top of page

THE CARDIGANS TANPA THE CARNIVAL

Banyak kursi kosong di tribune. Hanya sedikit yang menjajal area festival. Lengang. “Mengapa banyak bagian kosong di depan panggung?” sahut Nina Persson yang malam itu tampil mistis dengan jubah hitamnya pada para penonton. Tennis indoor senayan yang biasanya bisa menampung lebih dari lima ribu pengunjung, hanya dipenuhi kurang dari setengahnya. Namun keadaan ini tak lantas membuat mood Nina dan teman-teman satu band-nya, The Cardigans, menguap.

Malam itu, Nina tetap menawarkan suara khasnya yang membius. Peter Svensson dan Magnus Sveningsson menunjukkan kemampuan mengocek gitar dan bass mereka yang memukau. Energi yang membuncah juga ditampilkan Bengt Lagerberg lewat pukulan drum-nya. Lars-Olof Johansson tak ketinggalan dengan permainan keyboard-nya yang ciamik. Tampaknya, setelah selama enam tahun vakum bermusik, grup band asal Swedia yang terkenal di 1990-an ini tak mau menyia-nyiakan momen reuni mereka di konser yang bertajuk Gran Turismo itu. Membuktikan bahwa mereka adalah musisi yang masih pantas menerima pujian.

Meskipun kemampuan bermusik mereka masih sama, namun jeda selama enam tahun membuat konser tersebut sedikit kaku. The Cardigans, membuka konser mereka dengan muram. Ketimbang memilih lagu yang menghentak, mereka menampilkan “Paralized” sebagai lagu pertama. Lagu tersebut tak cukup familiar, berlirik tentang kematian, dan bertempo lambat. Ditambah semua kursi kosong dan pakaian mereka yang serba hitam, tak ayal membuat suasana terasa membosankan.

Untungnya hal ini tak berlangsung lama. Seiring dengan didendangkannya hits mereka “Erase and Rewind” mood konser mereka kembali naik. Penonton mulai bernyanyi bersama. Disusul lagu-lagu lain yang diambil dari album “Gran Turismo” seperti “Explode”, “Higher”, dan “Marvel Hill”. Suasana konser semakin hangat saat Nina melantunkan ‘Starter’ sembari memainkan pianika. Diikuti “Hanging Around” yang dibawakan dengan menonjolkan kepiawaian Peter bermain gitar.

Lalu lagu yang ditunggu-tunggu pun hadir. Saat intro “My Favourite Games” dimainkan, penonton serentak memberikan sambutan yang meriah. Tepukan tangan, hentakan kaki, dan koor nyanyian dari penonton yang tak putus hingga lagu tersebut selesai, tak ayal mencairkan kekakuan yang ada di awal-awal penampilan mereka. “Do You Believe” dan “Junk of the Hearts” juga dimainkan sesudahnya.

Suasana semakin cair, ketika The Cardigans membawakan “For What It’s Worth”. Nina menanggalkan pakaian hitam-hitamnya dan berganti dengan tunik warna-warni cerah. Dia pun menunjukkan kemampuannya memainkan harmonika di lagu tersebut. Sesudahnya, para awak Cardigans mulai melempar candaan dan menyanjung penonton Jakarta yang begitu antusias.

Magnus bahkan mengeluarkan kamerannya dan memotret para penonton di hadapannya. Sementara para penonton tidak bisa memotret penampilan panggung The Cardigans dengan bebas karena promotor konser, Loud, tak mengizinkan pentonton membawa masuk kamera. Sedangkan fotografer media hanya boleh memotret aksi panggung di tiga lagu pertama. Ketika pertunjukan belum memanas.

The Cardigans tampaknya tidak ingin histeria malam itu hilang, “Lovefool” pun akhirnya dimainkan. Lagu mereka yang paling familiar, paling terkenal, dan paling melintas zaman. “Lagu ini ada sejak abad ke-19, berlanjut ke abad ke – 20. Selanjutnya akan tetap ada hingga abad ke-21, ke-22, dan selanjutnya,” ujar Nina bersemangat. Gedung konser pun seakan bergoyang. Penonton hanyut terbawa melodi “Lovefool” yang ceria dan liriknya yang unik.

Membawa penonton bernostalgia ke masa-masa remaja mereka. Maklum, kebanyakan penonton The Cardigans malam itu adalah mereka yang kini telah berusia 23 tahun ke atas. Para fans yang ikut tumbuh bersama dengan idolanya. “Dulu kami masih berusia 20 tahun saat memulai band ini pada 1992, tapi sekarang sudah 40-an. Tentunya banyak yang terjadi dan berubah,” ujar Nina.

Setelah mengajak penonton bernostalgia, The Cardigans membawakan lagu dari album terakhir mereka pada 2005, yaitu “Super Extra Gravity”, “I Need Some Fine Wine, dan You Need to be Nicer”. Di penghujung konser, The Cardigans kembali menggoncang panggung dengan salah satu lagu popular mereka populer, “Rise and Shine”.

Sayangnya, konser tersebut tak mencapai klimaks. The Cardigans kembali melakukan kesalahan seperti di awal membuka konser mereka. Lagu “Communication” dipilih sebagai penutup. Meskipun di masanya, lagu ini terbilang popular, namun temponya yang lambat membuat mood konser yang sudah cukup tinggi kembali jatuh. Bahkan The Cardigans, tidak mau repot-repot mengakhiri lagu tersebut dengan sekedar menambah gemuruh drum atau mempercepat petikan gitar untuk membuat akhir yang membekas dan klimaks. Mereka menyudahi lagu tersebut seperti biasanya lalu memberikan penghormatan terakhir kepada penonton tanpa berkata-kata. Kemudian hilang ke balik panggung.

Hal tersebut lantas membuat penonton bingung. Banyak yang tak beranjak dari tempat duduknya. Berharap The Cardigans kembali ke atas panggung dan membuat penutup yang lebih megah. Apalagi, The Cardigans belum membawakan lagu hits mereka yang juga sangat ditunggu-tunggu, “Carnival”. Ketimbang meneriakkan “We Want More”, mereka malah meneriakkan “Carnival” berkali-kali. Seakan memohon agar The Cardigans berubah pikiran memainkan lagu tersebut. Namun hal tersebut tidak terjadi. Konser tersebut disudahi begitu saja tanpa kehadiran “Carnival”.

Meskipun sedikit kecewa, namun setidaknya penampilan The Cardigans malam itu telah mengobati rindu yang dimiliki oleh para fans mereka di Indonesia. Setidaknya membuat para fans merasa menaiki mesin waktu dan berlayar melintasi kilasan peristiwa yang pernah mereka alami saat lagu-lagu The Cardigans masih merajai tangga lagu dunia.

Sementara bagi The Cardigans, konser di Jakarta bukan akhir dari tur mereka. Usai di Jakarta, mereka akan menggelar konser di Taiwan dan festival Summersonic di Jepang. Bekerja keras menunjukkan pada dunia bahwa mereka masih ada dan masih akan terus bermusik.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page