top of page

SI BUNGA JAGUNG (2)

  • Writer: Fitria Andayani
    Fitria Andayani
  • Nov 12, 2012
  • 4 min read

Menyusul hari-harinya kembali normal, Malala menulis lebih banyak tentang kehidupannya. Dari tulisan-tulisannya, seseorang dapat melihat lebih jauh tentang kepribadiannya. Bahwa dia juga seorang remaja yang gemar bermain dan bahkan merindukan seorang pria untuk dicintai. “Sebelum Taliban melarang jaringan TV kabel, saya biasa menonton drama favorit saya di Star Plus yang berjudul Raja Jee Aye Gee Barat (Laki-laki pujaanku akan datang dan menikahiku),”

Pada 15 Februari, kelompok militan dan pemerintah memutuskan untuk berdamai. “Ayah dan ibu menangis, kedua adik saya juga hampir menangis,” tulisnya. 21 Februari, Malala mendapatkan apa yang paling diinginkannya. Pemimpin Taliban, Maulana Fazlulla mengumumkan di staisun radio miliknya, bahwa dia mencabut larangan perempuan untuk merasakan pendidikan dan mereka diperbolehkan untuk datang ke sekolah hingga ujian diselenggarakan pada 17 maret. Namun mereka harus menggunakan burqa.

Pada 25 February, sekolah Malala dibuka kembali. Malala mengatakan bahwa dia sangat menikmati harinya di sekolah seperti sebelumnya. Ketika helikopter belum muncul setiap saat atau diskusi tentang militer dan Taliban belum terdengar. Pada 1 maret, murid yang datang ke sekolah Malala bertambah Dari 19 menjadi 27 orang. Namun Taliban masih aktif di area tersebut.

Hanya dua hari setelahnya, perjanjian damai tersebut putus. Terjadi kontak senjata antara militer dan Taliban dan suara mortal kembali terdengar. Orang-orang kembali takut dan kedamaian tidak bertahan lama. Sejumlah orang berkata bahwa perjanjian damai tersebut tidak permanen. Adik laki-lakinya sangat takut ke sekolah karena dia takut diculik. “Tuhan bahwalah kedamaian di Swat atau kalau tidak bawalah pasukan AS atau Cina ke mari,” tulisnya.

Pada 9 Maret, Malala bercerita tentang tugas IPA-nya yang berjalan baik dan mengatakan bahwa Taliban tidak lagi mencari kendaraan seperti yang pernah dilakukannya. Beberapa bulan kemudian, pada April presiden Asif Ali Zardari menandatangani regulasi kontroversial tentang pelaksanaan hukum Islam. Hal ini membuat Taliban marah. Kelompok militant tersebut kembali beroperasi di kawasan tersebut. Mereka mengatakan bahwa sekarang perempuan tidak boleh pergi bekerja atupun ke pasar. Kemudian pemerintah dan Taliban kembali berperang. Dan pemerintah kembali melakukan operasi militer.

Penduduk Mingora dievakuasi dan keluarga mereka terpisah. Ayahnya ke Peshawar untuk memprotes aksi tersebut. Sementara Malala bersama ibu dan kedua adinya dikirim ke desa di mana sanak saudaranya tinggal. “Saya sangat bosan karena saya tidak memiliki buku untuk dibaca,” katanya. Pada 24 Juli 2009 keluarga mereka kembali bersatu. Setelah mengritik kelompok militant di sebuah konferensi pers, ayahnya mendapatkan ancaman mati melalui radio Taliban.

Suatu kali Malala mengritik ayahnya yang terlalu terobsesi pada misinya untuk mengembalikan kedamaian di Pakistan, hingga melupakan ulang tahunnya dan menuntutnya untuk membelikan es krim untuk miinta maaf padanya. Meskipun demikian, Malala sangat mengerti tentang apa yang dilakukan ayahnya. Dia pun terinspirasi oleh sang ayah. “Saya memiliki mimpi, saya harus menjadi politisi untuk menyelamatkan negara ini. Terlalu banyak tangis di negara kami. Saya ingin menghilangkan tangis itu,” katanya.

Dalam setiap kesempatan, Malala menggaungkan bahwa tujuan utamanya adalah untuk melayani kemanusiaan. “Aku sering sekali berpikir. Bahkan jika mereka membunuhku, Aku akan mengatakan padanya bahwa apa yang mereka coba lakukan adalah salah. Bahwa pendidikan adalah hak dasar seluruh manusia,” tegasnya.

Taliban diketahui memang senang menyerang penduduk yang diketahui bersuara keras menentang kelompok tersebut. Ancaman pembunuhan bagi mereka akan dipublikasikan melalui koran dan diselipkan di antarkan di bawah pintu rumah mereka. Tidak terkecuali Malala. Dia mulai mendapatkan ancaman melalui akun Facebook-nya. Kemudian sebuah rapat, petinggi Taliban setuju untuk membunuhnya.

Keputusan rapat tersebut dieksekusi pada Oktober 201. Seorang anggota Taliban menembak Malala dalam perjalanan pulang ke rumah usai melaksanakan ujian di sekolahnya. Seorang laki-laki bersenjata melompat ke dalam bus yang dtumpanginya. “Siapa dari kalian yang bernama Malala, ayo bicara! Jika tidak saya akan menembak kalian semua!” teriak laki-laki itu. Laki-laki itu kemudian mengenali Mala dan segera menembak gadis tersebut dua kali. Satu di kepalanya, satu lagi di lehernya. Dua gadis lainnya juga terluka dalam peristiwa tersebut.

Mabosha mengisahkan, tak berapa lama setelah kejadian itu, juru bicara Taliban, Ehsanullah Ehsan menyatakan, bertanggung jawab atas serangan tersebut. Mereka menyatakan bahwa Malala adalah simbol dari kekafiran dan kecabulan. Dia menambahkan, bila Malala selamat, mereka akan menjadikan dia target sekali lagi. Mereka juga mengatakan, bahwa Malala telah dicuci otaknya oleh sang ayah. “Kami sudah mengingatkannya beberapa kali untuk menghentikan anaknya menggunakan kata-kata kotor untuk melawan kami. Namun dia tidak mendengarkannya. Dia memaksa kami untuk melakukan tindakan ekstrim tersebut,” ujarnya.

Taliban kemudian mengatakan. “Kami tidak menyerang dia karena dia menyatakan pendapatnya tentang pendidikan, kami menyerangnya karena telah menentang kaum mujahidin dan perang yang mereka lakukan. Dia juga mengatakan bahwa serangan yang dilakukan sesuai dengan agama. “Bahwa Al Quran berkata bahwa orang yang melakukan propaganda untuk melawan Islam dan tentara Islam harus dibunuh. Bahkan jika dia adalah seorang anak-anak,” ujarnya.

Ini adalah tindakan pengecut dan paling kekanak-kanakan. Hanya untuk membunuh seorang gadis kecil, mereka harus membuang-buang peluru? Lalu mereka sebut diri mereka kaum mujahidin? Apa yang mereka bela? Tuhan? Aneh? Seperti yang dikatakan oleh seorang teman kepada saya. “Tuhan itu tidak perlu dibela. Dia punya kekuatan yang sangat besar.”

Lalu apa? Apa hak mereka menghukum seseorang. Tidak ada satu manusia pun yang berhak mengambil nyawa manusia lainnya. Cuma Tuhan yang berhak. Mereka tidak hanya delusional tapi juga maniak darah. Sakit jiwa. Mereka juga semena-mena berlindung dibalik Al-Quran untuk dijadikan pembenaran atas aksinya. Jelas kalau mereka bukan orang muslim yang sesungguhnya. Mereka Cuma fans Allah yang yang hanya suka mencari tahu tentang Islam lewat google. Mereka tidak benar-benar paham agama.

Menanggapi peristiwa tersebut Ayah Malala berkata lantang. “Kami tidak akan meninggalkan negara ini. Meskipun anak kami selamat atau tidak . Kami akan terus memperjuangkan kedamaian di Pakistan. Taliban tidak bisa dihentikan hanya dengan suara independen atau bantuan tentara dan peluru!” tegasnya. Sejumlah anak-anak perempuan di Pakistan pun mengambil sikap. “Setiap gadis di Swat adalah Malala. Kami akan mengedukasi diri kami sendiri. Kami akan menang. Mereka tidak bisa melawan kami!”

Mabosha sendiri berharap Taliban bisa menghentikan terornya terhadap penduduk Pakistan. “Mereka sudah kelewatan,” katanya. Dia menyatakan penyesalan yang besar karena sebagai jurnalis dia seakan tidak bisa apa-apa. Sementara dia tidak bisa berharap banyak pada pemerintah Pakistan. Sedangkan menghendaki ‘pasukan perdamaian’ untuk masuk ke wilayah mereka, adalah keputusan yang tolol. Jadi hanya Tuhan satu-satunya jalan. Semoga Allah mengutuk mereka.

コメント


Leave feedback
Recent Posts

© 2023 by DO IT YOURSELF. Proudly created with Wix.com

bottom of page