top of page

MIDNIGHT ‘MADNESS’ SALE

Saya berjanji tidak akan mendatangi Midnight Sale lagi. Midnight Sale yang saya dan kakak saya ikuti minggu lalu di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta akan menjadi Midnight Sale pertama dan terakhir kali saya. Diskon yang ditawarkan saat program tersebut memang luar biasa banyak dan besar. Rugi memang bila tak berbelanja ketika kegiatan itu berlangsung. Tetapi saya kapok. Saya tidak ingin lagi merasa bersalah menjadi bagian dari kegiatan itu.

Semakin malam, pengunjung Midnight Sale semakin ramai dan menggila. Saking sibuk memilih sepatu, seorang ibu misalnya tidak sadar kalau anaknya tak lagi berada di sisinya. Dia baru menyadarinya saat bagian informasi mengulang pengumuman penemuan seorang anak hilang untuk kelima kalinya.

Sejumlah ibu lainnya sibuk mencoba pakaian sementara anak balitanya tergolek kelelahan di lantai pusat perbelanjaan itu. Si ibu lupa kalau saat itu sudah masuk jam tidur anaknya. Ada pula pelanggan yang bergegas mendatangi pusat informasi agar namanya diumumkan di seluruh gedung sebagai pelanggan yang belanja paling banyak malam itu dan berharap koor tepuk tangan dari pembeli lain.

Orang Indonesia itu memang senang belanja. Dari pakaian usang sampai pakaian baru berharga mahal bisa laku keras. Dari barang jelek hingga kualitas super bisa segera terjual ludes. Dari kebutuhan pokok hingga barang tak penting pun bisa habis dengan cepat.

Ketika pertama kali liputan di desk ekonomi, saya disodorkan hasil riset yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi. Saya langsung bergidik. Bagi saya itu seram. Meskipun bagi sejumlah spekulan dan pemerintah, asalkan ekonomi tumbuh, walaupun ditopang konsumsi, tidak jadi masalah. Kenyataannya perhitungan pertumbuhan ekonomi sudah jadi komoditas politik dan dasar spekulasi agar dapat untung besar.

Saat ini, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50 persen dari produk domestik bruto (PDB). Ini bukan postur pertumbuhan yang sehat. Semakin tinggi konsumsi, semakin tinggi resiko yang mungkin dihadapi negara ini. Daya beli sewaktu-waktu bisa menurun, mengingat krisis ekonomi adalah sebuah siklus.

Per lima, sepuluh, dan tiga puluh tahun krisis akan berulang. Ada suatu masa ketika ekonomi Indonesia tidak seimbang dan konsumsi tak bisa lagi menjadi kaki untuk menopang pertumbuhan. Lagipula tidak ada kisah moral di dunia ini yang bilang kalau belanja berlebihan itu ‘sehat’.

Konsumsi yang besar dalam hukum ekonomi sebenarnya ada sisi bagusnya. Semakin tinggi konsumsi dipercaya dapat meningkatkan aktivitas produksi. Sayangnya di Indonesia tidak begitu. Bila konsumsi bisa tumbuh lebih dari 50 persen, pertumbuhan industri manufaktur kurang dari 10 persen. Kegiatan produksi atau penambahan nilai barang berlangsung di luar negara ini. Jadi praktis masyarakat Indonesia hanya jadi konsumen. Hanya jadi pasar.

Konsumsi yang besar ini juga yang bikin inflasi Indonesia tinggi belakangan ini. Jumlah penduduk yang sangat banyak memang praktis membuat konsumsi menjadi tumbuh sangat tinggi. Makin banyak mulut yang butuh makan, makin tinggi kebutuhan akan pasokan pangan dan sandang. Sementara produksi dalam negeri sedikit dan pemerintah tak pandai berhitung, sehingga memaksa dilakukannya impor.

Sebenarnya bila masyarakat Indonesia juga berpikir sebagai produsen bukan hanya sebagai konsumen. Inflasi mungkin tak akan separah ini. Seorang teman menanam alpukat di belakang rumahnya agar dia bisa menikmati buah favoritnya itu sewaktu-waktu tanpa harus membeli di pasar. Teman saya yang lain juga memutuskan untuk belajar menjahit agar bisa memenuhi hobinya yaitu belanja pakaian model terbaru tanpa harus merogoh kantongnya lebih dalam.

Seorang teman lainnya menanam tanaman yang kerap menjadi penyumbang inflasi terbesar di negara ini, yaitu cabai dan bawang. Kini si teman yang suka makan masakan pedas itu tak perlu lagi membeli cabai yang harganya bisa naik berkali-kali lipat menjelang hari besar atau saat panen gagal.

Ada pula teman saya yang memutuskan untuk menginvestasikan uangnya untuk sepetak sawah, berharap beras yang dihasilkannya nanti bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Syukur-syukur bisa dijual. Efi juga berencana pindah ke kota kecil dan membeli sebidang tanah untuk dijadikan kebun. Sehingga dia tidak perlu lagi ke pasar swalayan untuk membeli kebutuhan perutnya. Dia bisa tinggal petik bahan masakan yang dibutuhkan dari kebun itu dan hidup dengan tenang.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page