top of page

#Fiksi #Ranai #3

Aku tidak pandai bersiul, tidak bisa mengendarai sepeda, tidak berani memanjat pohon, ataupun berenang. “Dasar pecundang,” ujar Halim suatu hari. Yah… dia bolehlah mengolok-olokku. Dia memang pandai bersiul dalam berbagai nada. Dia juga sangat pintar mengendarai sepeda. Dia bahkan bisa mengendarainya dengan satu tangan memegang stang dan kaki dilipat ke samping.

Jangan tanya soal memanjat pohon. Dia bisa memanjat seperti kera. Cepat sekali. Halim juga mampu terjun dari pinggir tebing, lalu bersalto, sebelum akhirnya masuk ke dalam danau dan berenang secepat lumba-lumba.

Sering terpikir menjadi seperti dia. Memiliki kerumunan teman yang berjalan di belakangnya tanpa diminta. Sekelompok penjilat yang hanya ingin mendompleng popularitasnya. Tapi Halim menikmatinya. Sementara aku, cukup punya dua teman yang sama anehnya denganku, Satya dan Rian.

Satya hanya tertarik bicara soal perang-perangan. Soal perang-perang kemerdekaan berbagai negara. Soal perang-perang memperebutkan tanah jajahan. Bahkan perang antara kedua orang tuanya yang terjadi hampir setiap malam. Bagiku aneh saja Satya menyukai cerita perang, karena nama panjangnya, Satyagraha.

Ayah pernah memberi tahuku arti namanya, suatu hari ketika Satya mengunjungi rumahku. “Namamu Satyagraha? Wahh bagus sekali,” ujar ayahku bersemangat. “Kamu tahu artinya?” tanya ayah pada Satya yang menjawab dengan pandangan bingung. Aneh sekali dia bisa tahu cerita berbagai perang yang pernah terjadi di dunia. Sementara dia tidak tahu arti namanya sendiri.

“Kalian pernah dengar nama Mahatma Gandhi?” ujar ayah. Satya mengerutkan dahinya, hingga alisnya seperti menyatu. Dia biasa melakukan itu kalau sedang berpikir. “Ya, Ibu Wayah bilang akan membahasnya sebulan lagi, setelah kami selesai pelajari sejarah Indonesia,” katanya. “Hmm…kalau begitu, biar paman jelaskan sedikit, sebelum Ibu Wayah menjelaskan lebih banyak kepadamu,” katanya.

Ayah mulai bercerita. Dia pandai sekali bercerita. Ayah bisa menganti-ganti suaranya sesuai karakter yang diperankannya. Ayah bilang, Satyagraha adalah sebuah perlawanan yang dilakukan oleh Ghandi dan pengikutnya untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris di India.

“Pemerintah Inggris melarang orang India mengumpulkan atau menjual garam ,” katanya. Mereka hanya boleh membelinya dari pemerintah Inggris dengan pajak yang tinggi. Menurut ayah, perlawanan yang dilakukan Ghandi tidak disertai pukul-pukulan atau tembak-tembakan atau dentuman meriam. Tidak menghancurkan apapun. Tidak ada darah.

Meskipun akhirnya Ghandi dan 60 ribu rakyat India lainnya ditahan oleh tentara Inggris. “Ghandi bukan orang yang suka berperang dengan fisik. Dia yakin bila kita teguh pada kebenaran, maka akan ada penyelesaian dengan cara yang lebih baik,” katanya. Lalu menepuk lembut kepala Satya. “Namamu bagus nak, belajarlah lebih banyak dari Ghandi,” katanya.

Satya diam saja, sampai ayahku meninggalkan kami dan bilang. “Apa hebatnya perang tanpa senjata? Ayahmu aneh, Ghandi aneh,” katanya. Yahh…setidaknya begitu yang dipikirkannya, hingga bulan berikutnya Ibu Wayah menjelaskan panjang lebar tentang peristiwa itu.

Lalu esok harinya di sekolah dia hanya berdiam diri. Dia sama sekali tidak tertarik bicara soal perang lagi. Saat ku tanya, dia hanya menjawab. “Aku sedang meniru Ghandi. Aku akan mogok makan, sampai ayah membelikanku mobil-mobilan baru ,” katanya. Padahal aku tahu dia menyembunyikan sepotong roti di balik seragamnya. Dasar.

Rian berbeda. Dia sangat pendiam. Dia hanya akan mengangkat alis kirinya kalau dia mencurigaiku berbohong. Dia akan cemberut kalau aku dan Satya mulai meminjam PR matematikanya. Dia hanya akan menyerukan “Ohhh” bila kagum. Atau “Ihhh” kalau merasa jijik. “Ehhh” bila tersinggung. Berwajah datar saja bila sedih. Hingga aku tidak bisa paham apakah dia benar-benar sedih atau tidak. Tapi justru karena tidak banyak bicara, aku menyukainya. Dia memilih mengamati kupu-kupu selagi aku dan Satya bermain perang-perangan.

Dia memilih mengamati konstalasi bintang, ketika kami sedang asyik menakut-nakuti anak perempuan. Dia lebih tertarik melakukan eksperimen dari pada membantu kami mengacak-ngacak kebun sayur Koh Lau Tan yang sangat pelit. Rian memang tidak melakukan apa yang kami lakukan, tapi dia selalu jadi bagian dari kenakalan kami. Dia di luar sekaligus di dalam.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page