top of page

SI BUNGA JAGUNG (1)

Di tengah liputan KTT Asia Cooperation Dialog di Kuwait lalu saya berkenalan dengan wartawan asal Pakistan, namanya Mabosha. “Apa hal yang pertama kali terlintas di pikiran kamu ketika mendengar nama Pakistan?” tanyanya. Saya bilang, Islam, perang, Taliban, dan Malala Yousafzai. Mabosha kemudian mulai dengan dongengannya.

Mabosha cerita banyak soal kekuasaan Taliban di Pakistan. Dari dia saya tahu bahwa media di Pakistan tidak cukup berani untuk menyinggung Taliban. Bahwa Taliban memiliki kontrol yang kuat atas media. Sementara pemerintah Pakistan hanya mampu mengungkapkan gertak sambal saja untuk menghentikan gerakan Taliban.

Taliban mendefinisikan dirinya sebagai kelompok Islam. Bahwa mereka melakukan kekejaman dan kerusakan atas nama Allah dan Rasul. Saya pikir mereka cuma kelompok-orang delusional, terlepas apakah mereka benar-benar kelompok rekaan yang dibuat oleh CIA atau tidak. Mereka berpikir bahwa dunia masih sama seperti ribuan tahun lalu.. Ketika nabi dan para sahabat berperang untuk mendirikan bendera Islam di seluruh dunia dan membasmi orang kafir.

Mereka pikir, dunia saat ini sama dengan ribuan tahun lalu yang tidak mengenal teknologi. Ketika manusia belum sampai ke bulan atau twitter belum mendistorsi cara komunikasi manusia. Dan yang paling mengesalkan, mereka delusional karena berpikir bahwa Islam adalah agama yang senantiasa membatasi gerak perempuan. Seakan perempuan tidak punya hak untuk hidup di dunia kecuali untuk jadi penguasa dapur dan pemuas nafsu belaka. Yang jelas mereka adalah kelompok manusia patah hati yang tidak bisa ‘move on’.

Sama halnya dengan Mabosha, saya makin membenci kelompok ini ketika mereka dengan pengecutnya menembaki Malala, gadis yang abru berumur 14 tahun yang cuma menuntut haknya untuk bisa mendapatkan pendidikan. Perempuan yang menolak jatuh ke jurang kebodohan atau mati tanpa mengutarakan apa yang dipikirkan dan dirasakannya Malala adalah termasuk dalam sedikit orang di Pakistan yang menyuarakan secara lantang penolakannya terhadap Taliban.

Malala mulai terkenal ketika dia diminta mengisi BBC Blog. Blog yang akhirnya mengantarkan Malala kepada ketenaran sebagai perempuan aktivis pendidikan. Sang ayah sadar, bahwa ide membuat blog ini adalah sesuatu yang beresiko. “Namun menurut saya, akan lebih beresiko baginya bila dia hanya diam dan akhirnya menyerah terhadap perbudakan yang dilakukan oleh para teroris dan ekstremis yang kejam,” katanya.

Malala mulai berbicara tentang pendidikan pada September 2008. Ketika sang ayah membawanya untuk berbicara di pertemuan jurnalis lokal di Peshawar. Di sana Malala menyatakan kebenciannya kepada Taliban. “Taliban mengambil hak dasar saya untuk mencicipi pendidikan!” tegasnya. Komentarnya tersebut dikutip dan disiarkan oleh koran dan televisi lokal di seluruh kawasan.

Pada 2009, seorang reporter BBC Pakistan, Abdul Hai Kakkar, meminta sang ayah untuk mencarikan seorang murid di sekolahnya yang mau menulis pengalaman mereka tentang hidup di bawah tekanan Taliban. Saat itu, kelompok militan Taliban, Maulana Fazlullah mengambil alih Swat Valley. Mereka melarang acara televisi, musik, pendidikan untuk perempuan, dan melarang perempuan untuk pergi berbelanja.

Seorang gadis bernama Aisha dari sekolah sang ayah telah setuju untuk menulis untuk di blog BBC atau BBC diary. Namun kemudian orang tua si anak menghentikannya, karena takut sang anak menjadi target kekejaman Taliban. Sehingga alternatif satu-satunya yang dimiliki sang ayah hanyalah Malala. Ketika itu usianya belum genap 12 tahun, 4 tahun lebih muda dari umur sukarelawan yang disyaratkan. Editor BBC setuju untuk menutupi identitas Malala. Dia kemudian nama samaran Gul Makai, yang berarti bunga jagung dalam bahasa urdu. Nama tersebut diambil dari sebuah karakter di dongeng Pashtun Pakistan.

Malala akan menuliskan pengalaman dan apa yang dipikirkannya. Dia akan menulis dalam tulisan tangan dan memberikannya ke reporter BBC Pakistan yang akan men-scan dan mengirim hasilnya lewat e-mail. Blog tersebut menunjukkan masalah psikologis yang dihadapi oleh Malala selama pendudukan Taliban di Swat dan operasi militer yang dilakukan pasukan Pakistan di daerah tersebut. Dan dari blog tersebut saya tidak berpikir kalau Malala adalah seorang aktivis. Melainkan cuma seorang gadis yang mencoba mengungkapkan pikirannya dalam sebuah diary. Dia tidak benar-benar seperti aktivis perempuan semisal Au San Su Kyi atau yang lainnya. Yang turun ke jalan, berteriak, atau sekalian bugil. Malala Cuma gadis kecil dan hal tersebut terlihat jelas dari tulisan-tulisannya di blog itu.

Malala mulai menulis di diary-nya pada 3 Januari 2009. “Saya mendapatkan mimpi buruk kemarin, ketika helikopter militer dan Taliban berterbangan di langit. Saya mendapatkan mimpi itu sejak operasi militer di Swat dimulai. Ibu saya membuatkan saya sarapan dan saya pergi sekolah. Saya sangat takut pergi ke sekolah karena Taliban telah mengeluarkan aturan yang melarang semua gadis untuk datang ke sekolah. Hanya 11 orang dari 27 orang pelajar yang datang. Tiga orang teman saya memutuskan pindah ke Peshawar, Lahore, dan Rawalpindi bersama keluarganya setelah pelarangan tersebut. Dalam perjalanan pulang dari sekolah saya mendengar seorang laki-laki berteriak. “Saya akan membunuhmu!” Saya tidak mempedulikannya dan terus berjalan ketakutan. Hingga tak berapa lama saya melihat kembali ke belakang. Saya lega karena ternyata laki-laki itu sedang bicara di telepon. Dia pasti sedang mengancam seseorang lewat telpon.”

Beberapa hari sebelum pelarangan dilakukan, kepala sekolah meminta Malala dan teman-temannya untuk datang ke sekolah dengan menggunakan pakaian yang tidak mencolok alih-alih mengenakan seragam sekolah. “Saya memustuskan untuk menggunakan baju pink favorit saya. Murid perempuan lainnya juga menggunakan pakaian dengan baragam warna dan sekolah berubah seperti rumah,” tulisanya.

Malam sebelum pelarangan tersebut diberlakukan, Malala terbangun berkali-kali karena suara senjata. Pagi berikutnya, dia bangun terlambat. Namun teman-temannya datang ke rumahnya untuk mendiskusikan pekerjaan rumah. Mereka belajar bersama seperti tidak terjadi apa-apa. Hari itu, Malala juga membaca untuk pertama kalinya kutipan dari blognya yang dipublikasikan di koran lokal. Ayahnya, Ziauddin, menceritakan bahwa ada seorang yang datang padanya berkata bahwa diary tersebut sangat bagus. Namun dia hanya bisa tersenyum dan tidak mengatakan bahwa anaknyalah yang membuatnya.

Setelah pelarangan diberlakukan, Taliban melanjutkan aksinya dengan menghancurkan sejumlah sekolah di area tersebut. Malala kembali menulis kecamanannya dalam BBC diary. “Lima sekolah lagi dihancurkan. Satu di antaranya, berada di dekat rumah saya. Saya terkejut, karena setelah menutup sekolah, apakah mereka juga perlu menghancurkannya?” Namun Malala tidak berhenti memikirkan pendidikannya. Lima hari kemudian di blognya dia mengatakan bahwa dirinya sedang belajar untuk ujian. Ujian tahunan akan dilaksanakan setelah liburan, tetapi hal itu hanya akan terjadi bila para gadis dibolehkan pergi ke sekolah. “Kami diberi tahu untuk tetap bersiap-siap. Kami disuruh membaca beberapa bab dalam buku belajar. Namun saya merasa sangat malas belajar,” katanya.

Dia juga mengritik operasi militer Pakistan beberapa kali dalam blognya. “Apakah pasukan militer Pakistan terpikir untuk melindungi kami? Apakah mereka melakukan operasi militer mereka dengan baik. Jika iya, kondisi ini tidak akan terus terjadi,” katanya. Tak berapa lama, sebagai bentuk simpati, militer Pakistan melemparkan permen dari helikopter namun hal itu tidak bertahan lama. “Setiap kali kami mendengar suara helikopter kami keluar rumah untuk menanti permen, namun hal tersebut tidak terjadi lagi,” katanya.

Malala juga bercerita bahwa peperangan telah mempengaruhi adik-adik laki-lakinya yang masih kecil. Malala menulis, suatu kali adik laki-kakinya yang berusia lima tahun tengah bermain di pekarangan. Ayahnya bertanya padanya apa yang sedang dia lakukan. Dan dia menjawab. “Saya sedang membuat sebuah kuburan.” Dalam perjalanan Malala bersama keluarganya ke Bannu, bus mereka menginjak sebuah lubang di jalan sehingga bus tersebut terguncang keras. Adik laki-lakinya yang berusia 10 tahun terbangun. Dia bertanya pada ibunya. “Apakah sebuah bom meledak?”

(bersambung)

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page