top of page

DEMI KEBEBASAN

Bertaruh rezeki di pasar malam harus siap jauh dari rumah. Para pedagang dan pekerja di pasar malam harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak ada kata pulang bagi mereka. “Sulit untuk memiliki tempat tinggal tetap. Setiap 20 hari kali harus pindah tempat,” kata Cecep (28 tahun), ketua pekerja di kelompok pasar malam Putra Mandiri. Alhasil, setiap malam mereka harus menghabiskan malam menyeka dingin di dalam tenda.

Cecep bahkan membawa serta istri dan anak-anaknya ke mana pun, kelompok pasar malamnya menggelar hajat. Mereka terpaksa tidur bersesakan di dalam tenda kecil seadanya, beralaskan terpal. “Tak jarang mereka mengeluhkan keadaan tersebut. Namun mereka mengerti pekerjaan saya,” katanya. Bahkan sang istri turut membantu pekerjaan Cecep dan ikut berjualan di pasar malam. “Ada suatu saat nanti ketika saya ingin menetap. Namun sejauh ini hanya ini yang bisa saya kerjakan,” katanya.

Selain harus berdamai untuk tidur di dalam tenda, para pedang dan pekerja pasar malam harus melakukan kegiatan wajib seperti mandi dan buang air dengan menumpang di rumah masyarakat setempat. Masyarakat tidak menyediakan jasa tersebut dengan cuma – Cuma. “Biasanya kalau mandi dan buang air kami harus bayar Rp 2.000, kalau mencuci sekitar Rp 5.000,” tutur pekerja pasar malam lainnya, Heru (19 tahun). Lalu bagaimana bila tiba-tiba mendadak ingin buang air di tengah malam. Ketika tak ada lagi warga yang bisa menawarkan jasanya. “Kalau kepepet buang air di lapangan,” katanya.

Meskipun terasa sulit, namun bekerja di pasar malam memberikan kompensasi tak ternilai yang bisa mereka dapatkan dalam hidup mereka. “Kebebasan,” sahut Supriyanto (30 tahun), pekerja pasar malam asal Cirebon. Mereka hidup bagai gipsy yang tidak pernah menetap di satu tempat. Hidup tenpa beban apapun meskipun dalam keterbatasan. “Kami bisa bekerja sekaligus bersenang-senang. Kami tidak terikat,” ujarnya.

Bagi Supri, dibanding pekerjaan yang pernah dilakukannya sebelumnya, hanya di pasar malamlah dia merasa betah. Di sini dia bisa merasakan kenikmatan diperlakukan sebagai manusia. Tidak ada kata-kata teriakan perintah dan makian yang diterimanya. Mereka diterima apapun latar belakang mereka. Tidak peduli apakah mereka bekas narapidana atau orang baik-baik. “Di sini semuanya bekerja bagai saudara,” katanya.

Memang demikian, jauh dari rumah, membuat para pedagang dan pekerja tinggal bersama seperti saudara. “Bila ada masalah kami pecahkan bersama,” kata Cecep. Para pekerja tidak berasal sari satu daerah yang sama. Terkadang arogansi daerah masih terasa di tengah para pekerja. Sehingga bukan hal mudah untuk menyatukan mereka. “Setiap seminggu sekali, saya kumpulkan para pekerja untuk mengungkapkan isi hati masing-masing agar tidak ada rasa kesal yang dipendam,” katanya. Dengan demikian, hubungan mereka bisa terjaga dengan baik dan harmonis.

Mereka pun melakukan sejumlah kegiatan hiburan bersama-sama. Sekedar menghabiskan waktu bosan. “Kami berolah raga bersama, main sepak bola atau voli,” katanya. Kadang menghabiskan waktu sepanjang malam usai mematikan wahana dan musik dihentikan. Mereka mengobrol dan bercanda sambil menyesap rokok terakhir mereka malam itu. “Namun saya tidak perbolehkan mereka minum-minum. Kegiatan itu hanya akan menghabiskan gaji mereka yang tidak seberapa,” katanya. Cecep juga menganggap kebiasaan itu bisa menganggu ketenangan masyarakat dan kualitas pekerjaan mereka.

Para pekerja pasar malam punya tanggung jawab yang besar untuk memastikan keamanan wahana yang digelarnya. Kecelakaan bukan hal baru bagi pasar malam. Beberapa waktu lalu, puluhan ABG dan anak-anak mengalami luka-luka akibat ambruknya ayunan ombak di sebuah pasar malam yang digelar di Siantar, Sumatera Utara. Sedangkan di Semarang Tengah, seorang anak tewas akibat tertimpa wahana permainan helikopter putar yang terlepas.

Umumnya usia sejumlah wahana di pasar malam mencapai 5- 10 tahun. Saat mulai tua, kerusakan adalah hal wajar dan penampilan buruk tak jadi soal. Makanya para pekerja harus memastikan wahana yang tua tersebut bisa tetap beroperasi dengan optimal. “Kami melakukan pengecekan terhadap wahana tersebut setiap hari. Beberapa jam sebelum pasar malam dimulai,” kata Supri.

Pekerja bertanggung jawab mengecek kondisi diesel dan baut. “Bila ada baut yang longgar harus dikencangkan. Biasanya setelah digunakan beberapa hari, baut-baut tersebut akan mulai longgar,” katanya. Sementara pengecekan keseluruhan dilakukan saat pasar malam telah selesai. “Kami menyisihkan sebagian keuntungan untuk merawat wahana. Kemarin kami habis sekitar 5 juta untuk melakukan pengecatan dan pengencangan baut,” ujar Anas.

Tugas mereka tidak sampai di sana saja, pekerja harus bisa mengawasi pengunjung yang menaiki wahana. Bukan hal mudah untuk mengorganisir anak-anak yang tidak sabar menaiki wahana atau berlari-larian di lingkungan pasar malam. Misalnya saja, suatu kali ada anak yang tertabrak kereta api mainan atau terjatuh dari karosel. “Untungnya sampai sekarang belum ada yang meninggal dunia sepanjang saya mengadakan pasar malam,” kata Anas lagi. Namun menurutnya, bila kecelakaan terjadi, pengelola pasar malam akan bertanggung jawab sepenuhnya. “Kami akan biayai sampai sembuh,” katanya.

Sedangkan di kelompok Pasar Malam Putra Mandiri, mereka bahkan melakukan selamatan di hari pertama pendirian pasar malam. “Mungkin gara-gara itu, selama ini tidak pernah ada pengunjung yang jatuh atau mengalami kecelakaan lain. Selain para pekerja sejauh ini melakukan pekerjaan mereka dengan baik,” kata Cecep. Dia menambahkan, kebebasan yang mereka temukan di pasar malam, tak berarti membuat mereka manusia yang tidak bertanggung jawab. “Semuanya harus seimbang,” katanya.

Selesai ……

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page