top of page

LONDON: TUBE, HARRY POTTER, DAN OBELISK

Kereta saya bertolak dari Cambridge pukul 3 sore dan sampai di King Cross Stasiun London 45 menit kemudian. Hal yang pertama saya lakukan sesampainya di stasiun itu adalah, mencari replika peron 9 ¾ yang digunakan untuk syuting film Harry Potter. Tadinya saya ingin dipotret di tempat tersebut.Itu semacam tempat foto wajib bagi para turis, terutama orang Indonesia, terutama pecinta Harry Potter, yang bertandang ke London.Tapi, sesampai di tempat itu, antrian turis yang ingin difoto sangat panjang.Saya tidak ingin menghabiskan waktu dan hanya memotret lokasinya saja.Lagipula saya lebih tertarik untuk datang ke lokasi pembuatan film sebenarnya, bukan replika atau studio.Saya lalu masuk ke official store Harry Potter untuk membeli souvenir.

Selain sepakbola, Harry Potter memang menjadi komoditas dagangan paling laku di Inggris.Souvernirnya gampang dijual, dari kartu pos hingga jubah dan tongkat sihir. Bahkan ada yang rela membayar sekitar 10 pound hanya agar fotonya di depan peron 9 ¾ bisa langsung dicetak. Karena barang-barang yang dijual lumayan mahal, saya hanya membeli beberapa kartu pos dan gantungan kunci untuk teman-teman saya di Indonesia.

Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah tumpangan saya dengan bus.Saya tidak tahu kalau untuk menaiki moda transportasi di Inggris, saya harus menggunakan kartu khusus, Oyster. Tidak bisa menggunakan uang tunai seperti di kota lain. Kartu itu bisa dibeli di stasiun kereta bawah tanah (tube) manapun.Namun berhubung, saya tidak tahu soal itu, tanpa bertanya saya langsung naik ke bus. Supir bus tersebut sangat ramah, dan langsung menyapa saya dengan panggilan “sister”, karena dia lihat saya menggunakan jilbab sebagai identitas seorang muslim.

Dia juga menggunakan peci putih layaknya seorang laki-laki Islam. Saya lalu memberikan uang tunai, namun ditolak. Dia kemudian meminta saya menggunakan kartu debit untuk membayar. Sayangnya teknologi kartu debit yang saya pegang tidak bisa dibaca oleh mesin tap kartu. Karena terlalu lama di depan pintu, si supir akhirnya menyuruh saya untuk duduk saja. Saya bingung, dia bilang saya boleh menumpang sampai

tujuan saya tanpa harus membayar. Dia bahkan berjanji akan memastikan saya turun di halte bus yang tepat. Baik sekali.Saat turun, kami saling mengucap Assalammua’laikum.Awal yang baik untuk memulai perjalanan.

Saya terlalu capek dan langsung istirahat sesampainya di rumah teman. Dia mengijinkan saya menggunakan dan memasak bahan makanan yang ada di lemari penyimpanannya, sehingga saya tidak perlu makan di luar. Berbeda dengan kota-kota sebelumnya, saya meluangkan waktu lebih panjang di London, hingga tiga hari karena saya berasumsi akan banyak hal yang inggin saya lihat.

Esok paginya, tempat pertama yang saya kunjungi adalah Abbey Road.Bagi para penggemar Beatles ini adalah tempat yang harus dikunjungi. Di sini ada zebra cross yang digunakan Beatles sebagai sampul salah satu albumnya. Di tempat ini juga terdapat Abbey Road Studio, tempat Beatles merekam album pertamanya berjudul sama Abbey Road tahun 1969. Setelah membeli Oyster, mengacu pada GPS saya langsung menaiki tube ke stasiun tube terdekat dengan Abbey Road. Bodohnya, saya baru sadar kalau handphone saya tidak bisa digunakan di stasiun tube karena sinyal komunikasi langsung hilang ketika saya berada di bawah tanah.Sementara saya lupa menyimpan hasil pencarian GPS saya agar bisa dibuka sewaktu-waktu tanpa menggunakan internet.Akhirnya hanya bisa berharap dengan peta yang dipajang di stasiun tube dan mengikuti insting saya.

Saya benci berada di bawah tanah, apalagi jauh di bawah tanah.Makanya, berada di stasiun tube London membuat saya gelisah.Kadang saya merasa tidak bisa bernafas bila tiba-tiba membayangkan skenario kalau stasiun ini runtuh.Sejumlah escalator panjang yang berjalan cepat dengan kemiringan 90 derajat yang harus saya gunakan untuk turun atau naik di stasiun tube juga membuat saya khawatir.Bahkan untuk menggunakan eskalator di mall yang tingginya tidak seberapa dan berjalan sangat lambat saja, saya kerap ragu-ragu sehingga sering mempersilahkan orang di belakang saya untuk menggunakan eskalator tersebut lebih dulu, sementara saya mengumpulkan keberanian.

Lebih buruk lagi, saya tidak bisa melihat matahari selama berada di stasiun tube.Tidak ada pemandangan yang bisa dilihat dari balik jendela tube, cuma ada kegelapan.Saya merasa ketakutan padahal tube itu ramai hingga disesaki penumpang.Saya tidak bisa berpikir, sementara berdasarkan peta stasiun perberhentian saya masih jauh. Saya lebih memilih jalan sampai kaki capek atau menggunakan bus sambil muntah-muntah daripada harus berlama-lama di dalam kereta tube.

45 menit berlalu hingga saya sampai di stasiun tube Abbey Road, yang kemudian saya sadar kalau bukan tempat yang saya cari. Saya baru ingat artikel yang baru saja yang baca sehari sebelumnya.Tentang ribuan penggemar Beatles yang mengira stasiun Abbey Road yang baru diresmikan tiga tahun itu adalah stasiun yang paling dekat ke studio the Beatles.Saya tidak pernah berpikir bakal menjadi salah satu di antaranya.Salahkan

tube yang membuat saya tidak bisa berpikir dan harus kehilangan sinyal telekomunikasi saya sehingga tidak bisa mengakses GPS. Saya kemudian harus berbalik arah dan masuk ke dalam tube, lagi!

Saya sampai di stasiun yang benar 40 menit kemudian, yaitu St John Wood.Saya senang sekali bisa kembali melihat matahari.Di luar stasiun saya langsung menemukan café yang menjual souvenir the Beatles dan kopi.Saya hanya perlu berjalan kurang dari 10 menit dari stasiun hingga tempat penyebrangan tersebut. Di sana sudah ramai penggemar Beatles yang menanti kesempatan menyebrang dan difoto. Mereka harus berhati-hati menyebrang karena jalanan tersebut masih aktif digunakan pengguna mobil.Beberapa waktu lalu sempat ada turis yang tertabrak mobil ketika menyebrang. Berhubung saya hanya pergi sendirian, saya memutuskan untuk menyebrang tanpa difoto. Saya sudah cukup senang datang ke tempat itu.

Dari Abbey Road saya melanjutkan perjalanan ke museum Sherlock Holmes.Perlu 40 menit berjalan kaki dari tempat itu.Cukup jauh, tapi lebih baik dari pada saya harus kembali ke stasiun tube.Di jalan saya menemukan Islamic Centre London dan beristirahat sebentar. Islamic Centre ini cukup besar dan aktif digunakan para muslim untuk berbagai kegiatan. Entah kenapa saya merasa pulang. Melihat kubah sambil mendengarkan adzan yang didengungkan lambat-lambat di negara lain itu, terasa sangat melankolis.

Untuk masuk ke museum Sherlock Holmes saya harus membayar 10 pound dan kembali saya memutuskan untuk tidak masuk karena antriannya sangat panjang.Lagipula, itu bukan lokasi sebenarnya, tidak ada rumah dengan nomor 221 B di Baker Street.Jadi saya merasa sayang membuang uang untuk sebuah tur singkat bohongan.Saya akhirnya hanya berkunjung ke souvenir shop dan membeli beberapa pernak-pernik untuk teman saya yang penggemar berat Sherlock di Indonesia.

Setelah itu, seperti turis-turis kebanyakan, saya mengunjungi berbagai landmark kota London yang harus didatangi seperti Big Ben, Tower Bridge, Buckingham Palace, Hyde Park, London Eye, dan St Patrick Curch. Kemudian saya lanjut berjalan ke Trafalgar Square dan National Gallery London, tempat mereka menyimpan lukisan-lukisan terkenal karya Van Gogh atau Leonado Davinci.Saya juga melewati daerah West End.Jalanan ini sangat menarik karena di kanan kirinya banyak terdapat gedung teater.Orang Inggris suka sekali pertunjukan teater dan rela mengantri untuk membeli tiket dengan harga yang tidak murah.

Namun yang menarik keingintahuan saya bukan tempat-tempat terkenal itu, tapi Obelisk yang terdapat di pinggir sungai Thames, tidak jauh dari Big Ben, bernama Cleopatra Needle. Sejak membaca buku Kane Cronicle saya tertarik mencari obelisk yang ada di berbagai kota di Inggris. Bangunan tinggi lurus dengan ujung atas mengerucut itu adalah perwujudan ketidakberdayaan manusia, pencarian mereka terhadap Tuhan.

Obelisk berasal dari peradaban mesir kuno, di mana bangunan tersebut biasa didirikan di atas bukit. Semakin tinggi obelisk itu dibuat dan ditempatkan, semakin manusia merasa dekat dengan Tuhannya yang dipercaya berada di langit. Kota-kota besar seperti New York, London, Paris, dan Roma memiliki Obelisk sehingga membuat kota-kota adidaya itu di mata saya terlihat lemah.

Mereka seperti mengumumkan kalau mereka tidak cukup kuat dan kesombongan yang selama ini dipertontonkan hanyalah gertak sambal.Obelisk juga menunjukkan bahwa peradaban mesir kuno tidak benar-benar hilang dan bertahan sampai zaman modern.Hal ini menunjukkan bahwa manusia masa kini merindukuan zaman ketika semuanya masih sangat sederhana.Ketika manusia tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu karena dewa-dewa mereka dipercaya bisa

Di London saya juga mengunjungi beberapa tempat yang dijadikan lokasi syuting Harry Potter, yaitu Millenium Bridge, Ledenhall Market, dan Charing Cross Road. Adegan yang dilakukan di Millenium Bridge adalah ketika jembatan tersebut hancur di film Harry Potter and the Half Blood Prince. Di sini banyak yang menjual chestnut yang dipanggang dengan madu dan baunya bikin lapar.Sementara Charing Cross Road adalah tempat pintu masuk Diagon Alley.Di sini banyak toko yang menjual barang antik dan buku-buku bekas.Semua toko memiliki bentuk dan warna hijau yang serupa.Ini membuat jalan tersebut terasa misterius.Sedangkan Leadenhall Market adalah pasar tradisional bergaya victoria di London. Pasar ini berdiri sejak tahun 1800-an. Pasar ini digunakan sebagai Diagon Alley di film Harry Potter dan the Philosopher’s Stone. Saat saya sampai di pasar itu, sudah terlalu malam sehingga toko-toko sudah tutup dan sangat sepi.

Esoknya, karena sudah terlalu capek, saya hanya menghabiskan waktu di British Museum. Saya menikmati eksibisi Yunani dan Mesir yang selalu membuat saya tertarik.Kebanyakan patung yang ada di museum ini tidak punya kepala.Teman saya yang belajar soal Museum pernah bilang, kalau dalam perdagangan gelap benda kuno, bagian kepala dari sebuah patung adalah yang paling mahal.Ini karena, patung biasanya berukuran besar sehingga sulit dibawa atau dipindahkan.Sehingga jalan satu-satunya adalah dengan memotong kepala

si patung dan menjualnya.

Lagipula, dari kepala, para pembeli bisa gampang mengidentifikasi identitas si patung, dari mana asalnya, siapa yang membuat, dan alasan pembuatannya. Identifikasi semacam ini akan sulit dilakukan bila yang dijual adalah badan patung tersebut. Jadi kepala pergi ke pasar gelap dan badan pergi ke museum.Di Museum ini juga ada eksibisi Islamic World yang layak dikunjungi.Selain itu, saya berburu biskuit paling enak di nggris, Ben’s Cookies.Mahal sih, tapi biscuit ini berhasil membuat perut saya bahagia hahaha.

Leave feedback
Recent Posts
bottom of page