top of page

LUCU, EH?

Pertama-tama saya bukan feminis, bukan juga lesbian. Saya juga menulis tulisan ini bukan karena sejumlah orang baru-baru ini merayakan hari perempuan internasional. Saya sendiri sudah berhenti merayakan apapun sejak umur 8 tahun. Saya menulisnya karena saya merasa risih. Tidak nyaman.

Saya bekerja di lingkungan yang mayoritas laki-laki dan hampir setiap hari saya mendengar lelucon ‘ranjang’. Seorang teman dengan santai mengungkapkan kalau dia kemarin bertemu dengan seorang perempuan cantik, molek, bahenol, sexy, sebut semua kata yang bisa membangkitkan birahi di forum elektronik. Lalu dengan menyesal dia bilang kalau tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan perempuan tersebut.

Di lain hari seorang teman laki-laki saya dengan sangat bangga bilang kalau dia siap untuk poligami. Kalau laki-laki seharusnya dilayani oleh dua atau tiga perempuan. Kalau laki-laki beristri itu lebih berpengalaman di ranjang dan lebih matang secara sifat. Dia tidak sadar kalau gaji sebagai wartawan tidak akan cukup memberi makan lebih dari tiga mulut kecuali kalau dia tidak masalah menerima amplop atau mencari duit dengan menjilat ludah pejabat.

Lain harinya seorang teman perempuan saya menyebutkan satu kata yang membuat sejumlah teman laki-laki saya mengasosiasikannya dengan lagi-lagi lelucon ‘ranjang’. Mereka tertawa bersama-sama dan teman perempuan saya merasa tidak punya pilihan kecuali ikut tertawa agar tidak bertambah malu.

Lalu ketika suatu kali saya meliput ke tanah Arab, seorang teman berkata bahwa dirinya senang sekali dapat kesempatan mengunjungi daerah tersebut. Dia bilang perempuan Arab cantik-cantik dan tubuhnya sangat sexy. Teman saya lainnya dengan suka cita mengungkapkan lelucon tentang ‘air mani’ di sebuah forum resmi.

Kemudian saat meliput acara bank sentral di Lombok, pemandu wisata kami mengungkapkan fakta-fakta tidak adil tentang perempuan dan laki-laki sepanjang perjalanan mengunjungi sejumlah tempat di daerah tersebut di dalam bus. Dia tidak sadar dalam bus tersebut, ada dua orang perempuan, saya dan seorang humas bank sentral. Atau dia sadar keberadaan kami, tapi tidak ambil pusing karena menurutnya omongannya benar dan bukan sebuah kejahatan merendahkan posisi perempuan.

Baiklah saya mulai muak dengan semua lelucon sampah ini.

Kami, perempuan, juga suka mengomentari tubuh laki-laki. Tapi perempuan cenderung tidak mengatakannya di depan umum. Jadi tidak ada yang perlu tersinggung. Saya pikir lelucon tersebut hanya pantas diungkapkan di forum sesama lelaki yang bebas nilai dan tidak perlu khawatir menyinggung seorang perempuan bahkan bila mereka bicara dengan sangat ‘telanjang’.

Lucunya adalah ketika mereka membicarakan lelucon tersebut di sekitar perempuan, mereka berharap perempuan tersebut ikut tertawa dengan mereka. Aneh. Bagaimana bisa tertawa bila yang jadi objek tertawaan adalah perempuan? Ketika mereka mengomentari tubuh seorang perempuan, saya juga akan merasa ditelanjangi.

Tapi terkadang, perempuan juga terlalu bodoh dan termakan propaganda sejumlah laki-laki yang sangat bias gender ini. Sejumlah perempuan menertawakan dan menghakimi perempuan lain hanya agar tampak lebih baik di depan para laki-laki. Sebagian lainnya berpikir, konsep bahwa perempuan semestinya menjadi warga kelas dua adalah benar.

Beberapa waktu lalu, seorang pemenang kontes kecantikan di televisi menjawab dengan bodoh ketika dirinya ditanya ‘apa arti perempuan menurut anda’? Dia jawab, ‘perempuan adalah pendamping laki-laki’. Well, secara bahasa tidak ada yang salah. Tapi secara konteks si perempuan ini tampaknya tidak tahu betapa berharga dirinya. Secara tidak langsung dia bilang kalau perempuan diciptakan hanya untuk menemani laki-laki.

Artinya keberadaan dirinya di dunia hanya sebagai pemeran pembantu sementara pasangannya adalah pemeran utama. Bahwa hidupnya tidak begitu berharga asalkan si laki-laki bisa memerankan perannya dengan baik. Sungguh bodoh. Bahkan seorang transgender yang juga diundang ke acara yang sama dengannya bisa menjawab pertanyaan yang serupa dengan lebih pintar. Mereka lebih bisa menghargai posisi perempuan di atas bumi ketimbang perempuan itu sendiri.

Bukan hanya pemenang miss-miss-an ini saja yang cara pikirnya terlalu rendahan. Suatu kali seorang teman dicampakkan oleh sang pacar. Akibat kejadian tersebut dia stres berbulan-bulan dan semakin kurus. Saya khawatir dan menyuruhnya untuk mengisi waktunya dengan mengambil kuliah S2. Dia menolak saran saya.

Dia bilang, ‘Bila saya mengambil S2, maka saya akan semakin sulit mendapatkan suami. Laki-laki akan segan dengan perempuan yang status pendidikannya lebih tinggi’. Di lain hari dia bilang, dia rela meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan ternama untuk pindah ke perusahaan kecil agar pasangannya tidak merasa terintimidasi dengan kemampuannya mencetak uang.

Lucu adalah ketika laki-laki sibuk mencari uang dan tidak punya waktu untuk keluarganya, sejumlah orang akan berpikir bahwa dia adalah suami yang hebat. Namun ketika seorang perempuan yang sibuk mencari uang dan akhirnya menelantarkan anaknya, dia lalu dicap sebagai ibu yang buruk. Saya kadang tidak percaya di dunia yang sudah semakin modern ini, masih ada orang yang berpikirian sekonvensional ini.

Saya tidak menyalahkan mereka yang berpikir seperti ini sepenuhnya. Saya masih percaya bahwa dalam sebuah keluarga, laki-laki tetap harus jadi pemimpin tapi bukan berarti perempuan kemudian harus menanggalkan harga diri dan mimpinya. Bahwa orang lain dan bahkan perempuan itu sendiri berhak menarik batas dan mengekang dirinya. Tidak ada opsi.

Terasa lucu, karena bahkan Tuhan tidak pernah bilang bahwa kedudukan perempuan di bawah laki-laki. Bila seorang laki-laki dan perempuan punya level keimanan yang sama, Tuhan akan sama-sama memberikan surga pada mereka. Tidak ada perbedaan. Jadi, bila Tuhan tidak membedakan jenis kelamin, mengapa manusia justru membuat hal ini sulit? Perempuan dan laki-laki itu saling membutuhkan, jadi cobalah sedikit adil, hei manusia.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page