top of page

#Fiksi #Ranai #2

Pernah dengar kota bernama Venice? Aku pernah. Saat itu Ibu Wayah menunjukkan pada kami peta Eropa. Dia bilang Eropa punya kota-kota yang indah dengan bangunan-bangunan tua yang indah dan jalanan yang bersih. Salah satunya Venice di utara Italia.

Esoknya aku membuka koran ayahku dan menemukan artikel soal venice di rubrik jalan-jalan. Artikel itu dilengkapi dengan foto-foto kota pelabuhan yang indah itu. Kebanyakan jalan di kota itu berupa jembatan dan bangunan-bangunan yang berdiri di atas air. Ah persis seperti Tarempa. Meskipun tampak lebih tradisional.

Pulau Siantan, tempat Tarempa berada, hanya sebuah pulau kecil dengan luas 45,39 km2 . Sekitar 1/2.700 kali pulau Jawa atau 1/9.700 kali pulau Sumatera. Sejak menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas, Tarempa semakin padat dengan bangunan. Hingga hanya menyisakan jalan beraspal dengan lebar tak kurang dari 3 meter.

Akibatnya tak banyak penduduk yang memiliki mobil. Namun hampir seluruh penduduk Tarempa memiliki motor. Hebatnya di Tarempa tidak pernah ada motor yang hilang, meskipun terparkir sembarangan di jalanan. Di pulau yang kecil ini. Tidak ada jalan keluar bagi pencuri. Tidak ada tempat bersembunyi. Kecuali kalau kamu manusia ikan. Bisa bernafas dalam air dan menyelinap pergi meninggalkan pulau tanpa ketahuan.

Tapi mana mungkin ada manusia ikan. Kakekku yang seorang pelaut itu pernah bercerita sih soal manusia ikan. Dia bilang manusia ikan benar-benar ada. Dia akan keluar dari sisi paling selatan Tarempa pada malam bulan purnama. Berjalan-jalan dengan kaki siripnya di jalanan kampung. Dan meninggalkan jejak basah di tanah esok harinya.

Kakek bilang dia pernah melihat manusia ikan pada suatu malam ketika dia baru saja memancang perahunya di pelabuhan. Manusia ikan itu melintas di hadapannya. Kakek kaget sekali. Saking takutnya dia tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Membiarkan manusia ikan itu berlalu masuk dalam kegelapan malam.

Katanya tubuhnya sangat kekar. Dia punya sirip berbentuk bonggol besar yang tumbuh dipunggungnya. Kakinya bersirip. Aku tidak percaya yang seperti itu. Yang benar saja. Sama tidak percayanya dengan manusia serigala, batman, superman, atau putri duyung. Tapi Rui gampang sekali dibohongi. Hampir setiap malam dia meminta kakek menceritakan kisah itu sebelum tidur. Dia tidak pernah bosan.

Lalu saat tidur dia akan menggigau dan mengompol. Paginya dia akan bercerita bahwa dia bermimpi berenang dengan manusia ikan. Ini sering sekali terjadi. Sampai ibu meminta kakek untuk tidak menceritakan kisah manusia ikan lagi pada Rui. Sekarang kakek mengarang cerita lain. Cerita soal Koboi. Sekarang Rui menirukan suara kuda saat menggigau. Berisik sih, tapi setidaknya dia tidak mengompol lagi.

“Ranai… Ranai…,” panggil Ibu Wayah. Sekaligus membangunkanku. Ternyata aku sudah melamun cukup lama. Dia mendekati mejaku dan melihat kertas yang sudah kugambari dengan sosok manusia ikan. Semua murid di kelas memandangiku sambil menahan tawa. “Ibu rasa sekarang bukan pelajaran kesenian. Kami sedang membahas perang Diponegoro Ranai,” kata guru yang punya bekas luka menonjol di bawah mata kirinya.

Seram juga melihat bekas luka itu dalam jarak dekat. Katanya, luka itu didapatkan Ibu Wayah saat berumur 23 tahun. Sekarang umurnya sekitar 50 tahun. Ada yang bilang, luka itu akibat kecelakaan motor. Tapi Satya bilang, luka itu didapatkan Ibu Wayah ketika dia masih jadi agen rahasia. Meski menurutku, Satya aneh, tapi aku percaya padanya. Apalagi dia memiliki bukti.

Katanya dia pernah memergoki Ibu Wayah mengecek semua data kami dan mengobrol dengan masing-masing orang tua murid. Pertanyaannya seputar kebiasaan-kebiasaan kami. “Apa coba kalau bukan agen rahasia namanya? Aku yakin dia pernah melakukan misi yang lebih berbahaya sebelum memutuskan jadi guru. Atau sekarang dia sedang menyamar,” ujar Satya bersemangat saat itu. Dia masuk akal. Meskipun aku tidak percaya dengan cerita manusia ikan, aku menyukai cerita detektif lebih dari apapun.

“Nah Ranai, kapan perang Diponegoro terjadi?” kata ibu Wayah lagi. Lalu menyapu matanya ke seluruh kelas. “Tidak ada yang boleh membantu Ranai,” katanya, sebelum Satya berniat membisiku. Kami duduk berdampingan. Aku benar-benar tidak tahu. Lagian siapa yang peduli kapan perang itu terjadi. Yang penting kan kisah kepahlawanannya. Jadi aku menjawab. “Saya tidak tahu tanggalnya. Tapi saya tahu ceritanya. Pernah dibahas di koran milik Ayah,” kataku.

Aku pikir Ibu Wayah akan terkesan dengan jawabanku. Tapi sepertinya aku salah. Dia malah mengangkat alis kirinya yang tebal, lebih tebal dari milikku. Hingga membuat bekas lukanya makin seram. “Di dalam artikel itu, tidak mungkin tidak ada tanggalnya kan? Tidakkah kau membacanya?” ujarnya. Dia benar, ada tanggal di dalam artikel itu. Tapi hey… aku tidak terlalu pintar matematika, makanya aku suka lupa angka. Jadi aku jawab dengan berat hati. “Saya tidak ingat bu,” kataku.

Dia lalu memandang Satya yang tampangnya tampak ingin muntah karena ingin mengungkapkan jawabannya dari tadi. “Kau boleh beri tahu Ranai, kapan perang itu terjadi,” kata bu Wayah. Dengan sigap Satya menjawab. “20 Juli 1825 bu, perang itu terjadi selama 5 tahun hingga 1830. saat itu pangeran Diponergoro berumur 40 tahun. Dia…..”

“Pintar sekali Satya,” potong Bu Wayah sebelum Satya bercerita lebih banyak tentang kisah kepahlawanan itu. Satya cemberut.

“Baiklah, kapan tanggal lahirmu Ranai,” ujar Bu Wayah lagi. Pertanyaan yang sangat aneh. Ini tidak ada hubungannya dengan pelajaran sejarah. “6 Juni 1998,” kataku. “Hebat sekali, kamu mengingatnya,” tuturnya. Tentu aku ingat ulang tahunku sendiri! Bagaimana aku bisa lupa. Ayah bilang tanggal lahirku sama dengan ulang tahun Bung Karno. Hebat kan!

“Lalu adakah di dalam kelas ini yang tidak hapal tanggal lahirnya?” semua anak terdiam. Tidak mungkin ada yang lupa. Itu tanggal penting. Lagipula kamu perlu mengingatnya untuk dicantumkan di buku tahunan. Atau untuk membuat KTP atau SIM bagi orang dewasa.

“Mengapa kalian ingat tanggal lahir kalian?” lagi-lagi pertanyaan aneh. Diah mengangkat tangan. “Karena setiap ulang tahun mama dan papa selalu memberikan saya hadiah bu,” katanya. “Oya? Mengapa ayah dan ibumu memberikan hadiah,” kata Bu Wayah. “Karena kata mama, peristiwa kelahiran saya adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya,” tutur Diah sambil tersipu.

“Artinya. Kalian maupun orang tua kalian tidak akan melupakan tanggal kalian lahir karena ketika itu ada peristiwa penting terjadi. Ketika mereka resmi menjadi orang tua dan kamu resmi menjadi penduduk bumi. Peristiwa yang sangat bersejarah,” katanya.

Ok? Lalu? Ibu Wayah selalu berbelit-belit. Dia tidak pernah membiarkan kami memahami ucapannya dengan mudah.

“Sama halnya dengan tanggal terjadinya perang Diponegoro. Kita harus mengingatnya karena peristiwa itu sangat penting. Karena tanpa peristiwa itu, Indonesia bisa saja tidak merdeka seperti saat ini,” Bu Wayah menghela nafas.

“Bung Karno pernah bilang, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Kamu akan menghargai pahlawan kalian, ketika kalian ingat tanggal dan kisah perjuangan mereka,” lanjutnya, sambil mengerling padaku.

Hmmm….

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page