top of page

MENANTI JAZZ

Saya tidak mengenal Java Jazz hingga di tahun pertama saya menjadi jurnalis. Ketika itu, magnet java Jazz adalah John Legend. Lucu sekali karena John sama sekali tidak Jazzy, meskipun dia berusaha tampil sedikit nge-jazz malam itu. John memukau memang, tapi yang paling membuat saya menyukai Java Jazz hari itu adalah Manhattan Transfer. Saya langsung jatuh cinta ketika grup vokal itu mulai membuka mulutnya.

Saya tidak pernah mengenal mereka sebelumnya. Saya masuk ke dalam ruang pertunjukan mereka hanya karena Manhattan adalah salah satu special performance saat itu. Dan berhubung saya pakai ID khusus pers, saya bisa masuk ke mana saja, termasuk Manhattan. Saya bahkan tidak tahu lagu-lagu mereka ketika kebanyakan pengunjungnya ‘berumur’ sibuk ikut menyanyi. Tapi bukan berarti saya tidak menikmati pertunjungan mereka hanya karena saya tidak pernah dengar sebelumnya. Saya langsung jatuh hati.

Mereka sebenarnya beraliran swing bukan jazz. Tapi bagi saya yang buta nada ini, kedua jenis musik itu tidak ada bedanya dan saya menyukai dua-duanya. Lagu yang terngiang-ngiang hingga akhir pertunjukan saat itu adalah ‘Corner Pocket’ , ‘ You make me smile again’, ‘Birdland’, dan ‘Java Jive’. Saya benar-benar puas malam itu.

Tahun depannya, pada 2011, penampilan yang paling saya tunggu adalah Sondre Lerche. Dia juga tidak jazzy sebenarnya, tapi saya tergila-gila dengan pria berponi dan bersuara sangat indah ini. Lagu-lagu Sondre bagi saya adalah ‘teman’. Dia bisa bikin saya kembali bersemangat ketika mood saya mulai turun. Sondre itu soundtrack kehidupan saya hahaha lebay.

Pertunjukan lainnya adalah Indra Lesmana. Ini tontonan wajib Java Jazz. Saya suka jazz kopong milik Indra. Terasa Indonesia. Iyalah. Sehabis itu, lihat pertunjukannya RAN yang menyenangkan dan mengingatkan bahwa Hey! saya masih muda hahaha. Java Jazz tahun ini adalah Java Jazz yang paling saya tunggu-tunggu karena ada Manhattan Transfer lagi!!! Dan kali ini mereka tidak masuk dalam pertunjukan utama. Horey.

Sayang hari itu, mereka tidak datang dalam formasi lengkap. Salah satu personilnya, Bentyne sakit dan digantikan Margaret Dorn yang memang sudah lama mereka kenal dan sering juga diajak manggung bila salah satu vokalis perempuan di Manhattan berhalangan hadir. Wajarlah ya, sudah tua-tua mereka. Tapi tetap saja menyenangkan mendengarkan mereka.

Kalau pada 2010 mereka main di ruang yang menyediakan kursi bagi pengunjungnya. Hari itu mereka main di hall lepas. Menghendaki para penontonnya untuk berdiri. Tapi justru set tempat pertunjungan macam ini tidak cocok buat Manhattan. Cocoknya memang raungan dengan tempat duduk. Lah mereka memainkan lagu bertempo lambat. Aksi panggung mereka pun tidak menhentak-hentak. Jadinya agak kurang khusyuk mendengarkannya. Terlebih ketika banyak penonton muda yang berdiri di bagian depan panggung, ketika para penonton tua duduk sembarangan di lantai. Akhirnya mereka diteriaki biar duduk. Saya juga bersemangat meneriaki mereka. Saat itu merasa jadi orang tua juga hahaha.

Klimaksnya Java Jazz bagi saya malam itu adalah G-Pluck Beatles!! Yeyy! Jiplakan Beatles paling keren se-Indonesia. Saya menari kegirangan sampai partner Java Jazz saya paling setia, yaitu adik saya sendiri merasa malu dan menyingkirkan saya ke pinggir lapangan. Well G-Pluck tidak pernah gagal membuat hari saya menyenangkan.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page