top of page

SOK BICARA AGAMA, SOK KENAL GEORGE


Saya sebenarnya malas bicara soal agama. Saya bukan pakar. Tapi setelah nonton biografi George Horison : Living in The Material World di TV kabel beberapa waktu lalu, saya jadi sering memikirkan soal ini dan saya ingin menulisnya. Apa sebenarnya yang membuat saya bertahan dengan agama yang saya anut di tengah begitu banyak prasangka yang ditimpakan kepada agama tersebut. Di tengah banyak kekecewaan saya dengan sejumlah orang ‘alim’ yang saya kenal, namun ternyata mendustai agamanya.

Lalu saya pikir alasannya cuma satu. Karena saya percaya Tuhan. Atas segala hal gaib yang terjadi di sekitar saya. Atas segala peristiwa yang tidak bisa dicerna otak saya meskipun sejumlah spekulasi ilmiah berusaha menjadi jawabannya. Atas segala ketakutan saya akan ketidaktahuan tentang esok, lusa, atau hari-hari berikutnya. Atas keengganan saya berjalan sendirian tanpa tahu bahwa ada kekuatan besar yang berusaha menjaga saya dari segala hal buruk.

Saya orang yang optimis. Dan untuk menjadi optimis saya perlu berpikir kalau ada tangan gaib yang mendukung saya di saat tangan-tangan yang nyata sibuk dengan urusannya masing-masing. Seperti George saya percaya bahwa ada hal lain yang bisa membuat saya lebih bahagia dari sekedar memiliki uang, rumah, atau mobil. Kepercayaan saya tentang Tuhan membuat saya merasa aman.

Demi mencari rasa aman itu, George berkelana ke India. Belajar mantra, do’a-do’a, dan sitar. Dia belajar mengenal Tuhan dari cara yang jauh berbeda dengan agama yang disandangnya saat lahir. Dia membandingkan lalu percaya bahwa agama baru itulah media terbaik baginya untuk tetap mempercayai bahkan merasakan keberadaan Tuhan.

Beruntungnya saya tidak perlu jauh-jauh ke India untuk mengenal Tuhan. Saya menemukan Tuhan dari agama yang ‘dipaksa’ menjadi status saya sejak lahir di dunia. Saya lalu mencoba mengenal agama yang dibisikkan ke telinga saya saat bayi itu. Saya pun mempercayainya. Saya tidak mencoba membandingkannya dengan agama lain.

Ada yang bilang saya harus mencari tahu sebelum menjadi yakin. Bilang saya takut, saya menolak gagasan itu. Ya saya memang tidak sepenuhnya yakin kalau saya akan tetap berada di agama saya saat ini bila saya mengenal agama lain. Saya manusia. “Dan manusia takut akan segala hal yang tidak dikenalnya. Segala yang ada di luar dirinya,” kata George. Semudah itu alasannya.

Jadi sama seperti George, karena saya memilih untuk bertahan di sebuah agama saya harus menjalankannya dengan benar. Jadi saya pun melaksanakan ibadah lima waktu, menutup kepala saya, dan kadang menambahnya dengan ibadah sunah. Hanya karena saya percaya Tuhan itu ada.

George pernah ditanya. Saya juga pernah ditanya soal ini. “Bagaimana bila ternyata agama yang Anda anut saat ini bukanlah agama yang benar. Bagaimana bila agama lain yang seharusnya Anda teladani?” George menjawab , “Saya akan mengetahuinya ketika saya mati. Sementara itu saya akan terus memegang agama yang saya pilih dan memuja Tuhan yang saya kenal lewat agama itu. Saya tidak akan menyesalinya,” katanya. Jawaban yang sama akan keluar dari mulut saya.

30 Desember 1999, seorang maniak mendatangi rumah George. Melempari kaca rumah itu dengan batu. George terus melontarkan mantra-mantra, berharap Tuhan membantunya agar orang itu disadarkan dan pergi dari rumahnya. Namun mantra-mantra itu tidak menahannya. Dia mendobrak masuk dan memukuli George dan istrinya. Beruntung polisi datang dan maniak itu dibawa pergi. George hampir kehilangan nyawanya.

“Atas segala yang saya lakukan selama ini. Seseorang malah ingin membunuh saya,” ujarnya sambil membungkam lukanya yang terbuka. Tidak, itu bukan kalimat kekecewaan atas Tuhan atau atas takdir. Dia melanjutkannya. “Karena itu, saya rasa, ini waktunya bagi saya untuk merelakan segala hal yang ada di dunia dan mulai menyiapkan diri saya untuk kehidupan berikutnya di alam lain.” 29 November 2001, George meninggal dunia. Saya penasaran, kebenaran seperti apa yang ditemuinya setelah itu.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page