasar malam justru semakin banyak. “Persaingan semakin ketat sekarang,” katanya. Hal ini pula yang membuat perizinan menjadi lebih sulit.

Bila ingin lancar, mereka mesti menyiapkan uang pelicin untuk mengurus izin mulai dari RT hingga aparat keamanan. “Semakin banyak uang pelicin, semakin cepat izin diberikan,” katanya sambil bersungut kesal. Bayangkan saja, untuk menyelenggarakan pasar malam, setidaknya mereka membutuhkan uang sekitar 20 juta di awal. “Bahkan kadang, uang pelicin tidak menjamin izin bisa dikeluarkan. Kami perlu lobi lagi. Padahal apa susahnya menerbitkan izin. Di negara ini semuanya dipersulit,” katanya.

Mereka juga harus membayar izin pada organisasi masyarakat setempat. Ini menurutnya penting, bila tidak ingin ada keributan di pasar malam. “Mereka harus dibayar. Meskipun mereka tidak benar-benar memberikan keamanan pada kami,” katanya. Tetap saja banyak preman yang datang hampir setiap malam untuk meminta jatah. “Mereka akan lebih sering datang bila pasar malam akan tutup. Para preman memalak pedagang agar bisa diberikan kaos atau jaket gratis,” katanya. Masalah preman membuat banyak pengelola pasar malam enggan untuk mendirikan pasar di Bekasi. “Di sana organisasi masyarakatnya tidak bisa diajak kerja sama dan lebih sering merusak,” katanya.

Pendekatan dengan masyarakat di luar organisasi kemasyarakatan pun hukumnya adalah wajib. Bukan berita baru, pasar malam dijadikan sasaran amukan warga. Umumnya mereka mengeluhkan rusaknya ketentraman tidur mereka akibat musik yang diputar terlalu kencang di pasar malam. Mereka juga tidak menolerir tingkah laku pekerja pasar malam yang bergenit-genit dengan warga sekitar. “Bahkan dulu, pasar malam saya nyaris dibakar warga karena seorang pekerja menggoda istri orang,” katanya.

Meskipun demikian, memang masih ada warga seperti Aline yang senang membawa anak-anaknya untuk berkunjung ke pasar malam. “Mumpung ada hiburan di dekat rumah yang murah, kenapa tidak dimamfaatkan,” katanya. Atau seperti Ridwan yang membawa tiga anak laki-lakinya untuk menaiki bianglala. Meskipun datang dengan mengendarai mobil. “Biar mereka tahu, hiburan rakyat itu seperti apa. Lagipula bagus juga buat saya, bisa nostalgia,” katanya sambil tergelak.

Bersambung …..

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page