top of page

‘PASSION’? VS KAPITALISME

Suatu hari seseorang bertanya. “Sejak kapan kamu ingin jadi jurnalis?”. “Sejak SMP,” jawab saya. Ya… saya menyukai pekerjaan ini sejak lama. Dan sejak lama pula saya sadar bahwa pekerjaan ini tidak akan bisa membuat saya kaya raya. Gaji seorang wartawan tidak akan mampu membeli sebuah merci. Atau sebuah rumah mewah di kawasan elite. Tidak akan mampu memiliki berhektare-hektare lahan. Atau miliaran portofolio di pasar modal.

Saat akan mengambil jurusan jurnalistik di universitas, almarhum ibu saya bahkan menyindir sinis. “Kamu yakin mau jadi wartawan? Kalau jadi wartawan, memangnya kamu bisa beli komputer?” katanya. Komputer saat itu masih jadi barang mahal, apalagi bagi keluarga kami yang bisa makan saja syukur. Tapi karena saya yakin dengan pilihan saya, dia akhirnya tidak menghalangi niat saya.

Saya secara sadar masuk ke bidang ini. Begitu juga dengan sejumlah wartawan ‘benar’ di luar sana. Sebut saya anti kemapanan. Tapi saya pikir ada hal lain di dunia ini selain berharap menjadi kaya raya. Yaitu menjadi seorang yang tahu benar apa yang akan dilakukannya atas hidupnya. Passion*. (*Saya tidak bisa temukan padanan kata ini dalam bahasa Indonesia yang artinya persis sama hehe)

Cuma kata itu yang hingga sekarang saya pegang ketika saya mulai tergiur mencari pekerjaan dengan gaji yang jauh lebih tinggi. Bodoh. Kata itu kemudian jadi semakin berkolerasi dengan ‘Passion’. Bodoh karena kemudian banyak wartawan yang tidak sadar kalau dirinya telah dimamfaatkan oleh para kapitalis.

Michael Moore dalam film dokumenternya, Capitalism A Love Story menyadarkan saya. “Mereka yang begitu mencintai (passion) pekerjaannya secara tidak sadar menjadi mainan para kapitalis,” katanya. Yaaa… saya dan sejumlah wartawan lainnya tidak sadar akan hal itu.

Kami memikirkan kepentingan orang lain, kami dengan senang hati melayani keinginan kantor, kami bahkan mau bekerja hingga 24 jam tanpa dibayar uang lembur. Untuk apa? Hanya satu alasannya, karena kami mencintai pekerjaan kami. Kami berdamai dengan waktu. Kami berdamai dengan fisik sendiri. Sehingga kami sama sekali tidak mengeluhkan berapa waktu yang bisa kami gunakan untuk tidur. Atau berapa uang yang bisa kami dapatkan dari pekerjaan kami.

Tidak ada dalam kamus kami kata ‘lembur’ atau ‘uang lembur’. Kami memaknainya sebagai konsekuensi. Kami tidak mempertanyakannya. Kami percaya konsensus. Kadang kami bahkan mengolok-ngolok rekan sekerja kami yang tiba-tiba banting stir mencari pekerjaan lain demi gaji yang lebih tinggi.

Kami bangga dengan diri kami yang bisa bertahan menjadi wartawan hingga bertahun-tahun. Kami bangga karena telah banyak bertemu orang hebat atau menulis kisah-kisah membosankan tentang negara. Itu juga adalah saya. Hingga saya sadar saat sebuah kantor media memangkas fasilitas untuk reporternya hanya agar mendapatkan penghematan Rp 30 juta per bulan.

Efisiensi. Kata-kata yang indah bagi seorang pengusaha. Bisa melakukan efisiensi dan menjadi untung adalah prestasi. Hanya 30 juta yang mereka inginkan hingga mengorbankan kenyamanan reporternya. Hei, saat ini bukan hal yang gampang mencari wartawan. Tapi banyak pebisnis media tidak terlalu peduli.

Bila tidak suka silahkan keluar dan mereka akan mudah menggantinya dengan tenaga murah tidak berpengalaman yang baru saja menggunakan toga. Mereka toh tidak butuh berita bagus, melainkan tulisan yang bisa mereka pajang di halaman koran mereka.

Kapitalis. Lalu profesi kami berubah dari seorang ‘jurnalis’ menjadi ‘pekerja media’. Kapitalisme juga yang membuat sejumlah media menuntut wartawannya untuk meliput berita-berita iklan dan menggadaikan idealismenya.

Saya bukan pembenci iklan. Saya sadar tidak ada bisnis media yang bisa bertahan tanpa iklan. Tapi ke mana perginya ‘firewall’ (dinding api)? Sebuah garis pemisah antara berita dan iklan. Pemisah berita ‘bersih’ dan berita yang syarat kepentingan. Sumir.

Kemudian kami turun pangkat dengan membodohi pembaca kami. Membuat berita yang seakan-akan berguna untuk mereka padahal kami hanya menggiring opini mereka untuk memilih tokoh politik A atau pemilik perusahaan B.

Kami pion. Pion bagi pemegang saham terbesar di media kami. Pion bagi penguasa yang mampu membayar miliaran rupiah untuk satu halaman koran kami. Pion bagi para redaktur yang mencoba mencari tambahan penghasilan dengan bermain ‘kotor’. Pion bagi nafsu kami untuk dapat nama dan uang ‘sampingan’.

Jadi jangan salahkan bila kemudian Jero Wacik melontarkan pernyataan tidak enak soal wartawan beberapa waktu lalu saat berpidato di depan para karyawan BP Migas. “… Wartawan itu harus diajak bergerak. Wartawan itu, apa yang didengar itu yang ditulis. Kalau trus gak dengar apa-apa dia gak nulis apa-apa (suara hadirin tertawa). Dipengaruhi orang-orang lain itu yang ditulis. Kacau sudah. Kita yang kacau. Tetapi kalau diterangkan sama wartawan ajak makan siang wartawannya, kumpulkan sepuluh orang, terangkan, terangkan, sekali belum mengerti, dua kali, dua kali belum ngerti, lima kali, lima kali belum ngerti, sepuluh kali. Sampai dia ngerti betul. Baru muat. Begitu dimuat, periksa muatannya, sudah benar belum. Kalau mau, kasih hadiah. Kalau gak mau kasih gak apa-apa, tetapi kebangetan (hadirin tertawa gemuruh). Masa, segede BP Migas gak pernah mau kasih hadiah. …”

Well, tampaknya tidak ada lagi yang menghargai profesi ini. Pikiran semacam ini bukan cuma punya Jero, tapi juga banyak orang di luar sana. Kapitalisme yang dilakukan pebisnis media membuat citra wartawan buruk. Sementara banyak wartawan yang akhirnya ikut dalam permainan mereka dan kehilangan idealismenya. Atau seperti saya yang memilih menjaga jarak dengan semua kepentingan itu tapi tetap merasa ingin muntah. Passion. Saya bahkan tidak tahu lagi artinya.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page